Segelas Susu Cokelat Hangat di Tengah Malam

Segelas Susu Cokelat Hangat di Tengah Malam

Segelas Susu Cokelat Hangat di Tengah Malam
Oleh: Evamuzy 

“Kak Nura! Semalam lupa membuatkanku susu cokelat hangat, ya? Aku sebal!” Gadis kecil berpipi gembul berhias lesung di tiap sisi, cemberut di hadapanku. Melipat kedua lengannya di dada lalu membuang wajah. Lucu dan menggemaskan.

“Maaf, Sayang. Kak Nura lupa. Tetapi janji, nanti malam Kakak buatkan susu cokelat spesial untuk Loli”

“Janji?!”

“Iya. Tapi syaratnya Loli harus kasih senyum dulu sekarang.”

Aku Nura dan gadis kecil yang menemuiku tadi, yang cantik, yang menggemaskan, yang pintar, yang manja, yang cerewet dan yang paling usil itu bernama Loli. Kami sama-sama penghuni panti asuhan “Bina Kasih” dengan umur dan cerita yang berbeda saat pertama kali datang.

Aku berada di sini setelah Bunda Yumna, pengasuh sekaligus pemilik panti memeluk dan bersedia menerimaku sejak kejadian itu. Kejadian paling memilukan dalam hidupku setelah kematian Ibu disusul kepergian Ayah yang memilih keluarga barunya, meninggalkanku.

Saat itu, gelagat sindikat perdagangan manusia yang dilakukan oleh paman bersama para teman bengisnya, tercium oleh polisi sebelum sempat sampai di tempat tujuan, sarang para pria hidung belang. Kami yang saat itu lima orang, terkurung di dalam mobil box yang terkunci rapat, segera diselamatkan dan dibawa ke “Rumah Aman” untuk mendapatkan perlindungan. Namun, aku meminta dengan setengah memohon untuk dibawa ke panti asuhan saja. Atas dasar alasan masih di bawah umur—belum genap tujuh belas tahun, permintaanku dipenuhi.

Sementara Loli adalah anak yatim piatu. Kudengar sang Ayah meninggal dunia saat Loli masih dalam kandungan. Sementara sang Ibu meninggal dunia karena sakit, saat Loli masih dalam umur susuan. Tak ada yang bersedia menampungnya, kecuali satu keluarga yang akhirnya pun menyerahkan Loli ke panti asuhan karena keterbatasan ekonomi.

Loli gadis kecil yang unik. Dia suka berbicara dengan angin dan hal-hal yang tak berwujud. Kami sampai pernah memanggilkan seorang ustaz untuk memeriksanya. Dan beliau pun membenarkan bahwa Loli dapat melihat makhluk halus tak kasat mata.

“Vivi! Ada nenek berambut putih dan berwajah jelek di belakangmu. Dia siap menyergapmu!” teriaknya pada seorang teman yang sedang bermain lompat tali dengan yang lain di halaman panti.

Sang teman langsung menjerit dan lari ke arahku. Melingkari tubuhku dengan kedua lengannya kuat-kuat, dengan isak tangis yang tak henti-henti.

Atau kejadian malam itu.

“Kalian yakin, nih. Mau tidur di kamar ini malam ini? Nenek itu sekarang sedang duduk di sudut kamar ini loh. Aku mah mau pergi,” kalimatnya santai sambil menarik guling kesayangan lalu bangun hendak meninggalkan kamar. Seketika ruang tidur terisi jerit-jeritan keras disusul langkah cepat adik-adik untuk keluar.

***

Jam sepuluh malam, tanpa bunyi alarm, aku terbangun. Mengingat janji membuatkan susu cokelat panas untuk Loli. Duduk, aku mengusap wajah pelan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Semua sudah terlelap dengan mimpinya masing-masing. Dan di satu tempat, gadis kecil itu pun tertidur pulas. Memeluk guling kesayangan dengan posisi dipeluk oleh … Bunda Yumna. Kenapa tiba-tiba Bunda Yumna tidur di kamar ini? Apa mungkin untuk menghindari Loli kembali bercerita yang tidak-tidak tentang hantu Nenek itu dan akan membuat gaduh seperti yang sudah-sudah?

Aku bangkit dari dudukku, hendak menuju dapur. Bersamaan dengan itu, mataku tertuju pada segelas susu cokelat di atas meja kecil di sudut kamar. Tempat di mana selalu kuletakkan susu panas yang akan menghangat saat Loli terbangun tiba-tiba di tengah malam dan meminum habis jatah susunya, itulah kebiasannya. Bunda Yumna telah mengerjakan tugasku. Baiklah, aku kembali melanjutkan tidur.

***

Hari kembali menemukan gelapnya. Setelah kulihat semua adik-adik telah mencuci kaki lalu beranjak tidur, aku menutup semua tirai jendela bangunan lawas itu. Kembali ke kamar tidur, menutup selimut siapa-siapa yang tak sengaja terbuka saat jiwa-jiwa kecil itu pulas dan mulai bersiap menyusul mereka, tidur di ruangan yang sama, karena itulah tugasku di sini. Menjaga adik-adik di ruang kamar kupu-kupu. Ruang dengan usia anak-anak kelas satu dan dua Sekolah Dasar, Loli salah satunya.

Di jam seperti kemarin, aku pun bangun. Kembali menemukan Bunda Yumna tidur di samping Loli, juga segelas susu cokelat panas telah siap di meja kecil itu. Terpikir karena di ruang ini telah ada beliau, aku pun berpindah ke kamar yang lain. Mencari kamar yang membutuhkan penjaga mereka-mereka yang dibuai malam.

Begitu terus terjadi hingga lima malam. Aku jadi heran, bukankah kudengar Dik Utami—anak bungsu Bunda Yumna—sedang demam beberapa hari ini. Tetapi kenapa beliau justru pindah dari rumah pribadinya lalu tidur di kamar panti? Ingin kutanyakan dari beberapa hari yang lalu, tetapi urung, sebab kulihat beliau sedang sangat sibuk belakangan ini. Memang benar, di panti sedang diadakan sebuah pengajian kecil di ruang tamu. Para tetangga dan seorang ustaz datang untuk membacakan beberapa surat dalam Alquran, setelah datang sebuah kabar dari rumah sakit.

Melihat orang-orang sibuk mempersiapkan acara itu setiap selepas salat magrib, dari menyiapkan tikar sampai menata kue-kue basah tradisional di atas piring, aku memilih tetap bertugas menjaga adik-adik. Menemani belajar atau bermain sebentar sebelum nanti akhirnya mengikuti mereka melakukan ritual sebelum tidur: gosok gigi dan cuci kaki.

Aku melangkah ke sebuah pondok berbahan kayu jati di sudut halaman. Kulihat seorang gadis kecil duduk sambil mengayun-ayunkan kakinya yang tak sampai menyentuh tanah. Aku memilih tempat di sampingnya.

“Kak.”

“Iya, Loli.”

“Kakak cantik.”

“Terima kasih, Sayang. Loli juga cantik, sangat cantik.”

“Terima kasih. Kau secantik ibuku. Makanya aku sayang padamu.”

“Oh, ya? Kakak juga sayang Loli.”

Si gadis kecil turun dari pondok, melangkah masuk ke dalam rumah panti. Aku mengikuti dia. Tengah malam kutemukan kembali pemandangan yang sama, Bunda Yumna dan segelas susu cokelat panas di kamar kami. Sudah! Cukup aku memendam rasa penasaran ini berhari-hari. Besok pagi akan kutanyakan tentang ini kepada beliau.

***

Sinar matahari pagi menyelinap lewat lubang-lubang ventilasi, lubang-lubang kecil pada dinding bagian atas, juga celah-celah pada genteng bangunan panti. Memberi hangat setiap ruangan. Setelah kasur-kasur tipis bekas tidur adik-adik terlihat rapi, aku langkahkan kaki mencari sosok Bunda Yumna. Sampailah di balik dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah, terdengar suara beberapa orang saling bicara. Bunda Yumna sedang menerima tamu. Suara mereka cukup jelas dari tempatku berdiri.

“Iya. Dulu ibunya meninggal dunia pas sedang menyusui Loli. Beliau memang sudah punya riwayat sakit sejak muda. Waktu itu umur Loli baru delapan bulan. Oh, iya. Boleh kami bertemu Loli?” Seorang wanita menyampaikan tujuan kedatangannya, berdua bersama lelaki yang duduk disampingnya. Sepertinya, inilah satu-satunya keluarga yang peduli kepada gadis kecil itu, yang juga mengirimnya kemari, yang pernah kudengar dulu.

“Baik, Bu, Pak. Seben—”

Belum sempat Bunda Yumna menyelesaikan kalimatnya, Vivi bersama dua teman datang dengan berlari dan napas tersengal-sengal sampai lupa mengucap salam.

“Bunda. Loli dan Dania bertengkar di halaman,” kata Vivi dengan wajah ketakutan dan peluh saling berkejaran di wajahnya. Dua temannya mengangguk, mengiyakan.

Tanpa berpikir panjang, Bunda Yumna berlari ke halaman. Disusul oleh sang tamu, juga aku.

“Loli, Dania, berhenti!” Bunda Yumna berteriak.

“Loli berhenti!” seruku. Namun dua bocah itu tak mengindahkannya. Terlebih Dania, dia seperti tak melihatku ada di sampingnya.

“Kenapa kalian bertengkar?” tanya Bunda Yumna setelah melihat keduanya lebih tenang.

“Dania mengejekku, Bunda. Kata dia, aku tak pernah melihat wajah ibuku. Aku anak tidak beruntung, katanya.” Raut wajahnya masih memerah, Loli bersuara.

“Memang benar, kan. Kau anak tidak beruntung karena tidak pernah melihat wajah ibumu. Ibumu kan meninggal saat kamu masih bayi.” Dania bicara dengan suara tinggi. Membuat Loli kembali tersulut amarahnya.

“Hei, Kau Dania. Akan kuceritakan kepada ibuku tentangmu.”

“Hah, ibu?! Lucu sekali. Bagaimana bisa bercerita kepada ibumu. Melihatnya saja kau tak pernah.”

“Siapa bilang. Beberapa hari ini ibuku datang menemaniku tidur. Bahkan membuatkan susu cokelat hangat setiap malam.” Banyak yang mengiranya sedang berkhayal.

Tetapi, aku terperangah mendengar kalimat Loli. Jadi sosok yang tidur memeluk gadis kecil itu adalah ibunya, bukan Bunda Yumna?

***

Ini malam ketujuh. Ruang tamu, seperti hari-hari kemarin, dipenuhi suara lantunan ayat suci Alquran. Bahkan sekarang, para penghuni panti yang sudah baligh dan bisa membaca Alquran dengan baik, duduk bersama di ruang tengah. Bunda Yumna turut serta di antara mereka, aku memilih duduk di sampingnya. Sementara di dapur, beberapa ibu-ibu membantu menyiapkan makanan, dan adik-adik yang tidak ikut mengaji mungkin sebagian sedang bermain, sebagian mengerjakan PR.

Acara pengajian selesai. Aku masuk ke kamar. Kuputuskan malam ini akan berusaha terjaga sampai waktu membuatkan susu cokelat panas untuk Loli tiba.

Jam sepuluh malam. Aku melangkah ke lorong kecil menuju dapur. Pelan-pelan terdengar suara gelas kaca beradu dengan sendok besi. Semakin jelas saat semakin dekat jarak dapur. Hingga saat tiba di ruang penuh perabotan pecah belah ini, kutemukan perempuan berparas ayu. Bibir dan warna kulitnya putih pucat. Dia cantik, sangat cantik dengan pakaian serba panjang lengkap dengan kerudung menutup kepalanya. Semuanya berwarna gelap. Warna-warna pakaian yang sering juga menjadi pilihan Bunda Yumna.

Aku mendekat, dia tersenyum manis kepadaku, menghentikan aktivitas mengaduk susu cokelat, lalu berkata, “Sudah saatnya kau pulang bersamaku, Nura. Mereka telah selesai dengan tugas mengenang tujuh hari kematianmu, bukan?”

Aku mengangguk, membalas senyum manisnya. Kemudian, menerima uluran tangan lembut wanita ini. Seketika tubuhku terasa sangat ringan, terbang dan semakin jauh meninggalkan mereka, orang-orang terkasih di ujung usiaku.(*)

Evamuzy, gadis bergolongan darah A, penyuka warna cokelat muda.

Tantangan Lokit 10 adalah kompetisi menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK. Cerpen ini dibukukan dalam kumpulan cerpen misteri-horor Loker Kata yang akan terbit bulan Januari.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata