Seekor Naga di depan Toko Roti yang Tutup di tengah Hujan Deras
Oleh: Deen
Terbaik 4 + Favorit Juri Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Aku pernah melihat ular yang mulutnya memamerkan taring, ikan yang kulitnya bersisik, burung yang sayapnya bergerigi, dan kadal yang ekornya mengerecut. Namun, aku belum pernah melihat naga. Seekor hewan legenda yang selalu digaungkan oleh buku-buku dongeng sejak aku masih belia.
Terkadang aku duduk di teras, di pucuk tangga, memandangi langit, sambil menyantap sepotong pai apel buatan Paman, berharap naga itu akan turun dari langit. Orang-orang berkata padaku bahwa naga itu tidak ada, tetapi mereka berharap menemukan sebuah sapu terbang, atau tongkat sihir, atau hal-hal aneh lainnya. Kalau begitu, apa salahnya aku berharap?
Ketika Paman pulang dari mencari kayu bakar dengan wajah kusam, karena kayu bakar yang ia bawa lembap, atau bahkan basah, dan tidak ada matahari untuk mengeringkannya, aku kembali berharap naga itu sungguhan datang, dan membantuku menghidupkan kayu bakar itu di perapian. Aku pikir, Paman pasti senang.
Semakin hari, aku semakin sibuk berpikir, jika suatu saat naga itu ada, di mana aku akan membiarkannya tidur? Apakah di kardus berisi pakaian-pakaian lama seperti kucing milik nenek, atau ia lebih suka dataran kosong dengan sedikit rerumputan seperti kambing milik bibi? Pula, apa yang ia makan? Sebuah apel merah yang sedikit kecut, atau buah arbei hutan, atau sepotong pai buatan Paman?
Awan di langit mulai bergulung-gulung, warnanya yang tadinya putih, kini beranjak kelabu. Langit yang tadinya menyanyikan kicauan burung, kini seakan-akan marah, melontarkan gelegar-gelegar kasar, dan menyambar dengan kilatan kuning. Aroma lembap tanah yang masih basah sisa gerimis kemarin kembali tercium, dan suara gesekan tanaman-tanaman liar yang tertiup hembusan angin, kembali terdengar. Namun, Paman masih belum pulang.
Aku sudah bisa menutup toko sendiri, mewadahi air hujan yang menerobos celah-celah atap dengan ember, dan mengepel rembesan-rembesan yang lolos melewati celah kusen pintu dan jendela. Kulirik sisa kayu bakar di perapian, masih cukup untuk menghidupkan sedikit api sebelum Paman datang. Kuharap kayu itu tak lagi sulit untuk dinyalakan.
Ketika tetes hujan pertama mengenai kulit tanganku, aku mempercepat memakan potongan pai, menutup buku, dan bergegas masuk. Tidak ada pembeli lagi beberapa waktu terakhir, jadi kupikir tak masalah untuk menutup toko lebih cepat sebelum hujan deras.
Benar saja, tak lama kemudian cipratan air hujan membasahi kaca jendela. Aku berdiri di balik sana, mengamati halaman depan, dengan harap-harap cemas Paman akan segera pulang.
Di tengah gelap gulitanya langit, temaram lampu-lampu jalan yang diterjang badai, aku mendengar samar-samar suara gesekan di pintu depan–bukan ketukan. Apakah itu Paman? Aku sungguh berharap itu Paman, mungkin saja dia sedang mengibaskan mantelnya yang basah kuyup, atau meletakkan kayu-kayu bakar yang sudah terlanjur basah. Aku segera berlari ke pintu depan, kubuka gerendel, dan mengintip sedikit keluar.
“Paman? Itukah dirimu?” tanyaku memanggil.
Suara gesekan itu masih ada, terdengar berulang-ulang. Namun, sosok Paman tak kunjung terlihat. Aku memberanikan diri membuka pintu lebih lebar. Di sanalah aku ternganga.
Ada seekor hewan seperti kadal, warnanya hijau, bersisik seperti sisik ular, memiliki sayap bergerigi, dan gigi-gigi runcing yang berukuran kecil. Hewan itu tampak kedinginan, ekornya bergerak ke sana kemari, terkadang terkibas ke belakang, terkadang melingkari tubuhnya yang meringkuk. Hewan itu menatapku, kurasa raut wajahnya memohon untuk diberikan kehangatan.
Aku maju selangkah, mengetes apakah hewan tersebut akan pergi karena gerakanku. Rupanya tidak. Ia tampak lemah tak berdaya. Aku mengangkat hewan tersebut. Hewan itu tampak lebih besar dari dekat. Aku memeluknya seperti memeluk kucing milik nenek, membawanya masuk.
“Kenapa kau bisa ada di depan tokoku? Apa kau lapar?”
Aku mengeringkan tubuhnya dengan kain-kain bekas. Kulitnya tampak mengkilap sekarang, dengan sisik-sisik yang indah. Setelah itu, kuletakkan dia di atas karpet–kukunya lebih tajam daripada ayam atau cakar kucing, jadi aku takut ia merobek sofa. Kuambil sepotong roti manis dari toko, kemudian memberikannya kepada hewan tersebut. Aku khawatir ia tidak mau, tetapi sesaat kemudian ia sibuk mengunyah.
Aku tengkurap di hadapannya, memperhatikan setiap inci tubuhnya. Aku penasaran, hewan apa itu? Aku belum pernah melihatnya sebelum hari itu. Kuambil buku gambar dan pena, kemudian mulai menggambarnya.
Aku tak sadar sudah berapa lama aku tertidur, tetapi tiba-tiba aku terbangun karena merasakan guncangan. Aku ada di sofa, dengan selimut cokelat milik Paman.
“Paman?”
Kulihat ia berdiri di depan meja, tampaknya menyeduh sesuatu.
“Ah, kau terbangun, ya? Aku baru saja sampai, hujan baru saja berhenti, ini sudah tengah malam. Kau mau pindah ke kamar?”
Aku menoleh ke seluruh ruangan. Kulirik buku gambarku masih ada di bawah, dengan pena dan pastel yang berserakan. Gambarku sudah selesai–meski aku tak ingat. Hewan itu sedang makan roti manis di sana.
“Apa kau yang menyalakan perapian? Terima kasih, aku menyelamatkan beberapa kayu bakar untuk tambahan. Yang lainnya harus dijemur besok siang. Oh iya, kalau kau makan roti di sini, jangan lupa membereskan remahannya, semut-semut akan datang.”
Apa? Tapi aku tak menyalakannya tadi, gumamku dalam hati. Aku beranjak turun dari sofa, menghampiri buku gambarku, membereskan segalanya.
“Paman, kau melihat hewan ini? Dia ada di sini tadi,” tanyaku.
Paman menoleh. “Ah, kau menggambar seekor naga? Rupanya terbawa dalam mimpi ya. Naga itu tak ada, ia hanya hewan dalam buku cerita, tapi aku suka gambarmu. Ayo, lekas kembali ke kamarmu, kau masih perlu waktu lebih banyak untuk tidur.”
Apa? Tapi ….
Aku mengamati buku gambarku sekali lagi.
“Aduh, aku lupa bagaimana suaranya.” (*)
Sukoharjo, 27 Oktober 2024
Komentar Juri, Eva:
Alih-alih membuat sosok naga tinggal lebih lama dengan si tokoh (seperti yang kukira pada awalnya), Deen justru menggiring pembacanya pada dua opsi sudut pandang. Pertama, menganggap sosok naga hanyalah sebuah interpretasi dari obsesinya yang hadir dalam mimpi, sehingga mengurangi ruh fantasi dalam cerita. Atau kedua, percaya si naga adalah sosok nyata, sebab Deen berhasil menghadirkan “keajaiban” itu dengan sangat natural. Tidak ada adegan berlebihan ketika tokoh bertemu dengan si naga kecil; dia menyajikan keajaiban itu dengan alami, teratur, dan nyata—sebuah situasi yang tentu tidak cukup disebut mimpi, bukan? Cerita yang hangat, tanpa konflik yang berat, tetapi tidak kehilangan keunikannya. Maka layak dan pantas, kami pilih ia sebagai cerita favorit. Good job, Deen!