Seekor Cecak Jomlo Merana Menyaksikan Sepasang Cecak Lain Bercinta
Oleh: Uzwah Anna
Lidya berjongkok, berdiri, berjongkok lagi, meloncat-loncat layaknya kanguru, melakukan gerakan seperti mencakar, menaik-turunkan nada bicaranya, mengaum, mengembik, bercericit, mendesis, mengikik macam kuda musin kawin, dan bertingkah seperti binatang-binatang lainnya. Aneh.
Benar-benar aneh!
Dini, sebagai teman kosnya merasa heran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya tersebut. Kerasukan setan apa dia hingga jadi macam ini? Apa gara-gara kebanyakan nonton tayangan world animals hingga tingkahnya serupa kuntilanak kesurupan pocong seperti ini?
Melangkah pelan seraya memepetkan punggung ke dinding, Dini mendekat ke ranjang. Sikapnya waspada. Bahkan saat ini di tangannya ada raket nyamuk. Berjaga-jaga jika tiba-tiba saja Lidya mengamuk, maka dia akan segera menghantamkan benda tersebut tepat ke dahi sahabatnya itu. Supaya dia bisa langsung jinak layaknya vampir ditempeli sebuah kertas mantra di film-film Cina. Biarin dia gosong, yang penting aku selamat! Syukur-syukur jika gigi tonggosnya sampai tanggal. Jadi nggak perlu ke dukun gigi demi mencabut dan merenovasi ketonggosannya itu!
Jarak Dini telah sangat dekat dengan ranjang. Gadis bertubuh mungil tersebut akan mengambil novel yang baru dibaca separuh. Mumpung ada waktu luang, dia berencana membereskannya hari ini juga. Dia tak ingin dihantui rasa penasaran oleh kelanjutan cerita dari tokoh utama. Sebab beberapa hari ke depan dirinya akan sangat sibuk. Sudah terpampang di jadwal mingguan mesti pulang malam karena ditatar lembur sebelum menyambut hari libur nasional. Akan sangat sulit mencari waktu luang untuk sekadar membaca satu bab saja
Dini mencondongkan tubuh ke arah ranjang, tangannya mulai menjulur, berusaha meraih novel beratus-ratus halaman tersebut. Dan … tiba-tiba saja jantungnya seakan meloncat ketika Lidya mengaum serupa induk singa yang kesal karena telah berani menjitaki bayinya yang baru berusia beberapa hari.
“Apa yang akan kau lakukan? Jangan coba-coba kau mengganggu anak-anakku!” ucap Lidya. Alisnya terangkat dan matanya membelalak—serupa pemilik warung makan sebelah yang murka pada beberapa anak kos yang mau ngutang lagi, sementara tanggungan bulan kemarin belum dibayar—hingga hampir saja bola mata yang berwarna hitam pekat itu menggelundung jatuh.
Tentu saja reaksi Lidya tersebut membuat Dini terkejut dan ketakutan. Dadanya berdetak tak keruan rupa. Gadis itu gemetar, dan langsung berlutut, menangkupkan tangan di atas dahi seperti seorang batur sedang sungkem pada rajanya seraya berucap, “Ampun, Mbah Demit … saya tidak melakukan apa pun pada anak-anak mbah. Saya hanya ingin mengambil novel saya, lalu pergi. Itu saja. Ampun, Mbah ….”
“Mbah Demit? Siapa yang kau maksud Mbah Demit?” tanya Lidya kebingungan. Apakah sahabatnya itu sedang berbicara dengan orang lain selain dirinya? Tetapi siapa? Di sini tak ada orang lain kecuali dirinya dan Dini. Mungkinkah gadis di hadapannya itu sedang berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata? Namun … sejak kapan indra keenamnya aktif? Ngembat sandi Wi-Fi siapa lagi dia demi mengaktifkan kemampuan indigonya? Apa Dini sedang berkonspirasi dengan salah satu demit?
Tiba-tiba saja Lidya meremang. Dia teringat berbagai kasus akibat konspirasi manusia dengan setan. Hingga tak jarang mesti menumbalkan nyawa sendiri.
Tapi … nggak papa sih, kalau emang kau mau menumbalkan diri, Din. Seenggaknya bisa mengurangi satu beban tanggungan negara. Juga meringankan tugas petani. Anggap saja satu “kutu berasnya” akan menghilang dari muka Bumi. Aku ikhlas, Din … serius! Aku ikhlas …. Lidya mengembuskan napas panjang seraya mengangguk-angguk. Seolah telah mengizinkan Dini untuk segera menemui ajal.
Kurang ajar betul!
Menunduk dan dengan sangat hati-hati Dini mengangkat jempol kanannya, lalu menunjuk Lidya dengan sangat sopan.
“Sampean, Mbah …. Bukankah sampean adalah demit yang sedang mengambil alih tubuh Lidya, sahabatku. Jadi … yang saya maksud ‘Mbah Demit’ adalah sampean.”
“Aku!” Lidya mengarahkan telunjuk pada dadanya sendiri. Merasa terkejut sekaligus heran. Tega sekali Dini menganggap dirinya sebagai demit. “Kenapa kau menganggapku sebagai demit? Sejak kapan ada demit sebahenol diriku?”
Bahenol dari Hongkong! Lagian siapa yang akan setuju dengan kata-katamu itu, Lidya. Eh, salah … maksudku Mbah Demit. Kamu mah, bukan bahenol, tapi drum minyak tanah! Pekik Dini dalam hati.
“Jawab!” Lidya menggebrak meja. Membuat Tubuh Dini sedikit terpental karena kaget. “Kau sebut aku mbah demit?”
“Apa saya salah, Mbah?” Dini masih menunduk. Sesekali matanya melirik ke arah Lidya. Memastikan bahwa tak akan muncul sepasang tanduk dan taring pada diri sahabatnya itu. Lantas dia meneruskan, “Di zaman serba modern begini, apa sih, yang nggak bisa, Mbah. Jangankan demit gendut dengan wajah acak-acakan macam …,” kata-kata Dini menggantung. Hampir saja gadis itu kelepasan mau bilang “macam Mbah Demit” dan menunjuk orang di depannya. Bersyukur dia segera sadar dan mengurungkan niatnya.
“Ehm … maksud saya ….” Dini menoleh ke kanan kiri. Mencari kata yang pas untuk melanjutkan kalimatnya.
Kebetulan sekali! Kala itu sepasang matanya tak sengaja menangkap dua cecak sedang menempel di dinding. Sepasang cecak tersebut tengah melakukan aksi perbanyakan keturunan: berkembang biak!
Tontonan gratis yang salah tempat dan waktu.
Sungguh tak senonoh!
Seharusnya mereka melakukannya di tempat tersembunyi, bukannya justru diumbar di depan para gadis jomlo macam Dini dan Lidya.
Uh, dasar … mereka adalah pasangan cecak yang tak memiliki empati pada perasaan jomlo!
Tak jauh dari pasangan cecak yang sedang memadu kasih tersebut, ada seekor cecak lagi. Dilihat dari ukuran badan, sepertinya dia cecak jantan. Jika dijadikan sinetron, maka judulnya akan seperti ini: Seekor Cecak Jomlo Merana Menyaksikan Sepasang Cecak Lain Sedang Bercinta.
“Maksud saya … jangankan cecak kerempeng jadi bahenol, semlohay, nan aduhai … di zaman milenial seperti ini, pria tulen saja juga bisa berganti kelamin, Mbah,” lanjut Dini.
Meski kesal pada pasangan yang tengah beradegan tak senonoh tersebut, setidaknya Dini harus berterima kasih. Sebab karena cecak itulah dirinya dapat mengalihkan pembicaraan.
Dini merendahkan volume suaranya, seakan dia tengah berbisik pada dirinya sendiri. “Eh, tapi … di dunia perdemitan apa ada istilah milenial, ya?”
“Aku masih bisa mendengar suaramu, Anak Muda!” ucap Lidya seraya bersendakap. “Tak sopan!”
“Ehm … tidak, Mbah. Maksud saya, a-nu … anu …,” Dini menjadi gelapan. “Sekarang banyak klinik operasi plastik yang bisa menyulap rahang tegas menjadi lancip. Bibir tipis jadi tebal. Sehingga akan terlihat seseksi bibir Angelina Jolie. Dan … tentu saja pria-pria yang telah berganti kelamin tersebut kini menjelma bak Barbie …. Cantik sekali. Lebih cantik daripada perempuan tulen.”
“Terus apa maksudmu? Kau ingin aku melakukan operasi plastik agar menjelma layaknya bidadari, begitu?!”
Menunduk, Dini menjawab dengan suara yang sangat lirih, “Syukur deh, kalau nyadar ….”
Meski lirih, tetapi Lidya tetap mampu mendengar apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Membuatnya ingin menjitak seketika, namun urung. Gadis yang memang bertubuh montok ini mendengkus kasar. Dia memejam, menenangkan diri agar emosinya tak meledak macam bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
“Kau … ambilkan aku cermin. Cepat!” perintahnya pada Dini.
Tak ingin mendapat banyak masalah, Dini memilih menurut. Dia mengambil cermin bulat yang tergantung di dinding dan menyerahkan pada Lidya dengan gerakan sangat santun. Dia takut jika “Mbah Demit” tak berkenan dengan sikapnya, maka dengan sangat mudah dirinya akan dijadikan sebagai menu utama di acara santap malam nanti. Mungkin juga daging beserta tulangnya akan dibagi rata kepada para kaum “Mbah demit” itu. Membayangkannya saja membuat Dini bergidik.
Ngeri!
Lidya menerima cermin itu. Gadis berambut pelangi tersebut—dia mengecat rambutnya demi mengikuti tren idol Korea—sedikit canggung dengan sikap kawannya yang tiba-tiba berubah seanggun putri keraton. Sebenarnya ada apa sih? Apa dia sedang membuat prank seperti yang saat ini booming di kalangan yuotuber?
Lidya menoleh ke kanan-kiri. Matanya menyisir setiap sudut yang mungkin saja diletakkan kamera secara tersembunyi. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. Ah, iya! Dini kan nggak punya kamera. Boro-boro kamera, layar HP-nya aja udah ancur. Mirip retakan hati jomlo yang perih ketika melihat mantannya telah duduk di pelaminan bersama orang lain. Sudah hampir setahun layar HP-nya retak, namun sampai sekarang belum juga bisa ganti HP. Jadi mana mungkin dia punya duit buat beli barang-barang mahal seperti kamera. Seandainya pun, gajian udah turun, pasti juga bakalan langsung habis buat bayar cicilan, sewa kos, dan hutang di warung nasi sebelah. Ya ampun … kismin banget sih, dirimu, Kawan. Lidya menggeleng-geleng seraya menatap Dini penuh iba.
Melihat pantulan bayangan sendiri di cermin, Lidya merasa tak ada yang berubah dari dirinya. Seperti biasanya, dia tetap merasa secantik Anne Hathaway—narsisnya … amit-amit! Lalu apa yang salah dengan sikap Dini hari ini, kenapa tiba-tiba dia menyebut dirinya sebagai mbah demit.
“Dini.”
“Iya, Mbah ….”
“Dini!”
“Iya, Mbah ….” Dini langsung kembali sungkem.
“Kau memanggilku dengan sebutan ‘mbah’ lagi … kuikat lidahmu di tiang gantungan!”
Sadis!
Seketika itu juga nyali Dini langsung mengkeret! Gadis itu merasa kontrak nyawanya di dunia ini masih cukup panjang. Dia tak ingin tubuh Lidya yang sekarang tengah dirasuki demit jahat akan memperpendek perjanjiannya dengan malaikat maut. Makanya dia lebih memilih diam dan menurut.
“Jelaskan, kenapa kau tiba-tiba memanggilku mbah demit. Dan ada apa dengan sikapmu hari ini? Tumben kau jinak ….”
Jinak? Kau kira aku kucing anggora! batin Dini.
Dini masih sibuk berbisik dalam hati. Sehingga dia terkesan mengabaikan pertanyaan Lidya.
“Eh, malah bengong … jawab!” Lidya kembali menggebrak meja. Membuat Dini hampir pingsan karena jantungan.
“Anu, Mbah … itu … itu ….” Dini bingung bagaimana cara menjelaskannya.
“Ita-itu, ita-itu … kalau ngomong yang jelas, jangan bikin orang gregetan.”
Lantas Dini menjelaskan: dia merasa bahwa Lidya sedang kesurupan. Kenapa? Karena tingkah temannya hari ini sangat aneh. Dia tiba-tiba saja tertawa tanpa adanya hal lucu, menangis tanpa sebab. Sebentar-sebentar wajahnya bahagia, sebentar lagi langsung murung dan sedih. Selain itu perilakunya seperti hewan di kebun binatang: mulai dari binatang melata hingga mamalia. Lengkap.
Mendengar penjelasan sahabatnya, tak pelak membuat Lidya tertawa geli. Dia terbahak-bahak. Membuat Dini semakin ketakutan, hingga dia semacam tak dapat mengontrol lidahnya. Gadis itu kelepasan kata, “Mbah, saya bersedia mencuci baju dari tubuh gadis yang Mbah rasuki sekarang. Saya bersedia mencuci baju Lidya selama sebulan penuh, asal saya tak diapa-apakan. Jangan celakai saya, Mbah. Saya mohon … saya masih jomlo. Belum punya keturunan.”
Mendengar hal itu, Lidya makin kencang saja tertawanya. Sampai dia meneteskan air mata.
“Kau serius dengan janjimu?” tanya Lidya kemudian, setelah dia mampu menghentikan tawanya, meski sesekali ada sisa senyum di bibirnya.
“Iya, saya serius, Mbah.” Gadis itu terlalu grogi dan ketakutan. Hingga tak sadar mengacungkan jari manis dan kelingking untuk menyatakan keseriusan janjinya. Padahal seharusnya mengangkat telunjuk dan jari tengah.
Lidya kembali terpingkal oleh tingkah Dini.
Konyol!
Lantas Lidya mengambil kertas dan bolpoin. Meminta Dini menuliskan janjinya di kertas itu seraya membubuhkan tanda tangan. Selesai melakukan apa yang “demit” itu minta, tak banyak basa-basi, Dini langsung menyerahkannya pada gadis berambut pelangi itu.
“Jika kau berani macam-macam dengan janji yang sudah kau tulis ini, maka …,” Lidya memperagakan gerakan seperti memotong leher, “mati kau!”
Membuat Dini terpaksa menelan Ludah.
“I-iya … saya tak akan macam-macam, Mbah Demit.”
“Bagus!”
Lidya berbalik. Menyimpan surat perjanjian itu baik-baik. Lantas timbul pikiran kurang ajar: Ah, kapan lagi ada kesempatan emas macam sekarang. Orang bijak bilang, jangan pernah lewatkan kesempatan, karena peluang tak datang dua kali.
Maka, demi “memaksimalkan peluang”, seharian itu Lidya meminta dan menyuruh Dini melakukan banyak hal: membersihkan kos-kosan, mencuci piring yang menumpuk di dapur, menyetrika, memasak, mencuci hingga memijit dirinya.
Sungguh malang nian nasibmu hari ini, Dini ….
Setelah seisi kos-kosan kinclong, dan badannya lumayan lebih enteng oleh pijatan Dini, Lidya meraih ponselnya. Dia mengambil gambar kertas perjanjian itu lantas menyimpannya di file.
“Dini, terima kasih atas kerja kerasmu seharian ini, ya.”
Dini hanya menunduk. Badannya lemas. Tenaga habis. Seandainya pun dijitaki berkali-kali, gadis ramping itu tak akan membalas. Tenganya sudah tuntas!
Capek!
“Din, selain ingin berterima kasih, aku juga ingin minta maaf?”
Minta maaf? Apa di dunia perdemitan ada tradisi terima kasih dan minta maaf? Kalau begitu pasti ada hari raya juga dong, jadi bisa mengucapkan: mohon maaf lahir batin, gitu …. Dini bermonolog dalam hati.
“Heh, Din … kok bengong sih.” Lidya melempar bantal ke arah dini.
“Mestinya saya gimana, Mbah?”
“Ya, jawab apa gitu, kek.”
“Emang barusan Mbah nanya apa? Kenapa mesti saya jawab?
“Mbah, Mbah … sejak kapan aku jadi mbahmu?”
Dini mengerjap-ngerjapkan mata. Kalimat dari mulut Lidya barusan seoalah menjadi kata kunci: apa demit itu telah hengkang dari tubuh Lidya.
Takut-takut Dini bertanya, “A-apakah ini Lidya?”
“Ya iyalah aku Lidya. Emang kau kira siapa?”
“Bener ini Lidya?” Dini memastikan.
“Bener. Tentu aja bener. Aku Lidya. Lidya sahabatmu.”
Mata Dini membelalak. Dia terkejut. Seolah tak percaya bahwa demit itu telah keluar dari tubuh Lidya. Gadis manis berkulit eksotis itu memeluk sahabatnya. Senang sekaligus terharu.
“Eh, ngapain sih, pake peluk-peluk kayak Teletubbies gini. Jangan drama, deh!” Lidya mencoba menjauhkan Dini dari tubuhnya. Namun sayang, gagal!
“Aku seneng banget, demit itu udah keluar dari tubuhmu.”
“Dih, ni anak polosnya keterlaluan. Masak dari tadi nggak nyadar, sih?”
“Apa? Siapa yang nggak nyadar?” tanya Dini bingung. Setelah sekian lama berpikir, gadis ini seolah-olah telah menemukan jawaban dengan sendirinya. “Jangan bilang … yang tadi itu, kau hanya berpura-pura.”
Lidya tersenyum, memasang ekspresi wajah memelas seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Maaf … aku nggak sengaja.”
“Kurang ajar!” Dini melempar bantal ke arah Lidya. “Mana ada ketidaksengajaan hingga berlangsung seharian penuh. Katakan, kau pasti sudah merencanakannya sedari lama, kan? Ada masalah apa kau denganku? Kau dendam, heh?” Dini kembali melempar bantal.
Sementara Lidya terus saja bergerak ke kanan-kiri. Menghindari lemparan bantal. Dia tertawa puas. Tawanya makin seru seiring kekesalan Dini.
“Nggak, Din. Serius nggak ada unsur kesengajaan sama sekali. Tadi itu refleks aja. Abis kamu datang bukannya memberi salam justru menyebutku demit. Siapa yang nggak bakal kesel, coba?”
Lelah, Dini duduk di ranjangnya. Melihat novel yang baru dibaca separuh dengan tatapan kecewa. “Kapan lagi ada waktu luang buat membereskan baca novel ini. Ini gara-gara kau, Lidya!”
“Ya, kan aku udah minta maaf …. Belum cukupkah diriku mengemis maaf darimu, Din?” Lidya mengucapkan dialog seperti dalam drama yang sering ditontonnya, sengaja menggoda sahabatnya itu.
Dini mendengkus kasar!
“Terus tadi ngapain mengaum, mengembik, mendesis atau apalah, bikin aku salah paham. Terus nganggep kau kesurupan demit.”
Lidya menjelaskan bahwa tadi dia sedang berlatih menjadi seorang ibu yang baik.
Hah, ibu yang baik? Apa iya, seorang ibu yang baik mesti melakukan hal-hal yang aneh macam itu?
“Sekarang kan musim tentang kesetaraan gender,” jelas Lidya, dan melanjutkan, “jadi tak cowok tak cewek semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hingga tak memiliki waktu mendongengkan cerita pada anak-anaknya. Nah, kelak jika sudah jadi ibu, aku mau sering-sering mendongeng buat anak-anakku. Makanya aku berlatih dari sekarang.”
Mendengar penjelasan sahabatnya, emosi Dini sedikit melunak, dia tersenyum. Memang konyol, sih, tetapi ada benarnya juga.
“Hei, Nona … akan lebih baik, jika sekarang kau cari dulu calon bapak buat anak-anakmu kelak. Jangan sampai karena sibuk mengaum dan mendesis kau lupa cari jodoh,” ledek Dini, puas! Seakan kata-katanya telah mampu membalas perbuatan Lidya padanya.
Selarik kalimat tersebut berhasil memancing kekesalan Lidya. “Kau juga, jangan sampai lupa pada perjanjian yang sudah kau tanda tangani.”
“Perjanjian apa?” Ekspresi Dini menyiratkan kebingungan. Dia merasa tak pernah menjanjikan sesuatu pada Lidya.
Lidya mengambil secarik kertas yang tadi sudah dibubuhi tanda tangan oleh Dini. Lantas mengacungkan di depan wajah sahabatnya itu. “Perjanjian bahwa kau akan mencucikan bajuku selama sebulan penuh.”
“Hei … itu kubuat secara tak sengaja. Aku tak sadar.” Dini mengelak. Dia merasa telah dikelabui oleh Lidya.
“Mau sadar kek, mau tak sengaja kek, intinya kau sudah bertanda tangan di kertas ini. Ingat perjanjian tetaplah perjanjian. Aku memiliki bukti, kau tak bisa mengelak. Mulai besok dan sebulan ke depan kau harus mencuci bajuku. Paham, Nona?” Lidya menaik-turunkan alis. Merasa menang!
Dini tak dapat menyangkal. Dia menggertakkan gigi seraya kembali melempar bantal demi melampiaskan kekesalannya.
“Sialan kau, Lidya …!”
“Tunggu pembalasanku!”
Lidya hanya mencebikkan bibir. (*)
Uzwah Anna, lahir, tumbuh dan besar di sebuah pelosok kampung, di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tape goreng, tahu isi, dan cilok. Suka berkebun buah dan bunga. Mawar merah merupakan bunga terfavorit!
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata