Secret 8
Oleh: Veronica Za
Dua bulan sebelum pendakian.
Rintik hujan perlahan turun membasahi permukaan tanah. Percikannya terasa hingga ke wajah Mayang yang tengah berdiri di depan apotek. Niat hati ingin segera pulang ke rumah untuk istirahat. Kepalanya terus saja berdenyut nyeri.
Sayangnya, cuaca sedang tak bersahabat. Langit yang semula terang benderang berubah menjadi kelabu dan menumpahkan segala isinya.
Mayang kembali menyentuh keningnya. Rasa nyeri itu kian mendera diiringi mual yang tak tertahankan. Gadis itu menutup mulutnya mencoba bertahan, tapi gagal. Sebelum terlambat, Mayang berlari ke samping toko dan memuntahkan seluruh isi makan siangnya yang memaksa untuk keluar.
Tepukan halus terasa nyaman di punggungnya yang membungkuk. Meski penasaran, ia tak kuat untuk sekadar menoleh mencari tahu. Ia berharap itu adalah Dodi yang beberapa menit lalu berkata akan menjemputnya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya seseorang dengan suara yang asing terdengar olehnya. Sebotol air mineral terulur ke arahnya.
Mayang terpaksa menoleh juga. Dilihatnya sosok pemuda dengan wajah oriental tersenyum padanya. Ia tak mengenalnya, tapi orang itu terasa tak asing.
“Kamu siapa?” lirih Mayang. Pemuda itu ikut duduk tepat di samping Mayang yang bersandar pada dinding sambil berselonjor.
“Tadi Dodi minta tolong aku untuk jemput kamu di sini. Dia masih ada urusan sama dosen soal skripsi. Oh iya, aku Erik.”
Senyuman terukir di wajah manis Mayang, pertanda keadaannya sudah membaik. Erik mengulurkan tangannya hendak berkenalan. Nahas, bukan tangan Mayang yang menyambutnya melainkan muntahan sesi kedua. Merah padam muka keduanya. Gadis itu malu bukan kepalang, sedangkan Erik jijik setengah mati.
***
”Gokil! Kamu benar-benar kurang ajar, ya? Masa cowok sekeren Erik kamu muntahin!” ejek Dodi yang tergelak sejak baru datang ke kelasnya.
Mayang bahkan belum sempat bercerita mengenai kejadian sore itu. Ah, tentu saja Erik yang memberitahunya. Memalukan sekali. Ia sempat berpikir gila untuk terjun dari lantai dua kampus mereka saking malunya.
“Sudah cukup ketawanya!” rajuk Mayang kesal sambil berlalu. Dengan menahan tawa, Dodi mengejarnya.
“Iya deh, maaf. Habisnya … lucu banget! Kamu tahu nggak? Biasanya kan, cewek-cewek pada genit ke dia eh kamu malah bikin dia jijik setengah mati gitu.”
Tangan Mayang sudah sangat gatal ingin menampar pipi “chubby” pemuda di hadapannya itu. Benar-benar geram. Andai saja ia tak sedang berada dalam posisi memalukan, pasti ia sudah bertindak. Mayang harus menahan emosinya kali ini.
Mayang masih menyusuri koridor kampus yang tampak lengang. Dodi masih saja membuntutinya. Untungnya pria itu sudah kembali menjadi “si pendiam”. Ia bersyukur untuk itu.
Di ujung koridor, seseorang tengah berdiri sambil menyandarkan punggungnya pada tembok. Gayanya yang “cool” ala aktor Korea yang membuat para gadis memandang sembari berbisik. Entah apa yang mereka bisikan, tapi yang pasti isinya adalah kekaguman. Yang ia tahu dari Dodi, Erik juga salah satu murid teladan di kampus. Perfect.
Dodi menyapa sahabatnya itu dari jarak yang masih terpaut seratus meter. Mayang bersikap cuek dan berniat melewati Erik begitu saja. Dengan cekatan, Dodi menarik lengan Mayang sehingga mau tak mau ia berhadapan lagi dengan pria yang membuatnya malu berat.
“Hai! Udah baikan?” tanya Erik ramah, tapi disalahartikan sebagai sindiran oleh Mayang.
“Udah, makasih!” jawab Mayang ketus. Tanpa pamit, gadis itu segera pergi setelah berusaha lepas dari cengkeraman Dodi.
***
Hari-hari memalukan bagi Mayang ternyata belum berakhir setelah beberapa hari berlangsung. Erik masih saja membuatnya mengingat kejadian itu. Entah apa yang sebenarnya pria itu inginkan. Lagaknya seakan sudah berteman sejak lama.
Saat makan siang, dengan santai Erik mengekori Dodi dan bergabung makan siang bersamanya. Begitu pun saat usai kuliah, pemuda itu juga ikut naik bus yang ia dan Dodi tumpangi. Rasanya tak ada hari tanpa kehadiran Erik yang membuatnya canggung, meski sebenarnya pria itu sama sekali tak pernah menyinggung soal kejadian itu.
Hari ini, Mayang bangun kesiangan dan ketinggalan bus yang biasa ia naiki. Terpaksa, ia menunggu setengah jam lagi untuk mendapat bus lain yang menuju ke arah kampusnya. Tiba-tiba sebuah motor besar berhenti di hadapannya.
Mayang tak merasa memiliki teman dengan motor keren itu, tentu saja ia diam. Ia tertegun saat si empunya membuka helm dan menyapanya seperti hari-hari lainnya.
“Ayo naik! Aku antar sampai kampus,” ajak Erik sambil tersenyum.
Mayang sudah menerka sejak lama jika pria itu menaruh rasa padanya. Namun, ia juga tak ingin sembarangan menyimpulkan. Kali ini, ia sudah tak tahan lagi dan berniat meluruskan masalah ini.
“Kak, sebelumnya aku nggak bicara karena mengingat Kak Dodi. Aku pikir hanya akan berlanjut beberapa hari, tapi ini sudah hampir sebulan loh dan aku nggak tahan lagi. Tolong, jangan kayak gini lagi. Aku sudah punya orang yang aku suka.” Mayang menjelaskan panjang lebar berharap Erik tak lagi memberi perhatian lebih seperti ini.
“Maksud kamu apa, ya? Kok aku malah bingung,” Erik malah balik bertanya, seakan tak mengerti jika ia sudah ditolak mentah-mentah.
“Kakak suka sama aku, ‘kan? Aku jawab, kalau aku sudah menyukai orang lain.”
Erik tampak tertegun. Mayang jadi serba salah dibuatnya. Mayang mengira jika Erik tengah patah hati. Ternyata salah! Erik malah menyunggingkan senyum “devil”-nya.
“Kamu salah paham, Mayang yang cantik! Aku nggak deketin kamu buat nembak kamu, kok.”
“Lalu?”
“Aku cuma berusaha bersahabat dengan cewek yang sedang aku taksir, tapi bukan kamu.”
“Lalu apa hubungannya denganku?”
“Tentu saja terhubung karena kalian bersahabat. Sama halnya dengan aku dan Dodi.”
Mayang masih kebingungan. PDKT? Sahabat? Apa maksudnya? Tiba-tiba terlintas olehnya wajah Rani, sahabatnya sejak kecil. Wajah Mayang berubah merah setelah mencerna teka-teki Erik. Selama ini Rani-lah yang sedang diincar oleh pria itu.
“Jadi … Kak Erik suka sama Rani?” tanya Mayang histeris.
“Yup!”
Erik terkekeh melihat Mayang menepuk dahinya sendiri. Mayang merasa bodoh. Ia benar-benar seorang yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
“Mau tahu detailnya?” tanya Erik menggoda.
Tentu saja Mayang mengangguk. Biar bagaimanapun, Rani itu sangat berharga baginya. Tak mungkin ia merelakannya ke tangan pemuda idaman wanita seperti Erik seenaknya. Baginya, semua pria tak berbeda. Sama saja seperti mantan kekasihnya dulu.
“Kalau begitu, naik! Aku ceritakan sambil menuju kampus. Kamu tentu nggak mau terlambat masuk kelas, kan?”
Mayang setuju. Perlahan laju motor itu mulai membelah jalanan ibu kota diiringi cerita tentang pendekatan Erik kepada Rani yang tak diketahui oleh siapa pun termasuk Dodi. Hari itu, semua jelas bagi Mayang.
Dimulai dari pertemuan tak sengaja antara Erik dan Rani yang tak kalah memalukan dari kejadian muntah waktu itu. Mereka bertemu saat di bus menuju kampus dan duduk bersama. Rani yang mengantuk akhirnya tanpa sengaja tertidur di bahu Erik.
Entah karena iba atau apa, Erik membiarkannya. Rani terbangun kaget saat mendengar suara kondektur yang menyebutkan nama kampus mereka. Ia berdiri dan seketika itu juga turun dari bus tanpa menghiraukan keberadaan Erik.
Jangankan terima kasih, kata maaf pun sama sekali tak terucap oleh gadis itu. Sebuah kata maaf sebagai penyebab Erik memutuskan tak masuk kuliah hari itu. Kemeja putih yang dikenakannya terlukis sebuah pulau berukuran besar di bagian pundak tempat Rani tertidur.
Sial bagi Erik, keesokan harinya ia kembali bertemu dengan Rani tetapi gadis itu sama sekali tak mengenalnya. Sejak itu, ia menyukai Rani dan berusaha mendekatinya melalui Mayang yang ternyata memiliki sifat yang sama-sama “unik”.
***
Dodi kembali mengingat kejadian yang diceritakan Mayang. Ia baru sadar jika Erik selalu mendekati Mayang saat ada Rani juga di sana. Mulai dari soda, obat bejo itu, dan juga lainnya. Ia merasa menjadi pecundang saat itu juga.
Bagaimana bisa ia menyimpulkan sendiri semuanya. Padahal ia tahu, jika apa yang terlihat tak selalu benar. Ada kalanya hati mendominasi logika sehingga tak lagi bisa berpikir dengan baik.
Semangat itu kembali mengalir di dadanya. Semangat untuk mendapatkan hati seorang gadis manis bernama Mayang. Runtuh semua keraguan di hatinya selama ini.
Meskipun harus menemui rintangan lagi, ia tak akan lagi menyerah. Karena ia tahu, hati Mayang pun sudah tertuju ke arahnya. Dengan perlahan, ia mengeluarkan seikat bunga abadi yang sejak tadi ia sembunyikan. Ia berharap cintanya pun akan abadi.
Bersambung ….
Veronica Za, penulis amatir yang penuh mimpi. Masih berusaha keras meraihnya hingga saat ini. Bisa dihubungi via facebook dengan nama yang sama.
Email: veronica160.vk@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita