Secret 5
Oleh: Veronica Za
Tahukah rasanya jika sedang berada di puncak dari rasa cinta, kemudian cinta itu pergi dalam sekejap mata? Sakit yang melebihi rasa sakit saat hati disayat sembilu. Seolah jantung diambil paksa tanpa bius yang menimbulkan nyeri di sekujur tubuh.
Begitu pula dengan kisah cinta Tasya beserta alasan Putra menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Bukan karena ia terobsesi pada Putra, melainkan cinta yang tulus dari hati membuat kebutaan sepenuhnya pada Tasya.
Berawal dari kecelakaan yang menyebabkan ayah Tasya meninggal di tempat. Sebuah truk besar pengangkut pasir tiba-tiba saja menabrak mobil yang ayah Tasya kendarai.
Ayah dan supir truk itu meninggal di tempat, sedangkan Tasya yang baru berusia lima belas tahun terluka sangat parah. Saat itu harusnya menjadi hari liburan mereka ke rumah Nenek di Bandung. Beruntung, Ibu tak ikut dengan mereka.
Tasya yang mengalami kerusakan cukup parah pada bagian organ dalam, akhirnya harus merelakan satu ginjalnya diangkat. Tersisa satu ginjal yang juga tak sempurna baginya untuk bertahan hidup.
Nenek yang kehilangan anak semata wayangnya, tak ingin jika harus kehilangan Tasya juga. Hanya Tasya satu-satunya yang menjadi alasan wanita lima puluh tahun itu hidup setelah mendengar musibah yang menimpa anaknya.
“Ginjal Tasya sudah rusak parah, Bu. Ia hanya memiliki satu ginjal yang tersisa, itu pun tak bisa menjamin kesehatannya kelak. Terpaksa ia harus menjalani cuci darah setiap beberapa bulan sekali demi menjaga agar dia tetap sehat,” jelas Dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.
Air mata Ibu dan Nenek jatuh berderai, meratapi hidup gadis belia itu harus bolak-balik rumah sakit. Belum lagi biaya yang pasti tak sedikit. Meski begitu, mereka tak mau jika harus pasrah membiarkan Tasya menyusul ayahnya.
“Lakukan apa saja yang menurut Dokter harus dilakukan. Saya tidak akan menyerah sama sekali.”
Dokter muda itu tersenyum melihat ketegaran dari sosok renta di hadapannya. Dalam hati, ia juga berharap dan akan terus berupaya untuk kesehatan gadis itu.
“Ada satu jalan lain yang bisa dilakukan, yaitu transplantasi ginjal. Sayangnya, agak susah untuk mendapatkan donor ginjal sekarang ini. Untuk sementara, Tasya sudah kami masukkan dalam daftar antrian penerima donor.”
Ibu mengangguk dan menyimak segala arahan dari Dokter bernama Haris itu. Meski hanya ada setitik harapan, itu patut untuk diperjuangkan.
Begitulah hari-hari selanjutnya yang Tasya jalani. Tak pernah jauh dari rumah sakit dan obat-obatan. Sempat terpikir oleh Tasya untuk pasrah saja. Namun, ia selalu ingat akan perkataan Dokter Haris mengenai perjuangan Nenek dan ibunya. Jika saja saat itu diizinkan, pasti mereka sudah menyerahkan sebelah ginjalnya untuk Tasya.
Tasya turun dari bis sekolah dengan wajah pucatnya. Langkahnya terlihat gontai. Hampir saja ia jatuh tersungkur jika tangan kekar seseorang itu tak segera menangkapnya.
“Kamu nggak apa-apa? Wajah kamu pucat sekali!” Ada kekhawatiran yang terselip di suaranya.
“Iya. Terima kasih. Saya cuma kurang enak badan saja.” Tasya mencoba tegak berdiri sehingga si pria tadi merenggangkan tangannya yang erat memegang bahu Tasya.
“Tapi wajah kamu beneran pucat, loh! Itu–”
Kali ini pria bermata gelap itu benar-benar khawatir. Terlebih lagi, ada cairan merah segar yang mengalir dari lubang hidung Tasya sebelah kanan. Dengan sigap, ia mengambil saputangan putih dari saku belakangnya kemudian menutup hidung yang berdarah itu sambil mendongakkan kepala Tasya. Dibimbingnya gadis itu menuju bangku di halte yang sedang sepi.
Lima belas menit berselang. Mimisan di hidung Tasya sudah berhenti. Saputangan yang semula berwarna putih, kini dipenuhi bercak merah. Benda itu masih digenggam erat oleh Tasya.
“Kakak nggak terlambat kerja? Ini sudah lewat dari jam tujuh, loh!” tanya Tasya berusaha mencairkan keadaan. Kepalanya masih sedikit pusing.
“Aku nggak kerja. Cuma ada urusan ke SMA Nusa,” jelas pemuda itu sambil matanya terus mengamati laju kendaraan yang lalu-lalang.
“Terima kasih untuk bantuannya tadi. Kalau bukan karena Kakak, mungkin aku panik tadi.” Kata-kata tulus itu mengalir begitu saja dan ditujukan untuk orang yang sama sekali belum dikenalnya.
“Kamu sakit apa?”
“Cuma mimisan biasa, Kak. Mungkin kelelahan habis ujian.”
Pekenalan singkat terjadi di antara Tasya dan Putra. Berlanjut hingga beberapa minggu terlewati.
Ada kecurigaan dalam hati Putra yang selalu melihat perubahan drastis pada kondisi Tasya. Sebagai mahasiswa kedokteran, sedikit banyak ia tahu gadis itu mengidap penyakit serius.
Tanpa sepengetahuannya, ia mengikuti gadis itu ketika terlihat sudah sangat lemah. Sesuai perkiraan, Tasya bersama ubunya pergi ke rumah sakit.
Lorong demi lorong mereka lalui tanpa tahu ada sepasang mata yang terus mengawasi dari jauh. Mata itu terbelalak kala melihat arah ruangan yang dituju. Ruang cuci darah. Apa yang ia pikirkan selama ini tak melese. Tasya mengalami kerusakan ginjal. Karena apa? Itu yang perlu ia ketahui.
Tak lama setelah mereka masuk, ada sosok yang sangat ia kenal ikut masuk ke dalam ruangan itu. Dokter itu adalah Dokter Haris yang notabene adalah salah satu dokter yang sering memberi seminar di kampusnya.
Dua bulan setelah kejadian itu, Tasya mendapatkan kabar gembira. Ada seorang pendonor ginjal untuknya. Akhirnya, semua penderitaan akan segera berakhir.
Tasya langsung membagi kabar bagus itu pada Putra. Ia menceritakan betapa bahagia dirinya karena sesuatu keajaiban yang tak terduga di saat hati lelah berharap.
“Selamat!” hanya itu balasan chat dari Putra.
Tasya menjalani transplantasi ginjal di saat Putra ada di Jogjakarta menempuh proses koas-nya. Selangkah lagi menuju impian yang sesungguhnya. Tasya mendapat kehidupan normalnya, sedangkan Putra menjadi dokter yang bisa diandalkan nantinya.
***
Tasya remaja berjalan dengan bangga ke sekolah. Gadis yang kini sudah menginjak usia delapan belas tahun itu memang patut menjadi bahan pujian.
Nilainya selalu menjadi yang tertinggi di kelas, bahkan di sekolah. Dua tahun berturut-turut, ia menyandang status juara umum. Banyak juga lomba yang sudah ia raih, terutama di bidang saint.
“Kalau aku pikir-pikir lagi, Tasya yang dulu baru masuk sekolah dengan yang sekarang sangat jauh berbeda. Kok bisa begitu, ya?” tanya Angel pada Tasya yang sedang asyik mengunyah bakso di kantin sekolah.
“Belajar, dong!” jawab Tasya enteng. Angel gemas mendengar alasan klise itu.
“Kalau itu sih aku tahu!”
“Kenapa nanya lagi?” Tasya yang cuek, menatap wajah lawan bicaranya.
“Dulu kamu selalu pucat, mimisan dan pingsan. Aku Cuma penasaran aja, sih!”
“Dulu ginjalku rusak dan harus bolak-balik cuci darah. Setelah ada malaikat yang mau mendonorkan ginjalnya buatku, berangsur aku mulai sehat. Sampai sekarang aku bersyukur dan berharap bisa bertemu dengannya,” cerita Tasya sambil mengingat kembali masa dua tahun silam.
Ibu hanya memberi kabar tentang pendonor tanpa identitas itu. Meski penasaran, Dokter Haris tak pernah mau membongkarnya. Akhirnya, yang bisa ia lakukan hanya hidup dengan baik sebagai tanda syukur.
Terlebih lagi, ada universitas kedokteran yang ingin ia gapai demi menjadi dokter. Profesi yang sama dengan orang yang selalu menghuni hatinya sejak lama. Sayangnya, ia kehilangan kontak dengannya beberapa bulan belakangan ini.
Tasya pulang ke rumah yang terasa sangat sepi. Ibu sedang pergi menjenguk saudara yang sakit di Bandung. Mengingat obrolannya dengan Angel siang tadi, Tasya memutuskan untuk mencari data pendonor yang pasti diketahui ibunya.
Satu per satu lemari dan laci ia periksa dengan teliti. Nihil. Tak ada sama sekali data ataupun petunjuk mengenai operasi itu. Ia berpikir, untuk apa pendonor itu menyembunyikan identitasnya? Entahlah.
Tasya yang kesal tanpa sengaja menyenggol tumpukkan baju paling pinggir. Baju-baju yang jarang sekali dipakai ibunya. Mata bulat itu menangkap ujung kertas yang menyembul dari balik lipatan baju. Penasaran, ia menarik kertas putih yang malah membuatnya menangis sejadi-jadinya. Ada nama Putra Rahardian yang mengisi kolom pendonor ginjal dua tahun lalu.
Jelas sudah, kenapa mereka menyembunyikan hal ini darinya. Dalam kekalutannya, ia pergi ke Bandung menyusul ibunya untuk menjelaskan.
Bukan main kaget dan sedihnya Tasya ketika tiba di rumah sakit. Ibunya yang tak menyangka Tasya akan datang, mencoba menenangkannya.
Gadis itu menangis histeris melihat sosok yang ia nanti kabarnya malah sedang terbujur lemah di atas ranjang pasien. Tubuhya penuh dengan kabel dan jarum sebagai penunjang kehidupannya. Pantas saja, ia kehilangan kabar tentang keberadaan Putra selama ini.
Setelah tenang, Ibu menceritakan kronologis mengenai Putra. Lelaki dua puluh enam tahun itu adalah pendonor ginjal Tasya. Awalnya semua baik-baik saja. Hingga suatu hari, ginjal Putra yang tersisa terdapat kebocoran yang cukup lebar. Setelah operasi, tetap saja tak ada tanda-tanda untuk kesembuhannya.
Pemuda itu hidup sebatang kara, sudah selayaknya Ibu merasa bahwa ia wajib mengurus Putra.
Tasya mengerti dan juga merasa bersalah. Seandainya dulu, Putra tak memberikan sebelah ginjalnya, mungkin kasusnya tak akan serumit ini. Orang yang ia cintai dan kagumi kini terbaring lemah karena dirinya.
Dengan telaten, Tasya merawat Putra di akhir pekan dan libur sekolah. Siang itu, tiba-tiba saja Putra tengah duduk di atas ranjang sambil menatap layar ponselnya.
“Lihat apa?” tanya Tasya penasaran.
“Kamu ingat, aku pernah bilang soal hobiku naik gunung?” Tasya mengangguk. “Aku ingin sekali lagi merasakan kesenangan berada di puncak. Cukup sekali lagi dan bersama kamu!” tambahnya.
“Tapi, kondisi kamu–“
“Jangan khawatir. Sekarang aku cukup sehat kok. Bisa jadi setelah naik gunung nanti, kondisiku membaik.”
“Baiklah. Aku akan izin pada Dokter Haris dan juga Ibu lebih dulu. Jika mereka mengizinkan, aku pasti ikut bersamamu naik gunung.”
Kebahagiaan terpancar dari wajah pucatnya. Setelah mengantongi izin, mereka melakukan persiapan untuk mendaki. Hal ini merupakan hal baru bagi Tasya.
Hari yang dinanti telah tiba. Saat dalam perjalanan, Putra merogoh isi ranselnya. Ada dua buah gantungan tas di tangannya. Satu gembok dan satu lagi kuncinya. Tasya yang tak mengerti maksudnya, menatap lekat dua manik hitam milik Putra.
“Gembok ini buat kamu, karena hatimu sudah terkunci hanya milikku. Sedangkan kunci ini buatku, suatu hari nanti aku akan membuka dan menjadikan seutuhnya milikku.”
Putra menghapus bulir-bulir bening di mata Tasya yang meng-amini kata-katanya barusan.
“Seandainya aku tak bisa lagi membukanya–”
“Aku akan mengunci selamanya. Sampai kamu sudi membukanya!” sela Tasya cepat. Ia tahu ke mana arah obrolan mereka. Masing-masing dari mereka memasang gantungan itu pada ransel mereka. Jemari mereka saling berpaut erat, seakan hanya kematian yang bisa memisahkan mereka.
***
Nahas bagi mereka. Tragedi di perjalanan pendakian Tasya dan Putra menyisakan luka mendalam bagi Tasya.
.
Setelah dulu menerima ginjal pria itu, lalu kini ia juga diselamatkan lagi oleh orang yang sama dan mengakibatkan kematian. Bukan hanya Putra, tetapi juga Tasya.
Bak mayat hidup, Tasya menjalani hari-hari setelah tragedi itu. Setiap ulang tahun Putra, ia mendaki seorang diri. Berharap bisa menemukan sosok Putra meski dalam wujud berbeda. Bahkan jika memungkinkan, ia ingin segera menyusul Putra ke alam sana.
Bersambung ….
Tangerang, 29/05/2018
Veronica Za, penulis amatir yang bermimpi menjadi novelis. Penyuka drama Korea dan penggila donat. Bisa dihubungi melalui :
Fb : veronica za
Email : veronica160.vk@gmail.com
IG : veronica.za.16
Blurb:
Pendakian ke Gunung Salak oleh dua belas mahasiswa pecinta alam dari ibukota diwarnai dengan kisah-kisah romantis serta menegangkan. Dodi–ketua pecinta alam– berjuang menahan gejolak di hatinya saat harus menerima kenyataan jika Mayang menyukai Erik, sahabat baiknya. Berbagai peristiwa membuatnya menyerah secara perlahan untuk mendapatkan hati Mayang.
Trek yang ekstrim ternyata sama dengan hati Mayang. Di saat Dodi berusaha ikhlas, Mayang menunjukkan perhatian mendalam padanya. Ditambah hadirnya sosok gadis misterius yang mereka temukan di tengah pendakian.
Akankah Dodi mendapatkan cintanya? Atau malah berakhir dengan cinta yang baru?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita