Secret (episode 4)

Secret (episode 4)

Secret 4

Oleh: Veronica Za

Suasana malam dari atas puncak Gunung Salak merupakan suatu kepuasan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Hitam pekat hutan yang mengelilingi kawasan perkemahan para pendaki itu tak menjadi hal yang menakutkan. Para pendaki yang bermental tempe tak akan mampu menempuh perjalanan meski hanya separuhnya.

Rembulan tanggal empat belas bertemankan ribuan bintang tampak cantik menggantung di atas langit tak berawan. Tasya duduk seorang diri sambil menggenggam erat ransel berwarna biru muda. Gantungan kunci berbentuk gembok masih menggantung di sana. Ribuan kenangan tersimpan di dalamnya. Kenangan bersama si pemilik kunci gembok itu.

Gadis manis berambut sebahu itu menghapus bulir-bulir bening yang merembes dari sela mata bulatnya. Ada nyeri teramat dalam yang tersirat di sana. Dari tempatnya, ia bisa melihat Mayang tengah sibuk mengacak-acak isi tasnya. Sepertinya gadis itu mencari sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil. Pun hidungnya yang sudah memerah. Wajah polosnya membuat Tasya teringat akan sosok yang saat ini tengah ia rindukan.

Tak lama kemudian, Dodi menghampirinya dengan membawa syal cokelat dan langsung melilitkan benda itu pada leher Mayang. Gadis itu tersenyum manis sedangkan si pria malah terlihat mendumel. Tanpa mendengarnya saja, Tasya tahu pemuda hitam manis itu sangat khawatir.

Melihat itu semua membuat Tasya mengembuskan napasnya dalam-dalam. Ia berharap Mayang tak akan pernah mengalami kisah cinta seperti miliknya. Dua bulir air mata kembali mengalir di kedua pipinya.

“Kamu kenapa?” tanya Dodi yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Tasya. Dengan segera, gadis itu menghapus jejak kesedihan dari wajahnya.

“Eh … nggak apa-apa kok!” tergagap Tasya menjawab.

“Terus itu mata kamu kenapa? Kok merah?”

“Kelilipan!”

“Oooh ….” Dodi tahu Tasya berbohong. Namun, ia tak mau memaksa gadis itu bercerita. Sedikit banyak ia sudah berpengalaman dengan curhatan gadis seperti dirinya. Tanpa dipaksa pun cerita itu akan mengalir dengan sendirinya.

Hening menyelimuti keduanya. Api unggun yang menghalau dinginnya malam semakin membesar tertiup sepoi angin gunung. Dodi bersidekap sebagai upaya menghangatkan badan.

“Kamu nggak kedinginan?” Dodi heran dengan Tasya yang hanya berbalutkan jaket tipis di tengah terpaan dingin.

“Sedikit.”

“Kenapa nggak pakai jaket yang lebih tebal?”

“Aku sudah terbiasa. Ini bukan kali pertama aku naik gunung, Kak!”

Dodi tahu itu. Kalau bukan karena terbiasa mana mungkin gadis bodoh itu berani mendaki sendirian. Rasanya sepuluh jempol yang ia pinjam dari teman-temannya pun tak bisa mengapresiasikan keberanian gadis itu.

Di sisi lain, ada hati yang tengah terkoyak melihat kedekatan yang terjalin hanya dalam hitungan jam. Mayang tak habis pikir, bagaimana bisa Dodi dengan cepat melabuhkan hatinya pada Tasya.

Jemari lentik yang sejak tadi masih membereskan kembali satu per satu isi tasnya, menemukan jaket couple. Ia ingat jaket itu adalah jaket yang ia beli bersama Dodi. Harusnya jaket ini sudah berada di tangan si empunya, tetapi keadaan tak memungkinkan. Bahkan mungkin tak akan pernah tersampaikan.

Erik tiba-tiba mengumunkan kegiatan untuk mengisi malam pertama mereka di puncak gunung. Dua belas pendaki ditambah Tasya berkumpul mengitari api unggun. Tak jauh dari sana para pendaki lain pun melakukan hal yang sama. Erik dan Beni memimpin acara tanpa mengajak Dodi. Pria itu hanya akan membuat acara menjadi kaku tanpa keceriaan.

Dodi dan Tasya duduk berdampingan, tepat di seberang api unggun ada Mayang menatap penuh sesak. Sesekali mereka bersenda gurau menanggapi ocehan Erik. Mayang merasa tak ikhlas jika ada orang lain yang bisa membuat Dodi tertawa serenyah itu.

“Kamu cemburu, ya?” bisik Rani.

“Nggak, kok! Kenapa juga harus cemburu? Tasya ‘kan sudah punya pacar,” elak Mayang. Sebenarnya kata-kata itu bukan untuk Rani melainkan ia mencoba meyakinkan diri sendiri demi meredam gejolak di dadanya. Belum lagi Rani menimpali, suara Erik membuyarkan semuanya.

Ada anggota yang kebagian untuk bernyanyi sebagai penyemarak acara. Zoya, mahasiswi seni yang memiliki suara emas berdiri sambil mengapit microfon portable di tangannya.

Lagu romantis yang diiringi petikan gitar oleh Beni membuat malam dingin mereka semakin syahdu. Lagu dari seorang musisi tanah air yang sedang naik daun itu mengalun dari bibir tipis milik Zoya.

….
Kutuliskan kenangan tentang
Caraku menemukan dirimu
Tentang apa yang membuatku mudah
Berikan hatiku padamu

Tak ‘kan habis sejuta lagu
Untuk menceritakan cantikmu
‘kan teramat panjang puisi
‘tuk menyuratkan cinta ini

Telah habis sudah cinta ini
Tak lagi tersisa untuk dunia
Karena telah kuhabiskan
Sisa cintaku hanya untukmu

Aku pernah berpikir tentang
Hidupku tanpa ada dirimu
Dapatkah lebih indah dari
Yang kujalani sampai kini
….

Lirik lagu itu mampu membuat bulir bening dari mata Mayang mengalir deras. Lagu itu meresap jauh ke dalam lubuk hatinya. Lagu itu adalah lagu yang sama dengan lagu yang sering Dodi nyanyikan saat mereka bersama.

Meski sedikit sumbang tapi Mayang selalu menyukainya. Terlebih jika ia mengingat bagaimana konyolnya Dodi pamer suara sumbangnya bak penyanyi kawakan. Saat itu terjadi, biasanya Mayang akan pura-pura meng-iyakan. Mayang tak menyangka jika lagu itu akan menjadi sangat bermakna saat ini.

Sama halnya dengan Mayang, air mata Tasya pun mengalir di kedua pipi chubby-nya. Bedanya, ada Dodi yang sigap menghapus kesedihan itu. Dodi masih menunggu Tasya untuk bercerita.

Setidaknya hanya itu yan bisa ia lakukan untuk membalas kebaikannya karena sudah menyelamatkan Mayang. Dalam hatinya, ia juga tersentuh dengan lagu yang baru saja berakhir dan digantikan oleh keseruan lainnya.

“Kamu tahu, Kak? Dia sering banget nyanyi lagu-lagu romantis kayak gini. Aku jadi kangen sama dia.” Tasya berusaha menetralkan kembali hatinya.

“Besok kamu pasti akan ketemu sama dia. Mustahil jika dia nggak mencari kamu sama sekali.”

“Sebenarnya aku … aku bohong soal teman-temanku. Maaf!”

Sejak pertama bertemu siang tadi, Dodi menaruh curiga dengan alasan yang dibuat oleh Tasya. Tidak mungkin bagi pendaki untuk meninggalkan salah satu anggota di belakang. Jika memang terdesak, harusnya Tasya didampingi satu orang untuk menemani.

Dodi masih terdiam. Tasya yang terlanjur jujur, melanjutkan cerita yang membuatnya berakhir di gunung ini sendirian.

***

Lima tahun lalu, Tasya yang masih duduk di bangku SMA di ajak oleh Putra—pacarnya—untuk pergi mendaki gunung. Putra yang sudah mendapat statusnya sebagai mahasiswa di universitas ternama di Jakarta itu pun sudah mengantongi izin dari orang tua Tasya.

Pendakian yang demikian sulit dijalaninya dengan ceria karena ada Putra yang selalu bersamanya. Lelah, penat, dan takut mereka kesampingkan demi mencapai puncak Gunung Salak, berdua saja.

“Apa yang membuatmu sangat menyukai mendaki gunung?” tanya Tasya di sela-sela perjalanannya. Napasnya terengah menempuh trek curam berbatu dan berlumpur.

“Karena ketika mencapai puncak nanti, aku merasa berada dekat sekali dengan Sang Pencipta. Kepuasan yang tidak terkira pun akan kamu rasakan nanti, saat melihat pijar lampu rumah warga di bawah sana dari atas puncak. Pokoknya tidak bisa dibayangkan tapi hanya bisa dirasakan!” jelas Putra sambil menggandeng tangan pacarnya yang baru pertama kali mendaki.

Tasya tersenyum. Keringat mengalir dari sisi wajahnya yang bulat. Hingga akhirnya, mereka tiba di jembatan dari pohon. Perlahan, Putra menyeberangi jembatan dan berhasil. Giliran Tasya, dengan takut-takut ia menyeberang.

Awalnya baik-baik saja. Nahas di tengah jembatan, Tasya terpeleset. Hampir saja ia terjatuh ke jurang tak berdasar di bawah sana jika saja Putra tak datang menolong. Tasya selamat dan menyeberangi jembatan lebih dulu.

Sedetik setelah kaki Tasya menjejak tanah dan berbalik menanti sang pacar, bukan datang menghampiri dirinya, Putra malah jatuh terperosok ke dasar jurang bersama batang pohon yang terbelah menjadi dua. Tasya menjerit histeris menyaksikan belahan jiwanya berkorban nyawa demi dirinya.

Sejak peristiwa itu, setiap tahun di hari ulang tahunnya, Tasya selalu mendaki Gunung Salak ini dan mencapai puncak hanya untuk mengenangnya. Semua itu ia lakukan untuk merasa lebih dekat dengan Putra, lelaki yang masih mengisi hatinya sampai saat ini.

Bersambung ….

Tangerang, 25/05/2018

Veronica Za, penulis amatir yang bermimpi menjadi novelis. Penyuka donat dan juga drama Korea. Bisa dihubungi di Fb: veronica za, Email : veronica160.vk@gmail.com

Blurb:

Pendakian ke Gunung Salak oleh dua belas mahasiswa pecinta alam dari ibukota diwarnai dengan kisah-kisah romantis serta menegangkan. Dodi–ketua pecinta alam– berjuang menahan gejolak di hatinya saat harus menerima kenyataan jika Mayang menyukai Erik, sahabat baiknya. Berbagai peristiwa membuatnya menyerah secara perlahan untuk mendapatkan hati Mayang.

Trek yang ekstrim ternyata sama dengan hati Mayang. Di saat Dodi berusaha ikhlas, Mayang menunjukkan perhatian mendalam padanya. Ditambah hadirnya sosok gadis misterius yang mereka temukan di tengah pendakian.

Akankah Dodi mendapatkan cintanya? Atau malah berakhir dengan cinta yang baru?

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita