Secret – Episode 2

Secret – Episode 2

Secret 2

Oleh: Veronica Za

Pukul lima pagi setelah melakukan salat subuh, semua anggota berkumpul. Setelah mendapat instruksi, mereka mulai packing ulang kemudian sarapan.

Cuaca yang dingin dengan embunnya yang lembut menjadi pengalaman yang akan susah didapatkan di Jakarta.

Dodi dan Erik masih menikmati sarapannya ketika Mayang datang menghampiri. Ia membawa gelas plastik berwarna pink di tangannya.

“Kak, ini kopi hangat. Lumayan buat ngusir ngantuk!” Mayang menyodorkan gelasnya di depan kedua pemuda itu.

Tak ada yang menyambut. Keduanya berpikir kopi itu bukan untuk mereka. Mayang menggoyangkan gelasnya pertanda mulai kesal.

“Buat siapa?” tanya Erik memastikan.

“Kak Dodi!” jawab Mayang mantap. Dodi malah hampir tersedak mendengarnya, tak menyangka kopi itu ditujukan untuknya.

“Cieee … cuma Dodi nih yang dikasih?”

“Hehe … maaf, Kak! Tadi air panasnya cuma cukup satu gelas ini lagi.” Mayang tampak tak enak hati.

“Nggak apa-apa, kok. Bercanda!” Erik tertawa geli melihat sikap Mayang yang salah tingkah.

“Iya, nggak apa-apa. Ini bisa diminum berdua, kok!” Dodi menyambut gelas itu.

Tanpa menunggu lama, Mayang berlalu.
Dodi masih tak habis pikir dengan sikap Mayang yang terkesan plin-plan. Tak ingin larut lagi dalam perasaan, Dodi mengartikannya sebagai perhatian seorang sahabat. Tak lebih.

Setiap regu sudah berkumpul dengan ketuanya masing-masing. Trek pertama berupa jalanan beraspal sejauh satu kilo yang sangat menanjak. Trek pemanasan sebelum mencapai jalur pendakian sebenarnya.

Setelah sampai di gerbang pendakian, mereka memilih menggunakan jalur hutan yang kisaran jaraknya sembilan kilometer. Karena banyak anggota baru, Dodi memutuskan untuk membagi perjalanan menjadi empat etape. Sesekali Dodi menangkap wajah lelah Mayang. Gadis itu memang belum sekali pun berjalan sejauh ini, ditambah trek yang curam.

Perjalanan berlanjut. Pemandangan luar biasa yang tersaji di depan mata tak mampu mereka dapatkan saat di kota. Menapaki jalan setapak seperti ini membuat kita sadar akan kebesaran Yang Kuasa.

Sesampainya di Pos Bajuri yang memakan waktu dua jam perjalanan, mereka memutuskan untuk beristirahat. Peluh membanjiri setiap anggota baru, termasuk Mayang dan Rani. Mereka masih belum terbiasa mendaki sehingga pendakian yang sebenarnya masih tahap mudah ini saja cukup membuat mereka sesak.

“Kamu masih kuat?” Dodi yang khawatir menghampiri Mayang yang tengah terduduk di atas rumput hijau. Wajahnya pias dengan napas yang terengah-engah.

“Kuat … dong!”

“Kuat apanya? Ngomong segitu aja napas kamu udah putus-putus.”

“Makanya … jangan ajak … aku ngomong dulu. Capek!” Mayang terlentang di atas rerumputan mengusir lelah. Dodi yang cemas malah tak bisa berbuat apa-apa.

“Kalau ada apa-apa, langsung cari Erik, ya! Dia ketua grup kamu.”

Dodi berlalu meninggalkan Mayang yang memejamkan matanya, enggan diganggu. Ia pun sebenarnya tak bisa terus mengawasi Mayang, karena ada anggota yang juga perlu perhatiannya.

Satu jam dirasa cukup untuk mengusir lelah dan mengisi tenaga. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya menuju puncak bayangan. Sesuai namanya, jalur ini mulai terjal dan berlumpur dan akar raksasa yang menyambut setiap langkah mereka. Serta, hawa mistis yang sangat terasa meski di siang hari.

Dodi melihat anggotanya sangat kelelahan tapi tak mungkin baginya untuk terus beristirahat. Erik yang berada di paling belakang terlihat menggandeng lengan Mayang yang juga terlihat kelelahan.

Ada sengatan listrik ber-volume besar menyerang jantungnya. Nyeri. Itukah alasan Mayang menolak berada di kelompoknya? Supaya ia bisa bergantung pada Erik di situasi tersulitnya. Kesal, Dodi meremas botol yang ia genggam hingga tak berbentuk lagi.

Perjalanan semakin sulit akibat trek yang berganti dari lumpur menjadi tanah liat, batu dan akar yang bersatu dengan kemiringan 30-60 derajat. Bahkan, ada satu titik dimana mereka harus menggunakan webbing akibat trek yang terjal dan licin.

Setelah berjibaku dengan tanjakan yang sedemikian rupa curamnya, mereka memutuskan beristirahat setelah tiga jam perjalanan. Beberapa anggota mencoba memulihkan tenaga dengan tidur selama tiga puluh menit.

Dodi dan beberapa anggotanya berkumpul untuk makan demi menempuh pendakian selanjutnya. Tiba-tiba, terdengar teriakan dari suara yang sangat ia kenal. Mayang!

Dodi dan Erik menghampiri sumber suara dari balik pohon besar yang cukup rindang. Di sana terlihat Rani yang tengah mengoleskan salep pada luka di betis Mayang.

“Kenapa?” tanya Erik cemas.

Dodi tak tinggal diam. Ia mengambil alih posisi Rani dan memasang plester dengan hati-hati.

“Tadi dia terpeleset, Kak. Kakinya kena akar besar itu dan berdarah,” jelas Rani.

“Kamu masih bisa lanjut? Atau mau pulang saja dan menunggu di Javana Spa Hotel saja sampai kami turun besok?” Dodi berusaha membujuk Mayang untuk berhenti.

“Aku kuat, kok. Kalau jauh-jauh ke sini cuma buat tiduran di hotel begitu sih bisa aku lakukan di Jakarta. Ngapain capek-capek begini!” protes mayang tak mau kalah.

“Terserah kamu. Dasar bandel!” Dodi mendumel melihat sifat keras kepala gadis manis itu.

“Kita kumpul di sana, yuk! Nggak baik buat kita berjauhan begini,” saran Erik yang khawatir pada kondisi anggota lainnya.

“Oke!” Dodi memberikan ransel milik Mayang ke Rani. Dalam satu hentakan, lengan kekarnya membopong tubuh mungil gadis pencuri hatinya hingga ke tempat anggota lain berkumpul.

Dodi tak sadar, ada hati yang berdegup kencang mengalahkan kecepatan cahaya. Dekat sekali tapi tak terdengar. Suara itu berasal dari gadis dalam pangkuannya yang wajahnya sudah berubah semerah tomat.

***

“Kaki kamu masih sakit?” Dodi duduk di samping Mayang yang tengah duduk berselonjor kaki dengan punggung bersandar pada pohon.

Rani yang sadar dengan keadaan, pamit untuk bergabung dengan teman yang lain. Mayang tampak masih shock.

“Udah nggak apa-apa, Kak. Lagian ini cuma luka kecil, nggak sakit sama sekali,” jelasnya berbohong. Ia tak mau jika disuruh untuk kembali ke hotel yang berada di kaki gunung itu.

“Tenang, aja. Aku nggak bakal nyuruh kamu turun duluan. Siapa yang bisa melawan kepala batumu itu?”

Mayang nyengir kuda menanggapi ocehan Dodi yang seakan tahu isi hatinya. Sedikit perih menjalar di kakinya tapi berusaha ditahan. Tak mungkin ia membuang kesempatan kali ini.

“Maaf ya, Kak. Gara-gara aku, kita jadi istirahat lebih lama.”

“Nggak juga. Kamu juga bisa lihat, banyak anggota baru yang belum terbiasa naik gunung kayak kamu. Karena trek kita ini sebenarnya masih trek pendek jadi kita bisa beristirahat lebih lama sedikit.”

Hening. Dodi maupun Mayang saling terdiam dan tampak terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali terdengar helaan napas berat dari mulut pria berambut gondrong itu.

Memori pria itu kembali ke masa di awal pertemuannya dengan Mayang. Dua tahun lalu, saat gadis itu tiba-tiba berhambur dalam pelukannya dan menangis tersedu. Ia hanya terpaku tak bergerak, mencoba mencerna keadaan. Ia sama sekali tak mengenal gadis itu malahan ini pertama kalinya mereka bertemu.

“Ka … kamu nggak apa-apa?” tanya Dodi masa itu setelah gadis itu melepaskan pelukannya dan berhenti menangis.

Mereka kini duduk berhadapan di kantin kampus dengan dua gelas jus yang sudah tandas isinya.

“Maafin ya, Kak. Aku nggak ada maksud aneh karena udah sembarangan meluk Kakak!” Mata hazel Mayang menyiratkan perasaan bersalah dan ada sebongkah kesedihan bersarang di dalamnya.

“Aku sih fine-fine aja malah bersyukur ada cewek cantik tau-tau meluk begitu. Rezeki nomplok itu namanya! Haha ….”

Dodi tertawa renyah mencoba mencairkan suasana. Berhasil! Terbukti dengan pecahnya tawa gadis yang beberapa menit lalu masih sesenggukan.

“Kalau gitu kita impas!”

Wait! Kamu masih ada hutang sama aku.”

“Apa? Kita kan baru ketemu, masa udah punya hutang aja. Jangan-jangan, Kakak minta bayaran karena sudah aku peluk? Tadi bilangnya rezeki nomplok dipeluk cewek cantik tapi kok minta bayaran?” cerocos Mayang tanpa jeda dan memasang wajah panik membuat Dodi hampir ingin mencium bibir ranum yang terus saja berkicau itu supaya berhenti sejenak.

“Sudah? Bawel banget ni cewek!” ledek Dodi yang kemudian menatap lekat wajah seputih pualam itu. Mayang sedikit manyun tapi tak menyangkal.

“Iya. Sudah!”

“Gini, ya. Pertama, rezeki nomplok yang kubilang tadi itu memang beneran. Kasus langka loh, ada cewek nyosor cowok macam aku ini! Kedua, hutang kamu itu bukan berupa uang tapi cerita. Aku penasaran sama alasan kamu nangis sambil meluk orang sembarangan gitu. Tapi aku nggak maksa juga, karena itu privacy kamu.”

Wajah Mayang seketika berubah muram. Sepertinya ia sedang bingung untuk bercerita atau tidak. Bibir merah itu menyesap sisa jus jeruk di gelasnya hingga tak lagi bersisa seolah tengah mengisi keberanian untuk berbicara.

“Aku … aku—“

“Kamu boleh menolak, loh!” Dodi memotong kata-kata Mayang yang terlihat ragu.

Hening. Kemudian terdengar lagi suara merdu gadis itu meski sambil menunduk.

“Tadi aku hampir saja membunuh orang, Kak!” Mayang melirik wajah Dodi yang tetap diam mendengar kalimat pembuka ceritanya. Meski ada sedikit ekspresi terkejut yang ia tangkap di mata hitam pemuda itu.

“Aku bertengkar dengan Boy, pacarku. Dia tertangkap basah sedang berciuman dengan Ira di belakang kampus. Aku marah. Tanpa sadar, aku mengambil sebatang kayu dan memukul Boy bertubi-tubi. Aku terus memukul sampai tersadar ketika ada darah mengucur dari dahinya. Ira berteriak histeris bilang kalau aku mau membunuh Boy. Akhirnya aku lari sambil menangis dan menabrak Kakak yang berdiri tadi,” jelas Mayang panjang lebar.

Dodi masih terdiam menunggu kelanjutan cerita tapi tak lagi ada suara yang terdengar. Selesai? Hanya itu? Dodi tersenyum melihat kepolosan gadis di hadapannya.

“Lalu?”

“Hah? Udah, itu saja. Selesai.” Mayang kebingungan dengan tanggapan Dodi.

“Cuma itu? Adegan membunuhnya di mana?”

“Pas aku mukul Boy berkali-kali,“ jawab Mayang polos.

“Ya Tuhan! Kamu takut karena ada sedikit darah mengalir di jidat dia?”

“Iya! Nggak banyak sih, Kak.”

“Kalau aku jadi kamu, pasti aku lanjutin mukulin si Boy sampai tulangnya patah dan dirawat di IGD seminggu. Nggak ada ceritanya, orang mati Cuma karena darah seuprit begitu. Sekencang-kencang kamu mukul dia, tetap aja dia nggak bakal mati. Kamu nggak sadar ya, punya badan mirip anak SMP?” Kali ini Dodi tergelak dengan puas.

Mayang yang baru tersadar karena ucapan Dodi malah mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuatnya berhenti tertawa kemudian menatap kembali wajah merona yang menggemaskan itu.

“Maaf, maaf. Kamu lucu, sih! Tapi, aku berterima kasih sama pacarmu itu.”

“Kok bisa?”

“Gara-gara dia, aku bisa dipeluk cewek secantik kamu dan juga sekarang aku bisa ketawa lepas banget.”

“Berarti Kakak senang di atas penderitaan aku, ya?” rajuk Mayang semakin imut di mata Dodi.

“Bukan begitu. Aku senang karena sekarang punya teman baru kayak kamu. Lucu!”

Sejak saat itu, rasa suka Dodi kian hari kian bertambah. Menggunung dan hampir tak tertampung lagi. Gunung itu hampir saja menyemburkan lahar cintanya yang berharap bisa mengaliri setiap sudut hati Mayang.

Kenyataan berkata lain. Saat semuanya sudah terencana dengan baik, fakta adanya orang yang disukai Mayang malah membuat dirinya terpuruk.

Bersambung ….

Tangerang, 15/05/2018

Veronica Za, penulis amatir yang masih berusaha mewujudkan mimpinya sebagai novelis. Penyuka drakor dan juga donat.

Fb : Veronica Za

Email : veronica160.vk@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita