Secercah Asa

Secercah Asa

Secercah Asa

Oleh : Ina Agustin

 

Saat surya berada tepat di atas kepala, aku dan teman-temanku menyimak penjelasan tentang bab logaritma dengan mata setengah terbuka. Belum lagi perut kami yang keroncongan, semakin menambah lengkap suasana.

It’s time to have a break!

Kami berhamburan menuju kantin.

“Afifah!” Pak Hendra memanggilku ketika aku melewati ruang guru.

Yes, Sir!

I will wait for you in my office!

Okay!

Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, aku dipersilakan masuk.

“Selasa depan ada lomba pidato bahasa Inggris di Bandung. Bapak pilih kamu untuk ikut lomba itu, ya. Be ready!

Okay, Sir! By the way, thanks for the gifts that you sent.

It’s okay, Afifah! Anggap saja itu sebagai ucapan terima kasih. Kamu sudah meraih juara satu lomba pidato bahasa Inggris di beberapa event. That’s amazing!

Pekan lalu Pak Hendra mengirimkan tiga audiobook berbahasa Inggris. Buku-buku tersebut sangat membantuku dalam memperlancar pronounciation.

***

Lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar menenteramkan hati, ketika semburat cahaya kemerahan di langit menampakkan diri.

“Kak, Selasa depan aku mau ikut lomba pidato bahasa Inggris di Bandung,” ucapku pada Kak Alya.

“Bandung? Jauh sekali, Dik! Biasanya kamu ikut lomba sekitar Banten saja.”

“Aku mewakili sekolah di tingkat nasional, Kak.”

“Siapa guru yang akan mendampingimu?”

“Pak Hendra.”

“Apa tidak ada guru yang lain, Dik?”

“Ada sih, Kak, tapi dia sudah mau pensiun dan sering sakit. Kepala sekolah tidak mau ambil risiko. Memangnya kenapa, Kak?”

“Sekitar seminggu yang lalu, istri Pak Hendra datang ke sini. Dia tidak suka melihat keakraban kalian.” Kak Alya menatapku seolah meminta penjelasan.

“Hubungan kami hanya sebatas guru dan murid, Kak.”

“Tapi …. “

Please, Kak!” pintaku sambil menatap sosok yang selama ini mengurusku sejak Ayah dan Ibu tiada. Kak Alya mengangguk pelan.

Thanks, my beloved sister.”

***

Aku berangkat ke sekolah dengan kendaraan roda dua keluaran tahun tujuh puluhan, satu-satunya barang peninggalan Ayah.

“Afifah!” panggil Pak Hendra.

Yes, Sir!

How about your preparation?

I studies hard everyday, Sir.”

That’s good! Jam istirahat ke ruangan Bapak, ya! I want to listen to your pronounciation.”

Karena sering dilibatkan dalam kegiatan lomba, semakin hari kami semakin akrab.

“Afifah, you are beautiful and smart. I am proud of you.” Dia menatapku sembari tersenyum.

Thanks, Sir.” Aku tertunduk malu.

***

Hari yang ditunggu pun tiba, kami berangkat ke Bandung untuk mengikuti lomba. Perjalanan Pandeglang-Bandung membutuhkan waktu sekitar lima jam, karena tempat tinggal kami yang memang berada di pelosok.

Sebagai guru, Pak Hendra cukup ramah. Dia sering bertanya kabar, menawariku minum, dan sesekali bersenda gurau. Setelah kurang lebih dua setengah jam perjalanan, rasa letih tergambar di wajahnya. Aktivitas menguap pun tak dapat dihindari. Laki-laki berkaki jenjang itu memberhentikan mobil di rest area.

Afifah, let’s take a rest!

“Okay, Sir.” Sambil menunggu pesanan datang, dia melihat gawai lalu mengernyitkan dahi.

“Afifah, ternyata lombanya diundur besok. WA dari panitia ini masuk sejak dua hari yang lalu.  Bapak baru bisa baca sekarang karena HP sempat jatuh, mungkin itu sebabnya WA jadi eror.” Seraut kecewa bertamu di wajahnya.

“Lalu?”

“Kita sudah setengah perjalanan, sayang sekali kalau balik lagi.”

“Bagaimana kalau kita menginap di hotel sekitar sini saja?”

“Baik, Pak.” Kurasa alasannya cukup masuk akal.

Pak Hendra memesan dua kamar. Satu untukku dan satu lagi untuknya. Kami menuju kamar masing-masing. Aku mandi dan berganti pakaian dengan baju tidur yang dibelikan oleh Pak Hendra sebelum masuk hotel. Kurebahkan badan di atas kasur, empuk sekali. Saat hendak memejamkan mata, terdengar suara ketukan pintu.

“Afifah, ini Bapak, mau ada perlu sebentar. Bisa dibuka pintunya?”

“Baik, Pak!”

“Jadi gini ….”

“Silakan masuk, Pak! Tidak enak bercakap-cakap di depan pintu.”

“Besok kita harus berada di lokasi sebelum jam delapan pagi.”

“Baik, Pak.” Aku mengangguk.

Pak Hendra menatapku lekat sekali. Entah kenapa, tidak biasanya seperti itu. Padahal untuk menyampaikan hal itu bisa lewat telepon atau WhatsApp. Apa mungkin dia merasa tidak enak jika tidak menyampaikan langsung?

“Oh iya, Bapak punya minuman lemon hangat, bagus untuk tenggorokan, kamu mau?”

“Tidak usah, Pak! Merepotkan Bapak saja.”

“Tidak repot, kok. Tunggu sebentar, ya!” Dia bergegas ke kamarnya.

Sepuluh menit kemudian, dia kembali dengan membawa segelas minuman lemon. Tanpa rasa ragu, aku meminumnya sampai tandas. Beberapa menit kemudian, kepalaku pusing, pandangan gelap.

***

Keesokan harinya, aku terkejut saat bangun tanpa sehelai kain pun. Rasa nyeri di area kewanitaan membuatku meringis.

Astagfirullah, apa yang terjadi?

Cairan bening mengalir deras dari kedua mataku.

 “Tidak! Ini tidak mungkin!” jeritku melihat bercak merah di area vitalku.

Sejak saat itu, aku tak berselera makan dan bicara. Ada sesak dalam dadaku setiap mengingat kejadian tersebut.

“Dik, kok belum berangkat sekolah? Belakangan ini kakak perhatikan kamu murung terus, kenapa?” Kak Alya menghampiriku. Di tangannya ada setampah sayuran yang perlu dipotong-potong untuk berjualan gado-gado siang nanti.

“Aku lagi enggak enak badan, Kak.”

“Kalau gitu kamu istirahat saja! Nanti Kakak titip surat ke Feni agar dikasihkan ke wali kelasmu.” Kak Alya mengusap rambutku.

Seminggu sudah aku di rumah. Wali kelas dan teman-teman menjenguk. Rupanya mereka merindukan kehadiranku. Akhirnya aku berpikir, jika terlalu lama di rumah, tentu aku akan tertinggal pelajaran.

Kukumpulkan keberanian untuk kembali ke sekolah. Sampai di sekolah, aku tidak menemukan laki-laki itu. Kata teman-teman, dia sedang ditugaskan ke luar kota selama tiga hari.

Sekolah baru dimulai, tiba-tiba ada pengumuman yang mengejutkan. Seluruh murid harus dites urin. Mungkin untuk mendeteksi penggunaan narkoba di kalangan siswa.

“Ayo semuanya berkumpul di aula!” seru Bu Aida.

Setelah menyimak penjelasan yang disampaikan pihak puskesmas, kami mengantre giliran masuk toilet. Semua teman yang sudah dicek kembali ke kelas masing-masing. Sepi, tinggal aku sendiri.

“Afifah Almahira!” Wanita berjas putih itu memanggilku. “Ayo masuk, simpan air seninya di sini!” Aku menerima sebuah cawan kecil, lalu segera masuk ke toilet dan melakukan sesuai intruksi.

Kuberikan cawan berisi air seni kepada wanita itu, kemudian dia mencelupkan sebuah stik kecil ke dalamnya. Aku sedikit terkejut melihatnya, karena berdasarkan penjelasan, tes urin hari ini hanya untuk mendeteksi penggunaan narkoba. Wanita itu tampaknya membaca keterkejutanku, jadi sembari menunggu, dia juga menjelaskan bahwa pihak puskesmas sengaja merahasiakan adanya tes kehamilan untuk para siswi agar tidak ada yang kabur.

Aku mengangguk, tapi entah kenapa merasa resah.

Satu menit kemudian, terlihat jelas ada dua garis merah di permukaan stik kecil itu.

Wanita itu seketika membatu, begitu juga aku.

***

Badanku gemetar, keringat dingin mengucur, jantung berdegup kencang. Aku berlari ke parkiran mengambil motor dan kabur. Bingung, takut, putus asa bercampur jadi satu. Sampai di rumah, aku bersimpuh di hadapan Kak Alya.

“Ampuni aku, Kak! Aku tidak bisa menjaga kehormatan diri.” Air mataku menganak sungai.

“Maksud kamu apa, Dik?” tanya Kak Alya heran.

“Aku hamil, laki-laki itu telah menodaiku.” Aku menunduk, tak berani menatap Kak Alya.

“Siapa? Katakan!”

“Pak Hendra.”

“Astagfirullah!”

Kuceritakan kejadian sebenarnya.

“Dalam hal ini kamu hanya korban, Dik. Ini salah laki-laki bajingan itu!” Rahang Kak Alya terlihat mengeras.

“Dan bodohnya aku mau saja diajak ke hotel lalu meminum minuman yang dia berikan.”

“Itu karena kamu terlalu polos. Kamu anggap semua orang baik.”

Hening bertamu. Suara detak jarum jam terdengar jelas. Isak tangis menghiasi hari-hariku.

Aku kehilangan semangat hidup. Masa depanku sirna. Diam-diam aku mengambil tindakan berisiko tinggi, mendatangi paraji untuk aborsi, tetapi gagal. Cara lain yang kulakukan adalah minum obat penghancur janin, namun gagal lagi. Janin itu terlalu kuat menempel di rahimku. Aku harus mengambil sikap.

“Nikahi aku secepatnya, atau kubeberkan tentang kelakuan bejatmu terhadapku!” ancamku pada laki-laki itu.

“Pelankan suaramu! Istriku bisa tahu!”

“Aku tidak peduli!” Kudengar suara piring jatuh.

“Apa-apaan ini? Apa aku tidak salah dengar?” tukas istri laki-laki sialan itu.

“Anda memang tidak salah dengar. Suami Anda telah menghamili saya!” tukasku sambil menunjuk laki-laki yang usianya sama dengan almarhum ayah.

“Apa benar yang dikatakan Afifah?” tanya wanita itu kepada suaminya dengan nada tinggi. Pak Hendra tertunduk, diam.

“Katakan!” Istrinya berteriak, kemudian sang suami mengangguk.

“Kupikir kamu sudah berubah! Aku ini korban ketiga, apa masih belum puas, hah?” Tangannya mengepal, napasnya memburu.

Ternyata pernikahan lelaki itu sebelumnya selalu diawali dengan kecelakaan. Dia punya banyak anak dari istri-istri sebelumnya. Lalu dia ulangi lagi perbuatan bejat itu. Sungguh tak tahu malu!

“Ceraikan aku sekarang juga!” teriak sang istri.

“Tapi ….”

“Tidak ada tapi-tapian. Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!”

Deg!

Sungguh, aku tidak mengira akan begini jadinya. Maafkan, aku tidak punya pilihan lain.

Dua minggu kemudian, kami menikah siri di rumah seorang kerabat Pak Hendra. Sekarang dia resmi menjadi suamiku.

Kututupi aib ini rapat-rapat. Awalnya tidak ada satu pun warga sekolah yang tahu bahwa Pak Hendra pelakunya. Namun, sepandai-pandai menyimpan bangkai, akan tercium juga baunya. Dia pun dipecat dari sekolah.

Pak Hendra berasal dari kalangan berada, dia punya banyak cara untuk memulai lagi karirnya.  Sampai suatu hari dia mencalonkan diri menjadi kepala desa. Dia membeli suara warga dan akhirnya menang. Namun kemenangan itu tak berdampak apa pun bagiku. Justru rumah tangga kami terasa hambar. Tak ada rasa cinta, bahkan dia sering berkata kasar. Selain itu, dia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Kerjanya hanya mabuk dan judi. Lama-lama warga tahu kelakuannya. Mereka membicarakan kejelekan suamiku.

“Ya Allah, hamba bertobat dan berserah diri pada-Mu! Berilah suamiku hidayah!” Selalu kusebut namanya dalam doa.

***

“Aw!” jeritku sambil memegangi perut. Terlihat cairan merah segar mengalir ke pangkal paha. Aku minta tolong Bik Minah untuk mengantar ke rumah sakit.

“Anda mengalami keguguran, Bu Afifah,” tutur dokter.

Sesampainya di rumah, kulihat Bang Hendra sudah pulang. Lalu kuceritakan semuanya.

“Dasar ceroboh!” Satu tamparan hebat mendarat di pipi kananku.

Aku hanya bisa menangis, menjalani rumah tangga yang bagaikan neraka.

Ya Allah, berilah hamba kekuatan dalam menjalani semua ini!

Cobaan datang silih berganti. Rongrongan dan cacian dari mantan istri Bang Hendra dan anak-anaknya menusuk hatiku. Mereka pun sering minta uang dalam jumlah besar. Aku lelah, tetapi tak  putus asa berdoa. Semoga Allah beri keajaiban.

***

“Tolong! Jangan lakukan itu!” teriak suamiku dengan keringat bercucuran. Sudah tiga malam ini dia mimpi buruk, entah apa isi mimpinya. Dia enggan bercerita.

“Bang, bangun!” Dia membuka mata dan mengucap istigfar.

Sejak kejadian itu, dia mulai bersikap baik.

***

Setelah beres memasak, aku meletakkan makanan di atas meja makan. Kutata sedemikian rupa agar terlihat cantik.

“Sarapan dulu, Bang!”

“Baik,” jawabnya ramah.

Setelah sarapan, dia berangkat ke kantor desa. Jam kerjanya dari pukul delapan hingga pukul tiga sore. Sementara itu, aku membantu Bik Minah menyelesaikan pekerjaan rumah, dia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Saat asyik mengepel, tiba-tiba gawai berbunyi. Kulihat suara panggilan masuk.

“Halo, apa betul ini istrinya Pak Hendra?” tanya seseorang di ujung telepon sana.

“Ya, betul. Ini siapa, ya?”

“Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan bahwa suami Ibu mengalami kecelakaan.”

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.

Bang Hendra mengalami patah tulang di kaki kanan, butuh waktu beberapa bulan untuk pulih. Aku merawatnya sepenuh hati.

“Dik, makasih ya, sudah mau merawat abang.”

“Ini kan sudah kewajibanku sebagai istri, Bang,” ucapku sambil mengganti perban lukanya.

“Kupikir kamu bakal ninggalin Abang.”

“Tidak, Bang! Aku tidak seperti itu!”

“Dik, mendekatlah!”

Aku menurutinya. Kami saling berhadapan. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.

“Abang cinta kamu, Sayang. Maafkan atas segala sikap buruk Abang selama ini. Abang akan jadikan kamu wanita terakhir dalam hidup Abang.”

Pelupuk matanya basah. Ini adalah pertama kali dia mengucapkan kata cinta. Kurasakan kata-katanya saat itu sangat tulus.

***

Seiring berjalannya waktu, kondisi kaki Bang Hendra semakin membaik. Hari demi hari perilakunya semakin santun. Tidak ada lagi mabuk-mabukan dan judi. Tidak ada lagi kata-kata kasar dan tamparan. Dia sudah bertobat dan mulai mengerjakan salat lima waktu.

“Bang, menurut beberapa referensi yang kudapat, pernikahan saat hamil itu tidak sah dari segi syariat. Waktu itu kan kita nikah saat aku hamil. Adik khawatir pernikahan kita tidak halal,” jelasku.

“Terus apa yang harus kita lakukan?”

“Kita nikah ulang, Bang! Nikahnya di KUA saja, aku ingin pernikahan kita resmi tercatat dan mendapatkan buku nikah. Please!” Aku menangkupkan tangan tanda memohon.

“Baik, Sayang.”

Ujian berikutnya datang, tiba-tiba saja Ibu mertuaku membenciku. Entah apa alasannya, dia ingin memisahkan kami. Setiap aku berkunjung, dia selalu menghindar. Kuatkan hamba, ya Rabbi.

Aku penasaran kenapa Ibu mertua begitu membenciku. Setelah kugali informasi melalui kakaknya Bang Hendra, ternyata penyebabnya adalah anak tiriku. Ya, mereka menghasut ibu mertuaku. Mereka mengatakan bahwa aku menikah dengan Bang Hendra semata-mata karena harta.

Setelah kutahu tentang itu, aku berusaha untuk tetap bersikap baik pada mertuaku, walaupun seringkali perlakuan mereka menyakitiku. Sampai di suatu hari, Ibu mertuaku sakit parah, dan akulah yang pertama kali menjenguk lalu merawatnya hingga sembuh.

“Ternyata, kamu berhati mulia. Maafkan ibu yang termakan omongan orang.”

Sejak saat itu mertuaku kembali bersikap baik padaku.

***

“Bang, lihat!” Aku menunjukkan testpack dengan dua garis merah.

“Alhamdulillah.”

Aku hamil untuk kedua kalinya dan ini adalah anak dari hasil pernikahan yang sah. Bang Hendra sangat memanjakanku. Setelah satu tahun melahirkan, dia membelikan sebuah mobil matik untukku, lalu merenovasi rumah kami menjadi lebih bagus. Dia juga mendaftarkanku sekolah paket C setara SMA. Dua tahun kemudian aku lulus, lalu kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Pandeglang.

Benih cinta itu mulai tumbuh di hatiku. Bang Hendra pun menjadi kepala desa yang sangat dihormati warga. Alhamdulillah, sungguh sebuah keajaiban.

Terima kasih, ya Allah, Kau telah mengabulkan doaku. Tak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak.

Kun, fayakun!

Secerah asa itu, kini menjadi kenyataan. (*)

 

Ina Agustin, lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986. Sepuluh tahun sudah berprofesi sebagai guru. Aktivitas sekarang mengajar Tahsin Tahfiz di rumah untuk anak usia SD. Penulis adalah seorang ibu dari tiga anak laki-laki dan berdomisili di Kota Serang-Banten. Membaca, menulis, dan membuat camilan adalah hobinya yang sangat didukung suami.

Moto hidup : “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!”

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply