Secangkir Teh Kematian (Episode 8)
Oleh: Veronica Za
Foto wanita tadi cukup membuat keyakinan Revan goyah. Ada hubungan apa wanita itu dengan papanya dan apa mungkin dialah dalang dari semuanya?
Salma memperhatikan wajah Revan yang penuh kecemasan. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Sebegitu kuatnyakah dendam yang lelaki itu tanamkan demi membalas kematian papanya sehingga ia tega berniat membunuh sahabat kecilnya sendiri. Satu hal yang Salma tangkap dari sikapnya beberapa hari lalu, yaitu Revan tidak sejahat itu.
”Re, apa yang akan kamu lakukan sekarang? Aku bersedia membantu.” Salma menepuk bahu Revan yang masih membisu. Gadis itu tahu jika Revan tengah bergelut dengan keyakinannya dan bukti baru yang ia dapatkan saat ini.
“Entahlah,” Revan menjawab tanpa berpaling dari foto di hadapannya.
“Bagaimana kalau—“
“Kalau bukti ini palsu, aku pastikan papamu akan jadi orang pertama yang mendapatkan ganjarannya!” potong Revan yang tiba-tiba menoleh dan menatap Salma intens. Ia tak lagi peduli jika harus menerima kebencian dari gadis yang ia cintai. Bahkan, jeruji penjara akan menjadi kamarnya untuk menetap beberapa tahun atau mungkin selamanya. Yang ada di benaknya saat ini hanyalah mengungkap pembunuh yang lolos dari hukuman.
Salma bertekad membuktikan jika papanya bukanlah pembunuh seperti yang ia tuduhkan, meskipun harus menekan rasa cinta, iba dan kecewa. Ia sama sekali tak membenci sosok Revan saat ini. Ia tahu, lelaki itu hanya ingin mendapatkan keadilan mengingat seberapa dekat Revan dengan papanya dulu.
Salma berdiri diikuti tatapan tajam milik Revan. “Ayo, pergi!” Salma menarik tangan Revan yang hanya terdiam. “Ayo, kita cari buktinya dan selesaikan ini bersama.”
Ada getaran halus di hatinya yang tergerak oleh senyuman Salma. Apa gadis ini tak takut padanya? pikir Revan yang tetap mengikuti ke mana langkah Salma membawanya.
***
Rumah Sakit Kejora. Revan menatap bangunan rumah sakit yang masih kukuh dan bersih di hadapannya. Tempat yang sama saat tujuh tahun lalu papanya di bawa ke sini dalam keadaan tak lagi bernyawa dan dipulangkan dengan hasil autopsi sebagai korban kecelakaan akibat kelalaian sendiri. Menabrak pembatas jalan sehingga mengakibatkan mobil yang dikendarainya terjun bebas ke jurang.
Sebagai anak kecil yang cukup cerdas ia tahu jika papanya tak mungkin berkendara dengan seceroboh itu. Papanya adalah sosok yang sangat teliti. Pasti ada dalang di balik kematiannya itu.
“Kamu mau masuk atau aku saja yang bertanya pada petugas rumah sakit?” pertanyaan Salma membuyarkan kenangan Revan tentang rumah sakit itu.
“Aku ikut masuk! Bisa saja, kan, nantinya kamu memanipulasi hasil yang petugas berikan,” Revan berujar sembari melangkah masuk meninggalkan Salma yang mematung tak percaya dengan tuduhan tak masuk akal.
“Dasar manusia nggak punya hati!” pekik Salma tertahan. Jemarinya mengepal seakan ingin memukulnya saat itu juga. Namun, ia sadar situasi. Akhirnya, ia hanya bisa menelannya mentah-mentah kemudian berjalan mengikuti Revan.
Revan menemui petugas autopsi yang sangat ia kenal. Om Bayu, adik sepupu mamanya. Setengah jam bertanya dan meminta hasil autopsi ternyata tak membuahkan hasil. Tak ada tanda kekerasan, obat-obatan ataupun minuman keras yang terkandung dalam jasad papanya. Om Bayu menghampiri Revan dan Salma yang terlihat putus asa.
“Kamu harus ikhlas, Re. Biar bagaimana pun papamu sudah tenang di sana. Hapus semua dendam kamu dan jalani hidup dengan normal. Sebagai satu-satunya saudara yang mama kamu miliki, aku tidak mau melihat mamamu bersedih lagi seperti saat itu.” Om Bayu keluar ruangan setelah menepuk pundak Revan beberapa kali.
Salma memberi jeda untuk Revan menenangkan hatinya sebelum ia mengajak lelaki itu kembali mencari bukti. Dalam hatinya, Salma tak habis pikir pada Revan. Bagaimana dia bisa menyimpulkan jika Papa adalah tersangka penyebab kematian papa Revan. Harusnya dia mencari bukti terlebih dahulu kemudian baru membalas dendam. “Huh, dasar manusia egois!”
“Hah? Kamu bilang apa barusan?” tanya Revan yang membuat Salma terperangah. Gadis itu tak menyangka jika Revan mendengar ucapannya.
“Haha … bu-bukan apa-apa, kok!” Salma tersenyum kikuk.
“Ayo, kita pergi?”
“Ke mana?”
Revan yang sudah hampir mencapai gagang pintu kembali berbalik badan berhadapan dengan Salma. Spontan gadis itu menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya melebar menatap lawan bicara yang menunduk dan hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.
”Kamu bodoh atau bagaimana?” tanya Revan yang tersenyum melihat rona merah di wajah Salma. Ia kembali berdiri tegak dan melanjutkan langkahnya yang tertunda. Entah Salma sadar atau tidak, rona merah juga menyerang wajah hinga ke telinga Revan. “Tentu saja kantor polisi!”
Bersambung ….
Veronica Za, seorang ibu rumah tangga yang hobi membaca dan menulis sejak di bangku SMP. Mulai aktif menulis dan bergabung dengan beberapa grup literasi di facebook dan telegram sejak tahun 2017. Sering mengikuti lomba online dan menelurkan beberapa buku antologi bersama, salah satunya Bias nyata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata