Secangkir Teh Kematian (Episode 5)

Secangkir Teh Kematian (Episode 5)

Secangkir Teh Kematian (Episode 5)

Oleh: Fitri Fatimah

 

Di perjalanan pulang, ketika sudah tinggal satu blok lagi untuk sampai ke rumah Salma, gadis itu tiba-tiba menepuk punggung Revan berulang kali, menyuruh Revan menghentikan laju motornya. Dengan bingung Revan menuruti. Baru juga Revan mematikan mesin, Salma sudah turun dari boncengannya dan berlarian ke seberang jalan.

“Ingat tidak kamu sama pohon ini?” tanya Salma dengan suara penuh keriangan, tangannya menunjuk ke arah pohon tinggi menjulang dengan untaian daun-daun dan bunga kuning.

“Pohon—“

“Jangan sebutkan!” Salma buru-buru memotong jawaban Revan.

Revan menaikkan alisnya, makin bingung.

“Ingat tidak bahwa dulu waktu kecil kita juga sering main di bawah pohon ini. Kita nggak tahu nama pohonnya dan terlalu malas untuk bertanya, jadi kita mengarang sendiri nama untuk pohon ini. ‘Pohon salju’, ingat?”

Revan tidak bisa tidak meloloskan seulas senyum. Bagaimana mungkin dia tidak ingat. Waktu itu dirinya memberi usul untuk memberi nama pohon ini “pohon kutil” karena bunganya yang kecil-kecil dan berbonggol-bonggol. Tapi Salma langsung sewot waktu itu, dia bilang mana mungkin pohon secantik ini dinamai seperti penyakit. “Jadi menurutmu apa?” kata Revan kecil waktu itu, penuh dengusan.

Salma kecil tampak berpikir cukup lama. Sore sudah hampir beranjak petang, dan angin berembus pelan menghempas daun-daun serta ranting pohon tak bernama di depan mereka, membuat rangkaian bunga angsana itu berjatuhan.

Senyum Salma langsung terbit, dia merentangkan kedua tangannya dan berputar-putar di bawah hujan kepingan bunga-bunga tersebut . “Aku bakal kasih nama pohon salju,” putusnya.

“Pohon salju? Tapi kembangnya kan kuning, bukan putih,” protes Revan.

Salma melempari Revan tatapan tajam. Revan akhirnya mengedikkan bahu dengan pasrah.

“Ya, terserah kamu saja.”

Kini saat Revan kembali mengingatnya, perasaan hangat tiba-tiba menyelubungi dadanya. Dulu dia dan Salma bersahabat dengan baik, penuh tawa dan canda. Tak ada motif tersembunyi. Tentu saja, karena saat itu belum ada pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga terdekat Salma sendiri. Sekarang semuanya sudah berbeda.

“Kenapa kamu ngasih nama pohon salju waktu itu?” tanya Revan setelah terdiam beberapa saat, amarah kembali menguasai kepalanya, dan dia butuh waktu untuk meredakannya.

“Karena pagi sebelumnya aku nonton film kartun—aku lupa judulnya—yang di sana ada adegan turun salju, tokohnya bahkan bikin snow man. Aku sangat kepengen ngelihat salju, tapi sayangnya di sini iklimnya tropis. Jadi ya … aku ingin berpura-pura bahwa pohon ini, bunga-bunga ini, yang sedang berguguran, adalah kepingan salju,” jelas Salma dengan tatapan menerawang jauh ke atas pohon.

Revan ikut mendongak. Tak ada angin, tak ada satu bunga pun yang jatuh.

Revan tiba-tiba bergerak mendekati pohon angsana. Dan tanpa berkata apa-apa, mulai memanjat, dengan ketangkasan yang tak teduga. Lalu pada dahan terendah, dia mengguncang dahannya, dan bunga-bunga itu pun berguguran.

Salma yang awalnya tak mengerti dengan tingkah Revan—bahkan mulai khawatir—ketika kemudian melihat apa maksud Revan sebenarnya, dia tercengang, haru, dan gembira. Hatinya serasa melonjak-lonjak. Dan dia kembali berlari-lari di bawah kepingan “salju” itu, sama seperti ketika kecil.

Tiba-tiba Revan berteriak dari atas dahan, “Salma, mau nggak jadi pacar aku?!”

Seketika Salma berhenti berlari. Tangannya yang terentang di udara jadi sekaku sayap pesawat terbang. Pelan-pelan dia mendongak ke arah Revan. Rautnya penuh ketakpercayaan.

“Mau nggak kamu jadi pacar aku?” Revan kembali mengulang.

Pelan tapi pasti, Salma menggangguk.

***

Lama setelah Revan mengantarkan Salma ke rumahnya, setelah kini dirinya sampai di kamar indekosnya sendiri, Revan berpikir, kenapa dia menembak gadis itu tadi. Ya, tentu saja ini adalah bagian dari taktiknya untuk membalas dendam, bahwa dia akan membuat gadis itu merasakan cinta dan hatinya melambung hingga ke langit ketujuh, untuk kemudian dia jatuh dan luluhlantakkan ke bumi. Tapi kenapa, ketika tadi dia melihat Salma memberi anggukan, jantungnya berdebar dalam sebuah rasa yang asing.

Revan mengerang kasar. Tidak, dirinya tak boleh teralihkan. Dirinya harus membalaskan dendam atas kematian papanya. Dan Revan punya cara, meski tak baru lagi.

***

“Untuk apa hadiah ini? Bukannya aku tidak mau, tapi kenapa tiba-tiba memberiku sepasang cangkir?” tanya Salma bingung. Seperti yang Salma barusan bilang, bukannya dia tidak mau—apalagi ketika gambar cangkirnya adalah kepingan salju, hanya saja … kenapa tiba-tiba memberi hadiah? Kenapa tiba-tiba bersikap manis?

 “Untuk merayakan kita jadian,” Revan menjawab kalem. Dia mengenyakkan bokongnya di sofa ruang tamu rumah Salma.

Salma nyaris balas menjawab, tapi dia tak menemukan kata, pipinya keburu terasa panas.

“Suka?”

Salma mengangguk. Matanya menghindari tatapan Revan.

“Hei, kenapa?” Revan kebingungan dengan sikap Salma yang … malu-malu?

Lalu tak dinyana tiba-tiba Salma menghambur memeluk Revan. Membuat tubuh Revan jadi kaku. Ini kontak fisik pertama mereka yang bisa dibilang lebih dari sekadar teman. Tapi Salma tidak peduli, Dia hanya terus memeluk Revan dengan erat sambil tak henti mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah kembali.

“Duh, aku sampai lupa bikinin kamu teh. Bentar, ya.” Dengan enggan Salma melepas pelukannya, lalu menghilang ke dapur.

Rumah dalam keadaan sepi, papa dan mama Salma sepertinya sedang tidak berada di rumah. Revan hanya ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Laki-laki itu tampak termenung sambil mengetuk-ngetukkan jari di meja. Bubuk racun—sisa kemarin—yang sudah dia siapkan di saku bajunya, entah kenapa seakan membebaninya dengan bobot yang berkali-kali lipatnya. Bukan Revan takut untuk meracuni Salma, hanya saja, muncul—entah dari mana—setitik perasaan bahwa dirinya tak rela Salma mati.

Tapi bukankah ini tujuannya sejak bertahun-tahun. Ada banyak yang dia alami setelah kepergian papanya yang tiba-tiba. Sosok Papa yang selalu dia sayangi dan jadikan panutan, tiada di saat-saat dia paling membutuhkan. Juga bagaimana kemudian sosok Mama yang biasanya selalu penuh kasih sayang, tiba-tiba jadi sosok yang pendiam. Keluarganya hancur. Dan siapa yang harus disalahkan atas semua ini. Tak mungkin dia mundur begitu saja.

Salma datang dengan dua cangkir teh yang baru saja diberikan Revan.

“Ini, langsung kupakai. Bukti kalau aku memang suka hadiahmu,” papar Salma dengan senyum terkembang lebar.

Revan mengangguk saja. Dia menerima gelas yang mengepul itu dari Salma. Jari-jarinya menyelubungi telinga cangkir. Revan mencecap sedikit. “Boleh minta gula? Aku suka yang manis-manis.”

Salma tergelak. “Emang yah kamu nggak berubah. Dari dulu emang suka yang manis-manis.”

“Seleraku soal cewek juga nggak jauh beda.”

Lagi, rona merah langsung menjalari pipi Salma. Gadis itu kembali pergi ke dapur. Meninggalkan cangkir tehnya, yang kemudian dengan cepat Revan bubuhi racun.

“Jangan banyak-banyak pakai gulanya. Nanti kamu gendut lagi kayak dulu,” kata Salma sambil terkekeh sendiri sekembalinya dari dapur. “Tapi kalau kamu gendut pun, aku tetep bakal suka, kok,” lanjut Salma, masih dengan gelak, tapi nada yang bersungguh-sungguh.

Jantung Revan langsung berdetak kacau mendengarnya. Gadis ini sangat bodoh, naif, dan … tulus.

Revan menoleh menatap Salma, gadis itu tengah meniup asap dari cangkir tehnya, bibirnya tinggal satu senti lagi dari kematian.

Revan tahu sangat mungkin dirinya akan menyesal atas tindakan yang akan dia lakukan sebentar lagi. Dia sudah menyusun semua rencananya dengan matang, jadi kenapa dia harus merusaknya di detik-detik terakhir. Hanya saja, sebuah kesadaran yang tiba-tiba ini, tentang betapa baik hati gadis di sampingnya, dia tidak pantas menanggung dosa papanya. Semua ini tak ada hubungannya dengan Salma. Yang membunuh papa Revan adalah papa Salma, bukan Salma. Revan menggertakkan rahangnya.

Salma memekik ketika tahu-tahu cangkir yang dipegangnya jatuh dan pecah di lantai. Beberapa cairannya menciprati kaki Salma. Dia mengaduh dan segera mengangkat kakinya. Di tengah kekacau-balauan itu, Salma menyempatkan melirik pada Revan, orang yang baru saja mengibas cangkirnya.

 

Bersambung ….

Episode Sebelumnya
Episode Selanjutnya

Fitri Fatimah, asal Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply