Secangkir Teh Kematian (Episode 4)
Oleh: Rachmawati Ash
“Sial, harusnya gadis ini mati tidak lama lagi. Ternyata membunuhmu tidak mudah, Salma. Kenapa, sih, kamu harus berteriak segala sampai membuat orang-orang datang dan menggagalkan rencanaku?” Revan mendecih dalam hatinya.
Beberapa mahasiswa berduyun-duyun datang ke arah suara yang meminta tolong. Revan segera berpura-pura membantu mahasiswa lain menolong mengangkat tubuh Salma dari tepi tebing. Proses penyelamatan yang dramatis, membuat beberapa gadis menjerit karena tangan Salma hampir terlepas dari tangan teman yang menolongnya. Kejadiannya tidak hanya sekali dua kali, namun sering, sehingga membuat siapa pun yang melihat merasa iba kepada Salma. Revan memberanikan diri menurunkan sedikit tubuhnya ke tebing, meraih tangan Salma dan membopongnya ke posko kesehatan perkemahan.
Karena beberapa kali tubuh Salma terpelanting di tanah yang lembab dan kasar, sehingga menimbulkan beberapa luka di tangan dan wajahnya. Salma segera mendapat pertolongan dari tim medis. Kakak pembina kemah menyarankan agar Salma diantarkan pulang ke rumahnya.
*
Tante Kiara histeris saat mendapati putrinya pulang dengan beberapa luka di tangan dan wajahnya. Revan menjelaskan kronologi kejadiannya, bahwa tali sepatu Salma lepas dan terinjak oleh dirinya sendiri sehingga terantuk batu dan jatuh ke bawah tebing.
“Kamu Revan, kan, anak Mbak Lisa yang dulu tinggal di rumah sebelah?” Suara Tante Kiara disambut cium tangan dari Revan.
“Tidak apa-apa aku mencium tangannya saat ini, tapi lihatlah besok aku akan membuat tangan ini kehilangan putrinya untuk selama-lamanya,” Revan membatin sambil tersenyum kepada Tante Kiara.
Beberapa hari Salma tidak bisa berangkat kuliah karena lukanya belum sembuh benar. Setiap sore Revan datang mengunjunginya, pura-pura menghiburnya. Revan masih berusaha mencari cara bagaimana menghilangkan Salma untuk selamanya. Membalaskan rasa sakit hati dan penderitaan mamanya setelah menjadi janda di usia muda.
“Kita minum teh, ya, Re, Aku sudah menyediakan khusus untukmu.” Salma berjalan membawa nampan dengan dua cangkir teh aroma mint, oleh-oleh papanya dari luar kota. Revan mengangguk kecil dan berjalan di samping salma menuju teras rumah.
“Aku sangat terkejut saat melihatmu tiba-tiba terjatuh di tepi tebing saat itu. Aku panik, Sal. Aku shock tidak tahu apa yang harus kulakukan sampai teman-teman datang ke arah kita, sungguh aku panik sekali.” Revan duduk di kursi di samping Salma. Kali ini Revan membuat alasan yang masuk akal, karena tertangkap basah tersenyum saat melihat Salma jatuh kemarin.
“Sudah tidak apa-apa, itu kecelakaan, Re. Ayo minum tehnya.” Salma mengulurkan cangkir hitam polos kepada Revan. Aroma teh wangi berampur mint yang menggoda.
“Kenapa cangkir kita berbeda?” Revan bertanya kepada Salma dengan penuh penasaran karena ada dua cangkir yang berbeda di hadapannya, warna hitam dan merah muda.
“Oh, aku senang mengoleksi cangkir, Re,” jawab Salma dengan polos.
Revan mulai mendapatkan ide baru untuk menghabisi Salma dengan cara yang halus. Ya, dengan secangkir teh mungkin adalah cara yang tepat untuk membunuh gadis cantik ini. Pikiran Revan sudah kembali jahat dan tidak terkendali.
“Re, bagaimana kalau setiap sore kamu datang ke sini, kita minum teh bareng, mau ya?” Salma mulai merajuk seperti sahabat kecilnya dulu. Revan hanya mengangguk memberi jawaban tanda setuju.
*
Salma tidak mau menemui Revan di ruang tamu. Dia kesal karena dua hari kemarin Revan tidak mengunjunginya tanpa alasan yang jelas. Sehingga papa Salma yang menemui Revan dan mengajaknya mengobrol panjang di ruang tamu. Hati dan pikiran Revan bergejolak, dadanya membuncah, darahnya berdesir saat bersalaman dengan Om Dimas. Keinginannya untuk membalas dendam seperti tidak dapat ditahan lagi. Om Dimas mempersilakannya duduk, sesekali tangan Om Dimas menepuk-nepuk punggung Revan, membuat jantung Revan bergetar dan terbakar, darahnya panas dari jantung hingga pangkal nadi. Revan sangat ingin memukuli pria itu berkali-kali hingga tewas di hadapannya.
“Re, kenapa ngobrolnya sama Papa? Kan aku yang nungguin kamu datang?” suara Salma penuh protes, disusul wajahnya yang anggun menyembul dari ruang tengah. Revan mengatur napasnya yang terputus-putus.
“Maafkan aku, Sal, dua hari ini aku pulang menengok Mama yang sedang sakit.” Penjelasan Revan membuat Salma merasa bersalah karena sudah cuek kepada Revan sejak kedatangannya tadi.
Om Dimas meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. ”Salam untuk mamamu, semoga cepat sembuh. Kalau ada waktu suruhlah mampir ke sini.” Kalimat Om Dimas seolah ejekan bagi Revan dan mamanya. Revan semakin ingin membalas dendam kepada keluarga itu, entah siapa yang akan mati membayar kehilangan Revan atas papanya dan penderitaan mamanya.
“Re, antarkan aku mengambil pesanan cangkirku, ya? Di Toko Anggrek dekat pasar, mau, ya, please.” Lagi-lagi Salma merajuk kepada Revan yang bertubuh jangkung dan berambut ikal.
“Sudah sore, Salma!” Revan berusaha mengendalikan emosinya yang masih membara di dadanya.
“Ayolah, please, kalau bukan kamu siapa lagi yang akan mengantarku. Aku belum punya teman di kampus.” Salma memasang wajah manja, kedua telapak tangannya memohon kepada Revan. Tersenyum, matanya yang sipit semakin sabit saat meringis.
“Kamu tidak berubah, ya, tidak pandai mencari teman!” Suara Revan yang tegas justru ditanggapi Salma dengan senyum manis di bibirnya yang merah jambu. Revan tidak pernah bisa menolak keinginan sahabatnya sejak kecil itu.
“Oke, itung-itung sebagai permintaan maafku karena kemarin tidak menemanimu minum teh.” Revan membawa Salma dengan motor besarnya menuju toko perlengkapan rumah tangga. Di sana Salma biasa membeli cangkir koleksinya. Setiap ada cangkir model baru, pemilik toko akan menghubunginya melalui pesan WhatsApp.
Langit sore yang jingga sedikit membuat emosi Revan menurun, sesekali Salma menggodanya dengan cerita masa kecil mereka. Revan tersenyum, beberapa kali tertawa lepas tanpa disadarinya. Pohon-pohon mahoni disapu sinar matahari sore, membentuk bayangannya di permukaan jalan kota. Dua sahabat yang telah lama terpisah hanyut dalam kenangan yang indah dan menggelikan. Saling mengejek dan mengingatkan sesuatu yang lucu, membuat keduanya saling merasa malu. Revan memainkan kaca spion untuk mencuri wajah Salma yang merona-rona karena ejekannya.
Bersambung ….
Rachmawati Ash adalah ibu dari Ibrahim dan Volkan, hobi membaca novel dan mengoleksi tanaman hias.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata