Secangkir Teh Kematian (Episode 2)
Oleh: Fitri Fatimah
Untuk beberapa saat Salma hanya bisa terpana. Jadi ingatan-ingatan yang baru saja berseliweran di kepalanya muncul bukan karena kebetulan. Laki-laki di depannya memang adalah sahabatnya ketika kecil, Revan.
Betapa waktu banyak mengubah hal. Revan yang dulu dia ingat adalah bocah berambut ikal dengan tubuh gempal, giginya ompong seperti gapura terbuka lebar. Tapi lihat, kini sosok di depannya, masih berambut ikal, giginya telah genap dan kini terpampang rapi karena ia sedang tersenyum. Tubuhnya tinggi dengan bobot yang proporsional. Tak akan bisa lagi Salma mengejeknya sebagai donat yang menggelinding.
Tersadar dari keterpanaannya, Salma buru-buru balas menjabat tangan Revan. Jabatan tangan yang kuat—terlalu kuat sebenarnya, Salma hampir ingin meringis karena remasan tangan Revan seolah dia berniat meremukkan tangannya.
Salma segera membuang jauh pikiran itu, terutama karena Revan masih mengulaskan senyum bersahabat yang terasa familier baginya.
“Sama siapa?” suara berat terdengar dari laki-laki itu.
“Sendirian aja, kok.”
“Boleh gabung?”
Salma merasa itu adalah pertanyaan yang bodoh. Tentu saja. Ini reuni mereka setelah sekian lama. Ada banyak yang mesti diceritakan, ada banyak yang mau dia tanyakan, terutama tentang kepergian Revan yang mendadak.
“Sudah pesan makanan? Oh, belum pasti. Sebentar, aku mau nebak. Makanan kesukaanmu selain lollipop … bakso, kan?” tebak Salma. Laki-laki di hadapannya menggeleng-geleng—lebih pada geli. Lalu Salma melanjutkan, “Minumnya … aku nggak tahu apa di kantin ini ada susu cokelat, tapi mungkin karena kamu sudah bukan bocah lagi, berarti kopi?”
“Salah. Teh.”
“Suka teh?” Salma mencoba menanyakannya sambil lalu. Dia tahu bahwa paling banter Revan memesan teh karena saat ini cuacanya panas, dan makanan yang akan dia pesan pedas, jadi minuman yang lebih cocok memang adalah teh. Padahal mungkin sebenarnya minuman favoritnya kopi, bukankah itu minuman maskulin khas laki-laki? Hanya saja dalam hati tiba-tiba Salma merasa antusias. Mungkinkah Revan juga “suka” teh seperti dirinya? Ya, Salma suka—amat suka—teh. Bahkan saking sukanya, dia akan selalu merengek untuk dibawakan teh sebagai oleh-oleh tiap papanya melakukan perjalanan bisnis.
“Suka,” jawab Revan singkat, tapi mampu membuat Salma senang tak kepalang.
“Bukan kopi?” tanya Salma lagi, memastikan.
“Aku nggak bisa minum kopi. Malamnya pasti insomnia. Lagi pula, Mama juga lebih sering nyeduh teh di rumah, jadi aku ikut selera Mama.”
“Oia, Tante Lisa apa kabar?”
Lalu sambil menyantap pesanan mereka masing-masing—setelah pesanan bakso Revan datang—mereka menyelanya dengan percakapan-percakapan.
Ada beberapa saat ketika Salma merasa tengkuknya merinding. Salma tidak yakin, tapi kadang dia merasa Revan memandangnya dengan tatapan menusuk, meski tiap Salma berusaha mendongak dari mangkuk sotonya, dia hanya akan menemukan tatapan mata Revan yang bersahabat seperti biasa.
“Ah, aku pasti mengkhayal,” batin Salma.
***
Revan ingin mendecih. Betapa mudahnya membual pada gadis ini, pikir Revan. Maka dia melanjutkan, bahwa ya keadaan mereka—dirinya dan mamanya—baik-baik saja. Bahwa kepergian mereka dulu yang tiba-tiba bukan karena mereka berniat menghilang atau apa, mamanya hanya terlalu sedih atas meninggalnya almarhum papa Revan, dan tidak tahan untuk tetap tinggal di rumah di mana seluruh kenangan suaminya memenuhi tiap sudut dan ruang. Alasan yang ini mungkin benar, hanya saja tak Revan katakan bahwa saat itu Revan bersedia ikut mamanya pindah tanpa perlawanan, karena Revan sadar, tak mungkin dirinya bisa tahan tinggal bertetangga dengan pembunuh papanya.
Bahkan meskipun Revan masih berusia dua belas tahun saat itu, Revan tahu bahwa kecelakaan yang menimpa papanya terkesan mendadak, terlalu dibuat-buat. Papa yang dia kenal adalah sosok yang selalu berhati-hati, sosok yang perfeksionis katakanlah. Jadi sangat tak mungkin bahwa dia akan secara teledor mengebut di jalanan yang curam, dan mengantar nyawanya sendiri pada tebing jurang. Dan Revan sangat ingat, beberapa hari sebelum hari nahas itu, papanya dan papa Salma sedang terlibat seteru. Bukankah sangat kebetulan bahwa papanya mengalami kecelakaan tepat setelah menemui papa Salma.
Jelas itu adalah pembunuhan terencana.
Sekarang, saat duduk berhadap-hadapan dengan anak pembunuh itu, dengan seseorang yang dulunya dia anggap sahabat, Revan serasa tak bisa menahan diri. Tangannya yang sedang memegang garpu, tampak mencengkeram erat. Dada Revan menggelegak, gatal ingin mencolokkan benda aluminium itu pada dua bola mata gadis di depannya, dua bola mata yang menatapnya dengan binar senang, dan kadang ragu-ragu. Mungkin dia bisa merasakan aura membunuhku, pikir Revan. Tentu, mencolok mata Salma tak akan langsung membuatnya mati, tapi paling tidak dia akan merasakan sakit—yang masih tak akan ada apa-apanya dibanding sakit yang ditampungnya selama ini.
***
Setelah menyelesaikan santap siang mereka, Revan dan Salma berjalan beriringan ke gerbang kampus. Di sepanjang itu Salma terus berceloteh, bernostalgia tentang bagaimana mereka biasanya bermain dulu ketika masih kanak-kanak, tentang betapa usilnya Revan, atau tentang bagaimana dia merasa sangat hancur ketika suatu pagi saat dia mengetuk rumah Revan, tak ada yang membukakan pintu. Padahal Salma sudah membawakan lollipop kesukaan Revan, untuk menghibur hatinya yang baru saja kehilangan papa, tapi hingga Salma berteriak dan menggedor-gedor pintu rumah Revan, hingga suaranya serak dan air mata mengalir penuh frustrasi, tetap tak ada yang membukakan pintu.
“Aku sangat sedih waktu itu,” kata Salma dengan suara yang tiba-tiba bergetar. “Tapi paling tidak sekarang kamu sudah kembali,” lanjutnya dengan riang.
Revan mendengus pelan. Ternyata sahabatnya ini masih tidak berubah, dia masih naif. Ya, setidaknya dirinya sekarang kembali. Untuk membalaskan dendam. Bukan kebetulan semata bahwa Revan sekarang memilih kampus yang sama dengan Salma.
Mereka sudah sampai di persimpangan jalan, ketika Salma bertanya, “Habis ini mau ke mana?” Mata gadis itu sibuk men-scroll layar ponselnya, memeriksa taksi yang dipesannya.
Revan menjawab bahwa dia akan pulang ke indekosannya. Dia indekos tak jauh dari kampus ini.
Salma mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba menawarkan, “Gimana kalau main ke rumahku? Jauh, sih, memang, tapi mama-papaku pasti seneng kalau bisa ketemu kamu lagi.”
“Bodoh,” kecam Revan dalam hati. Tante Kiara—mama Salma—mungkin memang akan senang bertemu dengannya, tapi papa Salma? Ya, mungkin dia akan dengan “senang hati” membunuhnya juga.
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah truk tampak akan melintas. Salma masih sibuk memeriksa ponselnya. Hanya satu dorongan, hanya butuh satu dorongan, gadis ini akan habis digilas truk, pikir Revan.
Perlahan-lahan Revan mengambil langkah mundur ke belakang Salma. Tangannya bergerak terjulur di udara.
Bersambung ….
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata