Secangkir Teh Kematian (Episode 9)

Secangkir Teh Kematian (Episode 9)

Secangkir Teh Kematian (Episode 9)
Oleh: Fitri Fatimah

Salma memperhatikan Revan dari belakang, betapa laki-laki yang biasanya selalu tampak penuh tekad dan tujuan, kini melangkah goyah. Baru saja dirinya dan Revan pergi ke kantor polisi, menanyakan tentang kasus yang terjadi tujuh tahun lalu. Seorang polisi yang bertugas, dengan rambut cepak dan tubuh besar, menanyakan identitas Revan dan hubungannya dengan korban. Polisi itu awalnya tampak ramah dan kooperatif, tapi setelah mendengar nama yang Revan sebutkan—Arya, papa Revan—raut polisi itu jadi berubah pias, nada ramahnya berubah kaku. Polisi itu berkata bahwa kasus tujuh tahun lalu tersebut sudah ditutup. Dan sama sekali tak ada yang mencurigakan, jalan di sana memang agak curam dan sudah banyak memakan korban. Itu murni kecelakaan. Tak ada yang perlu diselidiki lagi.

Bahkan kemudian ketika Revan membantah, bersikeras untuk membuka kasus itu kembali, bahwa uang bukan masalah, mata si polisi tampak berkilat tertarik untuk sesaat, tapi kemudian polisi itu meminta dengan tegas supaya Revan dan Salma keluar.

Sekarang setelah mereka sampai di parkiran kantor polisi, untuk beberapa saat Revan berdiri mematung di samping motornya. Salma menatap khawatir, tapi juga takut-takut. Akhirnya perlahan dia menjulurkan tangannya, menepuk-nepuk bahu kukuh laki-laki itu.

“Aku ngerti yang kamu rasakan,” ucap Salma lirih.

Mendengar itu Revan langsung berbalik cepat, menangkap pergelangan tangan Salma. Cengkeramannya kuat.

“Nggak. Kamu nggak ngerti!” suaranya keras menantang. “Kamu nggak lihat tadi? Polisi itu bertingkah aneh, dia pasti sudah sekongkol di belakang. Dan siapa yang paling memungkinkan yang punya kekuasaan untuk menyuap pihak berkuasa selain papamu!” sembur Revan murka.

Salma meringis sebab cengkeraman Revan mulai terasa menyakitkan.

“Kamu tahu papaku bukan orang seperti itu.”

“Tidak, aku tidak tahu papamu orang seperti apa. Aku tidak tahu bagaimana sesungguhnya orang-orang di sekelilingku, mereka semua bermuka dua dan terlalu menjijikkan. Termasuk kamu! Apa yang kamu lakukan barusan? Mengasihaniku? Aku yakin di hatimu sebenarnya kamu tertawa, ya kan?”

“Le-lepasin aku, Revan,” Salma merengek. Revan menatap Salma penuh amarah, lalu akhirnya melepaskan pergelangan tangan gadis itu dengan kasar. Ada jejak memar tertinggal di sana.

Revan naik ke motornya, mulai menyalakan mesin. Salma yang melihat itu, berusaha mengabaikan rasa sakitnya, segera bergerak menghadang Revan.

“Revan, kamu mau ke mana?”

Revan tidak menjawab, dia mulai mengenakan helmnya.

“Bukannya kita harus pergi ke mamamu?” cegat Salma cepat-cepat.

Revan melirik tajam dari balik kaca helm. Dia mendengus. “Kalau yang kamu mau adalah aku ngadu ke mamaku, buang jauh pikiran itu. Aku nggak bakal nambahin beban pikiran Mama dengan hal ini. Aku akan mencari sendiri kebenar—“

“Bukan itu, kamu bilang kamu pernah lihat perempuan yang di dalam foto bersama mamamu. Berarti mamamu kenal dia. Bukankah itu berarati mamamu satu-satunya harapan kita untuk mencari jejak?”

Revan tercengang oleh kelogisan penjelasan Salma. Sebelum Revan sadar kembali, Salma telah naik ke boncengannya.

“Apa yang kamu lakukan? Turun!”

Tapi Salma tidak dapat ditipu. Meski Revan meneriakinya, tapi Salma dapat mendeteksi getar rapuh dalam suaranya.

“Aku nggak bakal ninggalin kamu sendirian,” ucap Salma mantap.

***

Butuh waktu dua jam hingga mereka sampai ke rumah tempat Revan dan mama Revan pindah. Selama itu pula di perjalanan, Salma dan Revan sama-sama diam, tak ada percakapan atau saling goda seperti saat laki-laki itu kemarin mengantar Salma membeli cangkir. Salma berpikir dengan getir, tentu saja saat itu Revan adalah sosok yang menyenangkan, karena memang itulah yang ingin ditampilkan laki-laki itu, untuk memikat hatinya. Sekarang saat Revan tak perlu mengenakan topeng, dia tak repot-repot lagi untuk berusaha tampak menyenangkan. Hanya ada suara kendaraan dan klakson di sekeliling mereka, serta suara angin yang diterabas motor Revan dengan kencang.

Rumah tempat Revan dan mamanya pindah adalah bangunan yang tak kalah megah dari rumah yang mereka tinggalkan sebelumnya. Ada pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan dua lantai itu. Cat putihnya berkilau di tiap sisi.

Anehnya, Revan memarkir motornya jauh dari halaman rumahnya. Salma bertanya-tanya kenapa. Dan meskipun Revan masih kesal dengan Salma, tapi laki-laki itu menjawab, bahwa mamanya tidak suka dengan suara-suara berisik.

Salma memutar kembali pandangannya ke sekeliling. Benar saja, tempat ini sangat terpencil, seakan vila persembunyian. Dan ketika semestinya kesan yang dia dapat adalah suasana lengang yang damai, tapi yang bisa Salma rasakan hanya betapa sunyi rumah ini.

Mereka berjalan kaki ke rumah Revan.

Bahkan pagar besinya dilicinkan sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan derit.

Akan tetapi kesan sunyi yang pekat tadi pecah saat mereka berdua semakin mendekati pintu. Terdapat suara-suara nyaring yang bersahutan dari dalam rumah. Revan segera berlari. Salma bergegas mengikuti dengan cepat di belakangnya.

Tepat saat mendekati pintu, langkah Revan tiba-tiba berhenti. Pintu terbuka sedikit, dan dari celah itu Salma juga bisa melihat bahwa di sana sedang ada dua orang perempuan, satu Tante Lisa, satu lagi adalah perempuan yang berada di foto. Mereka tampak terlibat dalam adu argumen.

Salma melihat bahwa Revan hendak mendorong pintu untuk terbuka lebar, tapi segera Salma mencegah tangan Revan.

“Apa yang kamu lakukan?” desis Revan.

“Pasti ada alasan kenapa Tante Lisa tidak berkata apa-apa soal perempuan itu selama ini. Kalau memang perempuan itu ada hubungannya dengan kematian papamu, dan mamamu mengetahuinya, pasti ada yang Tante Lisa sembunyikan.” Salma berusaha keras untuk menjaga suaranya tetap lirih.

“Tapi mamaku mungkin sedang dalam bahaya bersama perempuan itu.”

Salma menatap ragu-ragu. “Kita akan mengawasi dari sini. Kalau ada bahaya, kita akan segera datang membantu Tante Lisa,” janji Salma. Ajaibnya, Revan menurut.

Revan dapat merasakan tekanan ringan tangan Salma di tangannya. Ini pasti berbeda dengan cekalannya tadi, pikir Revan, seketika merasa bersalah. Gadis ini, bahkan setelah dia bohongi dan perlakukan dengan buruk, masih tetap mau mengikuti dirinya. Dan meskipun Revan benci mengakuinya, tapi dia bersyukur ada Salma saat ini, sebab entah kenapa dia mulai merasa takut dengan kebenaran yang sepertinya akan menemukan titik temu.

Revan berjanji dalam hati, setelah ini, setelah semua ini selesai, dia akan mulai memperlakukan Salma dengan baik.

Mereka berdua berdiri bersembunyi di balik pintu.

Salma memperhatikan kembali sosok-sosok di dalam rumah. Tante Lisa yang dulu dia kenal cantik, dengan garis muka yang tegas, kini tampak jauh berbeda. Rambutnya tergerai acak, wajahnya kuyu. Raut bahagia dan tenang yang dulu selalu jadi pembawaan Tante Lisa, kini hilang sama sekali. Kedua tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya, dan cibiran serta kata-kata yang keluar dari mulut Tante Lisa, sangat kotor.

“Masih berani juga ya kamu datang ke sini. Memang sekali murahan, selamanya akan murahan. Dulu kamu menggoda suami saya, sekarang setelah dia membusuk di neraka kamu masih mau menagih, apa? Harta warisan? Sampai mati saya tidak bakal ngasih sepeser pun uang untuk kamu dan anak haram jadah itu. Lebih baik kamu pergi!” sambil meneriaki seperti itu, Tante Lisa menuding-nudingkan jarinya ke muka perempuan di hadapannya. Pundak perempuan itu makin mengerut, air mata semakin jatuh membanjiri pipinya.

Sambil terisak-isak, perempuan misterius itu mencoba berkata, “Mas Arya dulu pernah berjanji bahwa bayi yang dikandung saya waktu itu akan mendapatkan hak yang sama seperti Revan. Tapi saya tidak akan menagih itu, Mbak. Saya tidak perlu banyak, saya bahkan tidak akan ke sini lagi kalau bukan karena terdesak. Anak saya—anak saya dan Mas Arya—sedang sakit, dia butuh biaya untuk berobat. Saya mohon Mbak mau membantu.”

“Kamu tahu? Saya lebih suka membakar uang saya daripada membantu bukti perselingkuhan kalian. Biar saja haram jadah itu mati, biar dia menyusul bapaknya ke neraka. Bahkan mestinya kamu bersyukur dia akan segera mati oleh penyakit, setidaknya kamu tidak perlu menyaksikan saya turun tangan seperti yang saya lakukan pada Mas Arya.”

Salma merasakan bagaimana tubuh Revan menjadi kaku mendengar potongan informasi ini.

“Apa maksud Mbak?!” pekik perempuan itu ngeri.

“Kamu pikir kalau bukan karena saya yang menyuruh seseorang untuk merusak rem mobil Mas Arya, mana bisa keparat itu seketika mati? Keparat itu sudah berselingkuh! Dia sudah berkhianat! Dia mengkhianati keluarga kami! Dia pantas membayarnya dengan kematian!”

Salma tidak sempat menyaksikan ekspresi perempuan selingkuhan papa Revan itu, perhatiannya teralihkan mendapati tangan yang sejak tadi dia genggam, kini dihentakkan terlepas darinya. Tahu-tahu Revan sudah menerjang pintu dan menghambur ke dalam rumah.

Revan menatap nyalang pada perempuan yang paling dia sayangi dan juga hormati, perempuan yang dia panggil mama. Ekspresi shock, amarah, juga kecewa, membayang di matanya.

Mama Revan menatap nanar pada kemunculan putranya yang tiba-tiba, tubuhnya langsung merosot lunglai ke lantai. “Ma-mama bi-bi-bisa jelaskan,” mama Revan terbata-bata berusaha menggapai kata.

Tapi apa yang harus dijelaskan, ketika semuanya telah jadi jelas, pikir Revan dengan miris. (*)

 

TAMAT

Episode 8 (sebelumnya)

 

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis. FB: Fitri Pei.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply