Secangkir Teh

Secangkir Teh

Secangkir Teh

Oleh: Supriyanti       

Sepotong terong goreng di piring, masakan Kiza sebelum kepergiannya ke Bandung. Ya ya ya, ini menu terbarunya, ia mengatakannya tadi pagi. Aku ssedikit ragu dengan rasanya. Kiza-ku ini, apa pun ia masak. Aku belum menyentuhnya, aku lebih tertarik dengan kopiku, iya cappuccino.

Perjalananku hari ini kurasa tidak sebagus kemarin, menurut headlilne dalam berita, kulihat melalui ponselku, cuacanya sekarang sedang memburuk. Tapi aku harus tetap pergi. Rumah bambu dan gunung di sekeliling langit biru, aku merindukanmu. Ah, sebenarnya tidak, aku lebih rindu dengan Kakek.

Akhirnya kumakan juga masakan Kiza, tidak terlalu buruk, hanya saja sedikit asin. Mungkin nanti aku akan menyarankannya jangan menggoreng terong lagi. Aku segera melajukan mobil sebelum hujan benar-benar jatuh.

***

Aku menyesap teh buatan Kakek. Sesampaiku di rumahnya beliau langsung menarikku. Ahh … Kakek tak pernah absen membawakanku secangkir teh manis saat aku mengunjunginya.

Aku tersenyum melihat senyumannya. Kakekku semakin tua, lihat saja, tubuhnya lebih kurus sejak terakhir kali aku melihatnya, dahinya berkerut tiap tertawa, keriput di mana-mana sudah nampak, apalagi pada wajah dan lengannya. Rambutnya saja sudah habis memutih.

Aku mengambil cangkirnya tanpa izin. Aku kurang suka melihat Kakek terlalu sering mengonsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula yang tinggi. Tentu akan mengganggu kesehatannya di usianya yang sudah tak lagi muda.

“Kupikir, milik Kakek tanpa gula. Ternyata rasanya lebih manis dari milikku.” Aku melliriknya dan Kakek hanya tersenyum.

“Ini terlalu manis untukmu, Kek.”

“Maafkan Kakek Naya”

“Ya bagaimana lagi Kakek sudah terlanjur membuatnya. Lanjutkan minummu Kakek. Aku hanya memberikan izin satu kali ini saja,” Aku langsung mengecup dahinya lembut.

Aku melihat hujan dari balik  kaca jendela, lumayan lebat juga. Ahh padahal sore ini aku ingin melihat sunset bersama Kakek. Ya, sekarang rencanaku gagal.

Aku berbalik dan langsung mendapati Kakek yang sedang menyesap rokok gulung buatannya sendiri, “Kakek mandilah! Aku sudah menyiapkan air hangat.” Aku mendekat membawakan handuknya.

***

Aku melihat Kakek keluar dari kamar mandi, kurasa ia sudah selesai.

“Kakek membeli radio baru, ya?  Apa radio Kakek yang lama sudah rusak?”

“Minggu kemarin ayahmu ke sini, ia mengambil radio lamaku dan menggantinya dengan yang baru. Ayahmu meminta Kakek memberikan ini untukmu. Kau bercerita dengan Raka, kan? Raka mengatakannya pada Ayahmu.”

“Ah, lelaki itu memang tak bisa menyimpan rahasia.”

“Sudah terima saja, kau sangat membutuhkannya, kan? Kamu tidak perlu meminjam laptop Kiza lagi.”

“Kakek tahu dari mana? Ini pasti kerjaan Kak Raka lagi,” ucapku yang menerima laptop pemberian Ayah yang dititipkan pada kakek.

“Raka hanya ingin membantumu, Nay. Kakek sangat yakin, jika ayahmu yang langsung memberikannya, sudah tentu kau tolak mentah-mentah.”

“Kakek kan tahu sendiri aku tidak suka Ayah meenikah lagi. Hati Ibu sangat terpukul saat itu. Ibu nekat kabur dari rumah. Untung Kak Raka segera menemukannya.”

“Iya, Kakek mengerti perasaanmu. Mungkin Raka juga seperti itu, namun karena ia seorang laki-laki, ia menutupi rasa sedih dan amarahnya.”

Aku memeluk Kakek erat dan memintanya segera tidur. Sebenarnya aku hanya malas Kakek membicarakan mengenai Ayah. Aku mematikan lampu utama, Kakek tidak bisa tidur dengan lampu yang menyala terang.

***

“Pagi, Kek! Bagaimana tidur Kakek?” Aku melihat sebentar ke arah Kakek, kemudian melanjutkan aktivitasku, menata bunga mawar kesukaan Kakek. Setelahnya aku mendekat ke arah Kakek, tak lupa kubawakan secangkir teh hangat yang baru saja kupersiapkan.

“Untuk Kakek.”

Kakek menerimanya dan langsung menyesapnya, “Mengapa tak ada rasanya?” protesnya.

Aku tertawa cukup lama mendengar protes Kakek, “Apa Kakek lupa dengan perkataanku kemarin, aku hanya memberi izin Kakek sekali saja.”

Kakek hanya mendengus dan menyesapnya kembali hingga habis.

“Hari ini sepertinya bagus, nanti sore kita harus melihat sunset bersama. Aku akan meminta Raka juga, aku harus meneleponnya sekarang.” Aku meninggalkan Kakek yang sedang duduk di dipan beranda.

***

Ya, aku akan melihat sunset bersama Kakek dan Raka, tapi Raka belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sambil menunggu matahari tenggelam, aku dan Kakek menyesap teh kami. Kakek menceritakan kenangan-kenangan indahnya bersama Nenek, “Naya! Apa kau tahu?”

“Tidak, Kek,” sambarku.

“Aku belum selesai, Nay. Dulu saat nenekmu masih ada, aku dan nenekmu sering menghabiskan waktu di sini. Yaa … kira-kira sama dengan apa yang kau lakukan hari ini.”

“Oh ya?” jawabku.

“Yaa … tentu. Hey! Kau tahu? Teh buatanmu ini mirip sekali buatan Nenek, sama-sama kurang gula.”

“Kakek … Kakek inikan sudah tua aku tak ingin Kakek terkena diabetes. Lagipula Nenek sudah menitipkan Kakek kepadaku, jadi aku harus menjaga Kakek bukan? Aku harus mengawasi Kakek, aku akan sering mengunjungi, jadi Kakek jangan pernah mencuri kesempatan.”

“Tuh kan, mirip sekali dengan jawaban menekmu.”

“Kakek tahu tidak? Sebenarnya itu trik jawaban dari Nenek loh. Nenek selalu mengatakannya sepanjang sore saat Kakek bersantai di dipan.”

“Kau dan nenekmu itu memang sama saja.”

“Apa aku melewatkan sesuatu?” Raka menepuk bahuku tiba-tiba. Aku sangat terkejut hingga teh di cangkirku tumpah semua. Aku memukul lengannya untuk melampiaskan kekesalanku.

“Bisa tidak menjadi laki-laki normal seperti yang lainnya? Mengagetkan saja. Lihat ini tehku tumpah semua, untung saja tidak mengenai Kakek.” Aku memperlihatkan cangkirku yang sudah kosong kepadanya.

“Maaf.”

“Sudah-sudah, lihat itu sebentar lagi sunset,” Kakek mencoba melerai kami.

Kami bertiga melihat langit bagian barat, menikmati sunset yang indah.

“Bukankah ini menyenangkan?” Kakek merangkul kamai berdua.

***

Aku mengemasi barang-barangku, Raka hanya melihat. Sepertinya ia tak berminat membantuku. Sebelum pergi aku sengaja menata mawar Kakek, memeluk Mike—kucing kakek—yang masih tertidur.

Aku mencari Kakek di luar tapi tidak ada. Aku ingin berpamitan, aku harus kembali karena aku ada kelas nanti sore. Aku hendak mencari ke dalam, ternyata Kakek sudah keluar membawa tiga cangkir teh. Aku sangat yakin pasti ia banyak menggunakan … tapi ya sudahlah.

Aku segera memeluk Kakek ssetelah menghabiskan teh buatan Kakek. Aku melambaikan tangan ke arah mereka, Kakek dan Raka.  Aku melajukan mobil dengan kecepatan yang lumayan tinggi.

Tiga jam menerjang jalanan memang melelahkan, sesampai di kos aku langsung melenggang masuk. Rupanya Kiza sudah kembali, lampu masih menyala terang dan ada suara berisik dari dapur. Aku langsung mencarinya, aku menemukannya dalam keadaan yang memprihatinkan, bukan Kiza, tapi dapur kita.

“Sepertinya kau memang tak bisa jauh-jauh dari yang namanya dapur ya? Kau sedang masak apa?”

“Terong goreng.”

“Lagi? Lebih baik jangan terong, yang lainnya saja.”

“Memangnya kenapa?”

“Kau tahu kemarin terongmu itu rasanya aneh, hambar, hanya asin saja.”

“Yang ini lebih enak dari yang kemarin, cobalah.”

“Aku tidak mau!” Aku berlari tapi Kiza malah mengejarku, sepertinya ia tak akan menyerah sampai aku mau mencicipinya.(*)

Supriyanti, lahir di Sukoharjo, 27 Nopember 1995. Penulis sedang belajar di Universitas Diponegoro mengambil konsentrasi program studi S1 Matematika. Ia bisa dihubungi via email yantiwriter27@gmail.com, facebook Supriyanti Cup-cup, via WA/sms/telepon di nomor 085802143421.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita