Secangkir Kopi untuk Ayah
Oleh : R Herlina Sari
Setiap hari di waktu pagi adalah rutinitasku untuk membuatkan secangkir kopi untuk Ayah. Ayah pula yang mengajarkanku untuk selalu menikmati kopi pahit di pagi hari. Ditemani sepotong kue bolu di piring saji. Walaupun aku tak mau. Namun tiap kali aku berontak, Ayah selalu memaksa untuk menemaninya minum kopi. Alasannya, menikmati kopi pahit ditemani orang tersayang membuat hidup lebih manis.
Entah filosofi dari mana yang beliau ambil. Setiap hari menghidu aroma kopi begitu menenangkan. Namun, semenjak kejadian itu, aku tak lagi bersinggungan dengan kopi. Sekadar melihat atau membaui sesaat pun aku enggan. Ketika melihat kopi, aku selalu teringat tentang Ayah. Tentang lukanya dan segala kesedihan di dalamnya.
***
“Kamu jangan bertemu dia lagi,” larang Ayah.
“Berulang kali Dani bilang, Dani tak bisa hidup tanpa Dania, Ayah,” sahutku.
“Dan, mengertilah. Ayah tak mau kamu terjebak oleh cinta palsu,” katanya.
“Apa maksud Ayah?” tanyaku.
“Kamu, akan mengerti pada saatnya. Tolong penuhi pesan terakhir Ayah. Jangan pernah menemui gadis itu lagi!”
Aku pun pergi. Sebelum Ayah menyelesaikan perkataannya. Kubaringkan tubuh lelah penuh dengan peluh. Masih terpikir di dalam benakku apa yang terjadi sehingga Ayah melarangku bertemu dengan Dania. Padahal, kami baru saja membahas tentang rencana pernikahan. Ayah begitu antusias dan tak ingin menunda-nunda.
Kuputuskan untuk mengajak Dania pulang dan bertemu dengan Ayah. Tak ada yang aneh. Namun, saat Dania menyebut nama orang tuanya, wajah Ayah berubah pias. Aku tak tahu pasti alasannya. Yang pasti, Ayah langsung masuk ke kamarnya dan tak pernah keluar lagi hari itu.
Ayah tak seceria dulu. Menjadi pendiam dan tak banyak mengucap kata. Hingga kuputuskan untuk memenuhi permintaannya, barulah Ayah mau berbicara. Bagiku, senyum Ayah adalah hal yang paling membahagiakan, walaupun luka yang menjadi taruhan.
***
Masih teringat di malam itu, aku berbincang-bincang dengan Ayah ditemani dua cangkir kopi. Sesekali beliau menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap. Sambil sesekali menarik napas panjang.
“Dulu … ibumulah yang selalu membuatkan Ayah kopi. Kopi buatannya selalu nikmat di lidah. Tanpa tanding,” kata Ayah mengawali percakapannya.
Jujur, membahas tentang Ibu membuat sekeping hatiku tersentil. Ayah hanya mengatakan, jika ibuku telah tiada. Tanpa kutahu alasan pastinya. Tiada karena pergi, atau karena mati? Setiap kali aku bertanya tentang Ibu, Ayah tak pernah mau menjawab. Hanya percakapan menyangkut kopi yang selalu dia perdengarkan.
“Menyesap kopi, membuat kerinduan Ayah kepada ibumu sedikit memudar,” lanjutnya kemudian.
“Ayah sudah berkata seperti itu ratusan kali,” kataku.
“Meski begitu, membahasnya tak pernah membuat Ayah bosan.”
Kemudian Ayah memejamkan mata sejenak. Menghela napas pelan. Tersirat ada beban yang tak kasat terlihat di kedua bola matanya. Tatapannya menerawang jauh.
“Kamu tahu mengapa Ayah menyukai kopi?” tanyanya.
“Karena ibulah yang senantiasa menyediakannya untuk Ayah,” jawabku.
“Salah!” sahut Ayah.
“Lalu apa jawabannya?” tanyaku. Aku mulai penasaran.
“Karena kopi mengajarkan tentang pahitnya kehidupan. Kopi mengajarkan bagaimana sebuah perjuangan. Menyeduh kopi tak semudah menakar dan memberi air. Namun, harus menggunakan hati dan pikiran untuk mengolahnya.” Ayah menjelaskan panjang lebar.
Ekspresi Ayah berubah saat menjelaskan tentang kopi. Begitu antusias. Namun, aku tahu bahwa kopilah yang merenggut kebahagiaan Ayah satu-satunya.
Pembicaraan berhenti saat bulan mulai merangkak tinggi. Ayah masuk ke kamarnya. Aku masih duduk termenung memandangi keindahan bulan purnama.
***
“Dan, tolong buatkan Ayah kopi,” perintah Ayah di pagi itu.
Tak kusangka, secangkir kopi hari itu adalah kopi terakhir yang aku sajikan. Karena tak lama berselang, Ayah pergi meninggalkanku seorang diri bersama dengan selembar kertas dalam genggamannya. Ya, Ayah meninggal karena penyakit jantung yang menyerangnya tiba-tiba.
“Dania adalah adik kandungmu. Ambil buku hitam di dalam lemari Ayah. Itu akan menjelaskan semuanya.”
Begitulah kalimat yang tertera pada selembar kertas. Aku terkesiap. Duniaku hancur sesaat, bagaikan dihantam palu godam. Kepalaku terasa berat. Kemudian limbung.
***
Siang itu, bau bunga kemboja masih mewangi. Mengantarkan kepergian Ayah untuk terakhir kalinya. Pusaranya masih basah, tetapi hatiku selalu merasa gundah. Pun juga resah.
Gerimis tipis tak mengubah niatku untuk duduk termenung di samping makam dengan nisan bertuliskan Galendra Hardjono.
Setelah beberapa saat, kuputuskan untuk pulang. Mencari buku hitam yang menjadi jawaban atas semua kegelisahan.
Kubuka lembar demi lembar. Bak diari yang selalu tertulis dengan rapi. Hingga mataku membaca sebait kalimat di belakang foto seorang wanita muda.
Saat itu, kamu memutuskan untuk pergi membawa Dania kecil. Katamu, aku tak pantas bersanding denganmu. Aku yang telah jatuh, terpuruk, tak akan pernah bisa membahagiakanmu. Memenuhi setiap kebutuhan hidupmu. Padahal kamu tahu pasti, Aina, kalau kamulah hidupku. Tanpamu aku bagaikan raga tanpa nyawa. Tanpamu aku bagaikan kopi tanpa gula. Namun, aku harus hidup, bukan? Demi Dani kecil. Saat itu jika kamu ingin pulang, rumah ini akan selalu membuka pintu untukmu.
Ternyata, Ayah menyesap kopinya hanya untuk mengingat pahitnya ditinggalkan oleh wanita yang dia cintai. Sedangkan aku? Cukup tahu bagaimana sifat wanita yang aku panggil “Ibu”. Tak akan pernah mencarinya, pun juga tak ingin menemuinya. Bagiku, ibuku telah mati bersama kenangan tentangnya. (*)
Sub, 231020
RHS, pencinta lumba-lumba dan warna ungu.
Editor : Fitri Fatimah