Secangkir Kopi dan Manipulasi (30 Cerpen Pilihan TL-18)

Secangkir Kopi dan Manipulasi (30 Cerpen Pilihan TL-18)

Secangkir Kopi dan Manipulasi

Oleh: Ray Eurus

30 Cerpen Pilihan Tantangan Lokit-18

 

Darla memutuskan menutup laci lemari yang berada di sudut kamar berlantai keramik sewarna langit pagi itu. Dia mengurungkan niat berangkat lebih awal, mengingat hujan yang sepertinya enggan berhenti membasahi kota sejak subuh tadi. Alih-alih menyiapkan sarapan, dia justru menyeduh kopi lalu menuju ke jendela yang telah terbuka lebar dan menyibak tirai tipis, setipis keyakinannya pada seseorang di suatu tempat yang juga menggemari aroma tanah basah yang menguar berpadu bersama wangi robusta.

Ah, robusta. Jika bukan karena dia sungguh merasa butuh—seperti bunga pukul empat yang tumbuh di halamannya yang merindukan sinar mentari dan guyuran hujan sekaligus—kepada seseorang itu, mungkin dia sudah lama berhenti menyesap minuman yang jauh lebih pahit daripada arabika yang dahulu selalu menjadi pilihannya di pagi hari.

“Arabika itu terlalu ringan. Aku kurang suka.”

“Bilang saja, arabika jauh lebih mahal daripada robusta. Kamu khawatir dibuat bangkrut olehku, setelah kita menikah nanti, ‘kan?” debat Darla pada kencan kesekiannya dengan lelaki itu.

Pikiran Darla yang sudah terbang jauh ke luar jendela terjeda oleh suara ponsel pintarnya yang memunculkan nama “Dearest”. Dia melirik sekilas pada benda pipih yang juga diletakkannya pada meja kecil di dekat jendela, bersama secangkir kopi robusta yang belum tersentuh. Biasanya dia akan segera menyambar benda tersebut, jika yang menghubunginya adalah orang itu. Akan tetapi, kali ini dia justru menimbang cukup lama, lalu menghela napas berulang kali sebelum memutuskan menerima panggilannya.

“Hei, Darl. Sedang dalam perjalanan, ya?” sambar suara di seberang sambungan, begitu Darla menggeser tanda panggilan.

“Iya … eh, maksudku belum. Masih di rumah.”

“Tumben?”

“Sedang hujan, agak mal—”

“Bukan, bukan … kamu tumben sekali gak membalas pesanku dari semalam. Dan biasanya, kamu yang lebih sering mengirimkan WA untukku,” jeda orang itu. “What’s up, Darling?” lanjutnya kemudian.

“Apa di sana hujan?” Darla mencoba untuk mengalihkan pertanyaan lelaki bersuara alto tersebut.

“Aku gak terlalu memperhatikan keadaan di luar. Mungkin saja hujan.”

“Ya, sudah. Aku siap-siap dulu. Kalau urusanmu hari ini sudah selesai, segera kabari aku,” putus Darla tidak ingin berlama-lama.

“Baiklah. Love you, Darl.”

So do I, Dear,” balasnya lirih sebelum mematikan sambungan.

Darla tidak berbohong mengenai bersiap-siap. Dia pun tidak berbohong akan perasaannya kepada lelaki itu. Dia wanita yang bisa dipegang kata-katanya. Namun, persiapannya kali ini bukan untuk bekerja seperti biasa. Dia akan menuju suatu tempat, untuk memastikan sesuatu. Ada pekerjaan tambahan yang harus diselesaikannya.

Sebelum kembali ke kamar dan membuka laci lemari, lagi, Darla sempat menumpahkan isi cangkir yang belum tersentuh ke bak cuci piring. Dia memutuskan untuk kembali pada keyakinan lamanya, bahwa kopi arabika adalah yang terbaik. Dan akan mulai memesan bubuk kopi tersebut pada salah satu kawannya yang memiliki kafe.

Sementara dia yang baru saja menutup telepon, justru kembali ke balik selimut dan merengkuh seseorang tanpa busana di dalam sana. Dia menghidu lekat-lekat aroma rambut selembut sutera, sambil memain-mainkan ujung jemarinya pada punggung telanjang perempuan itu. Sang perempuan menggeliat geli sambil merapatkan tubuhnya pada lelaki bergelar “Dearest” di ponsel Darla tersebut. Kemudian mereka mengulang kerinduan semalam yang begitu bergelora.

Wanita itu butuh penawar atas tragedi yang diyakininya telah menimpanya, beberapa waktu lalu. Dia tidak menyimpan jera, malah semakin menempeli lelaki beristri yang membuatnya merasakan jatuh cinta untuk pertama kali. Baginya, kehidupan rumah tangganya adalah sebuah kesalahan. Seharusnya dia lebih dulu bertemu kekasihnya ini, dibanding lelaki yang dianggapnya hanya sebatas tambang harta karun.

***

“Monika?”

“Dokter? Kebetulan sekali.” Wanita yang mengenakan trench coat sewarna kapucino dengan syal putih yang melilit lehernya itu—semakin mempertegas kesan kopi kapucino dengan krim putih di atasnya—membulatkan mata ke arah lawan bicaranya.

“Sedang berlibur? Sendirian?”

“Oh, i-itu … iya,” jawab sang wanita ragu-ragu. “Dokter sendiri?” tanyanya cepat.

“Monika, kamu berani sekali. Belum lama berlalu kejadian itu ….”

“Apakah hasilnya sudah keluar? Semua laporanku terbukti, kan, Dok?”

“Untuk itulah saya pelesiran kemari.” Dokter itu menyurungkan gelas kertas berisi kopi robusta.

Sang wanita berpenampilan kapucino mengernyitkan kening, memandang ke arah minuman yang sudah diterimanya. Dia menampilkan raut heran saat mendongak memandang lawan bicaranya.

“Itu robusta, kamu suka?” selidik dokter itu. Monika menggeleng sekilas.

“Tadi aku habis duduk di kafe situ.” Sang dokter mengarahkan telunjuknya ke kafe pinggir jalan, persis di seberang hotel tempat sang wanita keluar. “Begitu aku mau pergi, waiters memberikan ini buatku. Katanya free. Minumlah!”

Tampak bibir wanita yang memoleskan lipstik semerah darah itu membulat. Meskipun dia tidak terlalu menyukai kopi, pun tidak tahu perbedaan dari tiap jenis kopi, dia tetap menghargai pemberian dari sang dokter.

“Ayo, kita sambil jalan.” Sang dokter menggamit lengan wanita berpenampilan kapucino. Sebelah tangan sang dokter menyusup ke dalam kantong blazer yang dikenakannya, memainkan sesuatu yang sempat dibubuhkannya ke dalam gelas kertas kopi robusta.

Sang wanita tidak dapat menolak ajakan tersebut. Setidaknya, kejutan bertemu sang dokter di kota ini bisa menghilangkan kebosanannya jika harus berjalan-jalan seorang diri. Seperti itu pikirnya.

***

“Jadi, perempuan itu gila?” Letnan Erik memutar telunjuk di dekat pelipisnya.

“Dia mengalami gangguan psikosis, satu gejala penyakit mental. Anda bisa membaca laporan yang sudah saya kirimkan.” Darla meyilangkan kaki kanannya di atas kaki kiri, sembari menyandarkan punggung pada sofa ruang kerjanya.

“Kalau begitu, semua kejadian yang dilaporkannya hanya delusi semata?”

Darla mengangguk demi menjawab pertanyaan koleganya tersebut. Dia lalu mempersilakan tamunya itu untuk menikmati teh melati yang baru saja disajikan Meli, asistennya.

“Andai dia bukan istrinya pengusaha tambang besar itu, sudahlah berkas laporannya kuabaikan. Sayangnya, isi di balik amplop lainnya cukup tebal.” Tawa Letnan Erik menggelegar. “Gak disangka kasus ini justru membuka aib sendiri, ck!” Lelaki berperawakan sedang dan tegap itu mengulang tawanya.

“Intinya, saya telah menjalankan serangkaian metode untuk memastikan keadannya tersebut. Bahkan, suaminya pun telah mengikuti rangkaian proses terapi serupa. Kita harus memastikan kebenarannya dari mereka berdua, bukan?”

“Ya, kamu benar. Setidaknya, semua alibi suaminya dikuatkan dengan laporanmu. Gila, saya masih gak percaya!”

Darla tersenyum simpul. “Orang yang menderita gangguan psikosis, biasa mengalami waham¹. Dan untuk kasusnya, yaitu waham penganiayaan. Dia merasa telah diculik, dianiaya, lalu diperkosa. Lucunya lagi, orang yang dituduh telah melakukan kejahatan tersebut adalah suaminya sendiri. Dan pada kenyataannya, mereka tengah liburan, honeymoon kecil-kecilan saat itu. Semua bukti dan alibi sang suami pun sangat sesuai. Sesuai antara data yang Anda berikan, dengan penuturannya saat berada di alam bawah sadar. Suaminya tidak berbohong.”

“Kudengar-dengar, perempuan itu memiliki PIL.”

Darla mengepalkan kedua telapak tangan yang berada dalam pangkuannya. Dia memandang lurus ke arah Letnan Erik.

“Apa jangan-jangan itu juga delusi?” selidik Letnan Erik.

“Waham erotomania²,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi. “Well, berhubung detail yang Anda minta hanya terkait dengan laporan yang dibuat perempuan itu saja, saya tidak berani menyelami hal lain selain itu.”

Letnan Erik mengangguk, mengamini ucapan Darla. Dia lalu undur diri untuk kembali ke kantor. Kedatangannya siang hari itu, hanya untuk menyapa Darla karena kebetulan lewat. Dan juga untuk mengucapkan terima kasih atas kerja sama yang sudah biro psikiater tempat Darla bekerja, berikan.

Setelah kepergian Letnan Erik, Darla meminta Meri untuk mengabarkan kepada seorang kliennya yang sudah membuat janji terapi setengah jam ke depan, untuk mengganti waktu di lain hari. Dia izin pulang lebih awal, mengaku sedang tidak enak badan.

Setelah berada di rumah, Darla segera menyeduh secangkir kopi robusta. Lima menit yang lalu, suaminya mengabarkan bahwa dia sudah mendarat dan sedang menuju ke rumah. Tidak berselang lama, suara mobil memasuki garasi saat dia mengembalikan obat penenang dosis sedang ke dalam laci lemari kamarnya.

Senyuman terulas di wajah Darla, menyambut kedatangan sang suami. Setelah seremonial cipika-cipiki, dia mengangsurkan cangkir yang masih menguarkan asap tipis kepada lelakinya. Dan tidak menunggu lama, tubuh atletis sang suami sudah melorot di sofa ruang tengah yang mereka duduki.

“Maafkan aku, Dear. Aku harus menghapus semua jejak jalang itu dari kehidupanmu,” pungkas Darla sembari merogoh ponsel sang suami dari kantung celana jin berwarna biru terang, seterang langit siang itu.

Pertama-tama dia harus menghapus semua jejak digital keberadaan perempuan itu, sebelum melangkah ke arah yang lebih jauh–menghapus memori kisah busuk keduanya dari kepala sang suami. Hati Darla seperti diremas-remas setiap mendapati jejak-jekak kemesraan suaminya dengan perempuan yang tidak lebih muda darinya tersebut.

Mulanya, Darla hendak memojokkan si pengusaha tambang karena hasil terapi sang istri menyatakan bahwa pengalaman mengerikan yang telah ia laporkan bukan isapan jempol belaka. Akan tetapi, lidahnya kelu saat pengusaha tersebut menjelaskan alasan tindakannya, dan juga menunjukkan beberapa lembar foto kemesraan istrinya bersama Dirly–suami Darla.

Serupa dengan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, bagi si pengusaha tambang, Darla yang dibakar cemburu sekaligus malu itu menyetujui rencana sang pengusaha. Menyiapkan data palsu terkait kesehatan mental istrinya.

“Baiknya mulai sekarang kita urusi pasangan kita masing-masing,” pungkas sang pengusaha.

Darla tidak menjawab. Saat itu dia tengah sibuk menata hatinya yang riuh oleh lolongan kepedihan. Dia sepakat mengenai menjaga pasangan masing-masing. Dia pun tidak peduli dengan apa yang akan pengusaha itu lakukan terhadap istrinya.

“Jangan sentuh suami saya. Dia urusan saya. Saya akan berikan Monika padamu. Ya, kita urus pasangan kita masing-masing,” ucap Darla, lebih seperti meracau pada kalimat terakhir.(*)

Balikpapan, 14 Oktober 2021.

Catatan kaki:

¹Waham ialah salah satu tanda yang bisa ditemukan pada pengidap skizofrenia, atau bisa juga dipahami sama dengan delusi.

²Waham erotomania, penderita waham yang merasa jika ada orang lain yang mencintai dirinya. Biasanya, orang yang dianggap mencintai dirinya adalah orang dengan status lebih tinggi. Namun, bisa juga orang tidak dikenal.

RAY EURUS, penulis pemula asal Balikpapan yang gemar menikmati secangkir kopi di pagi hari. Penulis aktif mengirimkan cerpen-cerpennya pada halaman website LokerKata.com. Silakan kunjungi website terkait, atau sapa penulis pada akun Facebook Ray Eurus dan akun Instagram @rayeurus.

Komentar juri, Berry:

Penulis menemukan ide cerita yang jitu untuk mengeksekusi tema, sekaligus mengambil langkah berbeda dari kebanyakan. Tak ada pembunuhan dan tokoh psikopat di sini. Mereka hanyalah orang biasa yang terjebak dalam situasi yang tak mengenakkan: ketika pengkhianatan tak cukup untuk meremukkan cinta yang kadung ada. Tokoh yang awalnya berniat memeras pun berbalik menjadi partner in crime ketika dihadapkan pada kenyataan yang pahit itu.

Ending yang menggantung pun memberikan efek yang memancing antisipasi. Bukankah sisi yang kelam dan jahat itu menyeruak dari luka yang tak mungkin sembuh?

 

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply