Sebuah Usaha Mengisi Perut

Sebuah Usaha Mengisi Perut

Sebuah Usaha Mengisi Perut

Oleh : Siti Nuraliah

 

Sudah hampir lima bulan pemuda itu menjadi pengangguran di kampungnya. Hari-harinya dia habiskan hanya dengan tidur sepanjang siang dan terbangun saat matahari tenggelam. Meskipun terkadang dia bisa juga tidur sepanjang malam dan bangun ketika hari sudah panas. Suryana, namanya.

Sore hari pukul enam kurang tiga puluh menit, suara selawatan sudah terdengar saling bersahutan dari corong-corong beberapa musala di Desa Karangan. Desa ini terkenal cukup religius dan masyarataknya pun rukun. Namun, belakangan ini, isu pagebluk sudah sampai ke Kampung Baru—salah satu kampung di Desa Karangan.

Abah Manaf beberapa kali mengganti kanal televisinya, yang disiarkan seragam, Ribuan pekerja buruh di-PHK, dan banyak karyawan yang dirumahkan. Baginya tidak ada pengaruh apa-apa, sebab di kampungnya masih normal seperti biasa: pergi ke sawah, menanam sayuran di kebun hingga menjualnya ke pasar tradisional.

“Kondisi di kota sudah separah itukah, Bah?” Bu Nining, istri Abah Manaf, muncul dari dapur, matanya menatap televisi dengan saksama.

“Iya, sepertinya begitu, Bu!”

“Mudah-mudahan penyakit mematikan itu tidak sampai ke kampung kita,” sambung Bu Nining.

“Sudah, Bu, matikan televisinya! Abah mau ke musala!”

Saf salat berjemaah Magrib hari itu tidak begitu banyak seperti biasanya. Hanya ada dua baris saja. Selesai salat, beberapa tetua di kampung tidak langsung pulang, ada yang harus dimusyawarahkan.

“Kampung kita sudah mulai tidak aman.” Sebagai ketua RT, Pak Dodo membuka pembicaraan. Dia melanjutkan ucapannya, “Ada laporan, kalo dua malam ini berturut-turut warga kecolongan binatang piaraannya.”

“Bukan cuma itu, Pak RT, masalah lain juga ada, yang kerja di kota pada pulang ke kampung. Sedangkan saya lihat di berita, mereka yang datang tidak boleh langsung kumpul sama keluarganya. Takut bawa penyakit!” Ketua karang taruna bicara dengan mimik wajah serius.

Abah Manaf hanya menyimak, sambil manggut-manggut. Beliau bukan tidak ingin mengemukakan pendapatnya, hanya masih mencermati setiap masalah yang dilontarkan jemaah yang lain.

“Kenapa saya tidak diberi tahu, kalau yang kerja di kota sudah pada pulang kampung?” sanggah Pak RT.

“Waah … sudah semingguan lebih, Pak RT. Yang lebih serius lagi, si Karman yang pernah mencuri motor itu, dia dipulangkan dulu dari penjara, saya jadi curiga yang beraksi dua malam kemarin mencuri kambing itu, dia!” jemaah lain menimpali.

“Sudah! Sudah! Ini masalah kita semua, kita harus cari solusinya bersama-sama.” Abah Manaf mulai angkat bicara.

“Untuk masalah pencurian, kita jadwalkan kembali pos kamling, selama ini karena kita merasa kampung kita aman, pos ronda jadi dikosongkan. Yang kedua, masalah beberapa orang yang pulang dari kota, ini bisa kita musyawarahkan dengan bagian kesehatan. Kita tidak bisa serta-merta  untuk masalah yang kedua ini.”

Jika Abah Manaf sudah bicara, jemaah lain akan bungkam. Mereka sangat menghormati tetua yang satu ini. Nasihatnya selalu bisa diterima. Musyawarah berjalan cukup lama, sampai waktu isya. Setelah salat berjemaah, mereka baru pulang ke rumah masing-masing.

***

Dua hari yang lalu, hari Minggu merupakan “Hari Pasar” di Kampung Baru, pasar akan lebih ramai dari biasanya. Suryana hari itu tidak tidur siang, diajak emaknya menjual hasil sayuran yang tidak seberapa. Dia tertawa sepanjang perjalanan, melihat daun-daun mengajaknya bicara.

“Yan!” Emaknya membentak. Suryana terdiam. Kemudian dia memainkan jari-jarinya, dan berbicara tidak jelas.

“Berapa harga satu ikat kangkung ini, Mak?” Satu pembeli menghampiri mereka, setelah satu jam sayuran Mak Ijah diletakkan di atas  meja yang terbuat dari bambu.

“Dua ribu saja, Bu!” jawabnya.

“Saya ambil lima, deh!”

Mak Ijah, segera memasukkan lima ikat kangkung itu ke dalam kantong plastik hitam, memberikannya kepada pembeli serta menerima dua lembar uang lima ribuan.

Sampai matahari sudah di atas kepala,  kangkungnya tidak berkurang lagi selain hanya lima ikat tadi yang sudah terjual. Bentuknya sudah tidak segar, daunnya sudah layu. Akhirnya Mak Ijah memutuskan untuk membereskan sayurannya. Suryana menatap emaknya dengan mata berkaca-kaca.

“Ayo, pulang!” Dia mengajak Suryana yang masih menatap sayuran yang menumpuk di di dalam keranjang.

***

Pos ronda sudah satu minggu kembali diaktifkan. Pemeriksaan dari bagian kesehatan untuk warga yang pulang dari kota juga sudah mulai berjalan.

Malam ini, bagian Sobri, Jaka, dan Agung yang berjaga.

Pukul dua dini hari, suara ayam berkeok-keok memecah keheningan malam. Jaka menangkap satu kelebat bayangan hitam, seperti orang yang sedang berlari.

“Gung! Gung! Bangun, Gung!” Jaka menepuk-nepuk lengan Agung dengan mata yang tidak lepas dari bayangan yang menyelinap ke belakang kandang ayam milik saudara sepupu Karman.

 

Cahaya bulan tanggal 13 Hijriah membuat penglihatan sedikit bisa melihat remang-remang warna baju yang dipakai oleh orang yang dicurigai mereka.

Agung terlonjak dengan cepat, tangannya kebat-kebit seperti jurus silat.

“Mana malingnya?” Sambil membetulkan sarung yang disoren, Agung mengambil senter. Sobri ikut terbangun, mencari-cari sandal di kolong pos ronda.

Ketiganya mengendap-ngendap mengikuti ke mana arah kelebat bayangan itu berjalan. Semakin dekat, Sobri yang kenal betul baju yang dipakai orang itu langsung hafal, meski yang dia lihat hanya punggungnya.

“Wah… si Karman itu, Bang Jaka! Tega banget dia, ayam saudaranya diembat juga!”

“Jangan berisik! Kamu ke sebelah kiri, Agung ke sebelah kanan!” Jaka memberikan instruksi sambil tangannya menunjuk-nunjuk.

Tidak menunggu lama, kedua tangan Karman berhasil dibekuk ke belakang,  kepalanya dihantam dengan senter oleh Jaka. Karman terhenyak, tubuhnya terhuyung-huyung.

“Naahhh … kena juga kamu. Hah? Kamu pikir kamu gak bakal ketahuan?”

“Dasar maling!” Satu jotosan Agung mendarat di pipi kanan Karman.

Mulut Karman mangap-mangap. Tangannya menunjuk-nunujuk ke semak-semak bambu. Sobri menyadari kejanggalannya, tidak ada ayam di tangan Karman. Dia mengikuti ke mana arah telunjuk Karman menunjuk. Sosok lain sedang melahap seekor ayam mentah-mentah.

“Bang … setop, Bang!” Sobri menatap lekat seseorang yang berjongkok dengan tangan penuh darah.

“Suryana!” (*)

Banjarsari, 6 Juni 2020

 

Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis amatir yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply