Oleh : Ismi Andri
Berteman dengan Nina, bukanlah hal yang mudah. Perempuan berkacamata minus itu sering berubah suasana hati dalam satu hari. Kadang manis seperti madu, kadang pula galak seperti macan. Dia judes seperti rujak dengan cabai sepuluh dan cerewet seperti petasan.
Pertemananku dengan Nina dimulai sejak aku menjadi tetangga depan rumahnya. Nina kecil sangat dekat denganku karena dia adalah anak satu-satunya. Usiaku yang lima tahun lebih tua dari Nina, membuat orangtuanya sangat memercayaiku. Setiap kali ada acara, aku selalu mengantar perempuan manis itu ke tempat acara berlangsung. Awalnya aku tidak menyukainya, tetapi seiring berjalannya waktu, menemani Nina menjadi hal yang menyenangkan. Namun, tidak buat Nina, dia hanya menganggapku sebagai teman, sahabat, atau kakak. Tidak ada yang romantis.
Nina suka sekali mentraktirku makan. Padahal aku sudah lebih dulu bekerja dibanding Nina, bahkan bisa dibilang penghasilanku jauh lebih banyak darinya.
“Rezeki mah udah ada yang ngatur. Enggak usah takut.”
Nina bukanlah anak orang kaya. Sang Ayah hanyalah pegawai kontrak di sebuah perusahaan outsourcing. Nina harus bekerja di sebuah bimbingan belajar untuk membayar uang kuliahnya.
Hingga suatu hari Nina bercerita tentang Gilang, lelaki yang menolongnya saat dia kecopetan di busway. Pria itu telah membuat Nina jatuh cinta. Setidaknya itu yang aku tangkap dari ceritanya. Bahkan aku melihat binar di matanya dan pendar merah di pipinya tiap kali dia bercerita tentang Gilang.
Ada yang memukul-mukul jantungku dan rasanya sangat sakit tiap kali Nina bercerita tentang lelaki itu. Aku cemburu.
“Dia lelaki baik, bertanggung jawab dan penyayang.”
Tentu saja, jika belum menjadi kekasih, kumbang cenderung bersifat baik untuk menarik perhatian. Pujian yang sering dilontarkan Nina ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi sekarang.
“Gilang menghilang, dia tidak mau membalas pesanku atau menjawab teleponku.”
Kali ini, Nina tidak tersenyum dan tidak ada binar di matanya.
“Dia tidak memblok akun media sosialku atau memblokir WhatsAppku, hanya saja … dia mengabaikanku.”
Aku masih ingat pertama kali aku berkenalan dengan Gilang. Lelaki itu masih kuliah tetapi beda jurusan dengan Nina. Dia orang yang menyenangkan, dapat mengubah suasana canggung menjadi terasa santai.
Nina duduk di sampingku di dalam busway yang kosong, dia tidak bersuara. Matanya hanya memandang ke luar jendela. Gadis berwajah manis itu berkali-kali menghela napas. Aku khawatir, Nina akan mengalami patah hati yang sangat lama.
Namun, ternyata dugaanku salah. Pagi ini Nina tersenyum padaku saat berpapasan di depan rumahnya.
“Nanti siang makan bakso, yuk.”
Aku mengangguk.
Setiap kali memesan bakso, dia selalu meminta bihun dan bakso kecil. Uap dari mangkok bakso masih mengepul saat Nina memasukkan potongan bakso ke mulutnya. Kuah yang berwarna merah kehitaman karena banyaknya saus, sambal, dan kecap bercampur membuat keringat membasahi dahinya. Ditambah suasana warung bakso tanpa AC yang padat oleh pengunjung.
Keingintahuanku tentang perasaannya hari ini sepertinya harus ditahan. Aku tak ingin membiarkan kegiatan makan bakso ini berubah menjadi hambar.
“Kalau jodoh pasti ketemu, kan?”
Kata pertama yang Nina ucapkan setelah dia menghabiskan bakso super pedas itu.
“Aku cukup berdoa biar Tuhan yang atur semua.”
Kalimat yang cukup tegas untuk seorang Nina yang kukenal tidak percaya diri. Namun, perempuan memang makhluk yang susah ditebak. Mengapa dia selalu menggunakan perumpamaan jika ingin mengutarakan sesuatu? Mengapa tidak langsung saja berkata, aku sakit hati atau aku sedih?
“Tenang, aku enggak pa-pa, kok.”
Luar biasa. Jika perempuan lain menunjukkan kesedihan dengan cara bersedih, tidak dengannya. Hanya saja Nina terlalu banyak tertawa hari ini, bahkan untuk hal-hal yang tidak lucu. Kurasa perempuan itu sedang menutupi rasa sakitnya. Tidak rela rasanya melihat makhluk Tuhan yang diam-diam aku cintai ini terluka.
***
“Mas Yudha, kenapa mukanya jadi gini?”
Pertemuan pertama kami setelah makan bakso lima hari yang lalu, membuat raut wajah Nina berubah panik. Di bagian pelipis kiriku ada perban melintang, serta sedikit luka di ujung bibir yang bengkak.
“Abis berantem?”
Pertanyaan Nina hampir saja membuatku membuka mulut. Hanya saja, sebelum pertanyaan itu dijawab, sebuah jawaban keluar dari mulut Nina.
“Kan udah aku bilang, enggak usah tanya ke Gilang. Aku udah anggap urusan dengannya selesai.”
Kali ini suara Nina tersendat. Dia membuka kacamatanya dan menghapus air mata yang menetes. Aku merasa sesuatu menyusup di dadaku. Ternyata Nina sangat peduli kepadaku.
Senyumku mengembang seperti adonan roti yang siap dibentuk. Akhirnya Nina mau mengubah status pertemanan kami menjadi sepasang kekasih. Kurasa semua pengorbananku sebanding dengan kebahagiaan yang kuraih sekarang.
Seandainya Nina tahu, mengapa Gilang menjauhinya tentu dia tidak akan mau menjadi kekasihku.
“Mas Yudha, aku butuh uang buat biaya operasi Ibu. Tolong, Mas.”
Permohonan Gilang memberiku ide gila yang muncul begitu saja. Kuberikan sejumlah uang yang Gilang butuhkan dengan syarat dia menjauh dari kehidupan Nina. Tabungan hasil kerjaku sebagai seorang manajer membuatku bisa melakukannya.
Awalnya Gilang menolak, tetapi ibu tetaplah ibu. Sebagai anak yang sudah tidak mempunyai ayah, tugas Gilang adalah menjaga kesehatan sang ibu. Nina benar, Gilang adalah lelaki baik.
Selanjutnya aku juga rela membiarkan wajahku dipukul oleh orang-orang suruhanku. Aku bersandiwara hanya untuk meyakinkan Nina bahwa aku peduli padanya.
Tinggal satu langkah lagi keinginanku: menjadikan Nina sebagai istri. Tarikan di ujung bibir kanan sebagai tanda aku merasa puas. Semoga Gilang tidak pernah muncul di depanku dan Nina lalu membuka semua rahasia ini.
***
Jakarta, 04 Februari 2022
Ismi Andri, panggil saja Ismi. Penyuka kopi hitam tanpa gula. FB ismii ismii
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/4fq2flN