Sebuah Pilihan

Sebuah Pilihan

Sebuah Pilihan

Oleh: Jemynarsih

 

 

Sardi, lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menghisap tembakau dalam-dalam. Kepulan asap keluar tiap kali ia mengembuskan napas. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada secangkir kopi tanpa gula yang menemaninya menikmati malam. Pandangannya lurus pada bangunan tingkat lima yang tak jauh dari tempatnya duduk. Di mana suara-suara walet berkicau melalui pengeras suara di tiap lubang bangunan itu.

 

Satu minggu sejak kepulangannya dari bekerja menambang emas, ia masih menganggur. Sardi enggan kembali lagi ke sana. Sebagai buruh tambang yang jauh dari kampung halaman, ia merasa berat meninggalkan anak-istri. Selain itu, berbulan-bulan bekerja meninggalkan rumah, tapi tak banyak uang yang ia dapatkan. Setibanya di rumah uangnya hanya tersisa beberapa lembar. Belum lagi digunakan untuk membayar utang. Memikirkannya membuat kepala Sardi terasa pening.

 

“Bang, masuk! Ngapain lama-lama di luar?”  tegur Mariani, istri Sardi dari balik pintu.

 

“Cari angin, Neng,” jawab Sardi.

 

Tak ada lagi balasan dari Mariani, sepertinya ia sedang menidurkan buah hatinya.

 

Sardi menyalakan satu batang lagi dan menghirupnya dalam-dalam. Malam kian larut, sepoi angin malam membuat badan terasa dingin menusuk tulang.

 

Sardi bangkit dari kursi panjangnya. Membuang sembarang bungkus rokok yang telah habis, lalu bergabung bersama Mariani menyusul ke alam mimpi.

 

***

 

“Bang, tabungan kita habis, Bu Sauda sudah menagih utang. Neng malu, Bang, jadi omongan tetangga,” ucap Mariani, di suatu pagi yang mendung.

 

Sardi yang sedang makan mendadak tak berselera. Ia tahu urusan nafkah adalah tugasnya, tapi tidak bisakah Mariani menunggunya barang sejenak. Menunggu ia selesai menikmati sarapan paginya, dengan lauk tahu goreng yang asin rasanya. Sardi mengunyah makanan dengan pelan. Mendiamkan saja istrinya yang pagi-pagi sudah mengeluh.

 

Mariani menghela napas kasar. Lelaki di sampingnya itu tak jua bersuara. Tiba-tiba terdengar rengekan dari dalam kamar, membuatnya beranjak meninggalkan Sardi dalam keheningan.

 

Tampak gadis kecil berusia tiga tahun sedang menangis karena tak menemukan sang ibu di tempat tidur. Ia terduduk dengan wajah yang dipenuhi air mata. Mariani membuka jendela kamar, secercah cahaya matahari menerobos masuk dari jendela. Diraihnya sang anak. Aroma pesing menyebar ke penjuru kamar. Sebenarnya, Mariani ingin sekali membeli diaper agar ia tidak lelah harus banyak mencuci. Namun, kondisi perekonomiannya tak seberuntung tetangganya yang kaya itu. Mariani hanya bisa berandai-andai.

 

Gadis kecil dengan rambut keriting yang tampak kusut dan sesekali menguap itu menyandarkan kepalanya pada dada sang mama. Tampak  jejak air mata masih membekas di kedua pipinya yang tirus. Mariani mengambil handuk dan peralatan mandi, lalu berjalan menuju sungai yang terletak di belakang rumah.

 

Sardi telah selesai sarapan, diletakkannya  piring bersama perkakas kotor lainnya, lalu pergi keluar. Hari ini, ia harus mendapatkan pekerjaan. Jika tidak, Mariani akan bertambah cerewet.

 

Sardi mengendarai roda dua dengan pelan, sebab motor tua itu tak mampu lagi menarik gas lebih kencang. Motor yang ia beli dengan harga murah setahun lalu itu menjadi satu-satunya harta yang ia miliki.

 

Jalanan tampak lengang, Sardi belok ke kiri menuju rumah bercat biru. Dengan langkah pelan ia masuk ke rumah. Tampak lelaki paruh baya duduk di kursi sedang menyeduh kopi.

 

“Pak, ada kerjaan enggak?” tanya Sardi sembari duduk di samping sang ayah.

 

Darmi menatap Sardi, anak sulungnya, dengan sendu. Sebagai ayah, Darmi merasa gagal mendidik sang anak. Lihatlah sekarang, Sardi menjadi pengangguran padahal ia harus menafkahi keluarganya.

 

“Pak, kok malah ngelamun,” tegur Sardi.

 

Darmi tersentak. Ia tersadar dari lamunannya, lalu menghela napas berat. “Enggak ada, Nak,” jawab Darmi seraya menghisap tembakau. “Andai, kamu nurut sama Bapak, enggak mungkin hidupmu susah seperti ini. Lihat, teman-temanmu itu, sudah ada yang jadi pengusaha,” keluh Darmi kemudian.

 

Sardi melengos, enggan menatap sang ayah. Ada rasa bersalah di dadanya. Sardi tahu ia gagal sebagai anak, tak bisa mewujudkan impian sang ayah. Namun, tak bisakah ayahnya tak membanding-bandingkan kehidupannya dengan orang lain? Sardi sedang bertanggung jawab dari risiko yang ia pilih. Ia hanya butuh dukungan bukan penghakiman yang menyudutkannya. Sardi muak mendengar perkataan Darmi. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan Darmi yang masih menyesali kisah di masa lalu.

 

Di teras rumah, tampak Mariani sedang berbincang dengan tetangganya. Sardi yang perasaannya masih kalut tak menyapa sang istri. Ia segera masuk menuju kamar, merebahkan diri. Kepalanya terasa pening kala teringat keluhan Mariani.

 

Sardi berbaring dengan gelisah, lantas bangkit dari ranjang. Ia segera beranjak keluar kamar. Sardi butuh ketenangan. Dicarinya rokok di penjuru ruang. Namun, tak jua ia dapatkan.

 

Sardi menghampiri Mariani yang sedang di teras. Wajahnya tampak kusut, rambut yang mulai panjang belum juga ia potong. Sardi terlihat lebih tua dari usianya.

 

“Neng, minta uang buat beli rokok,” pinta Sardi kepada Mariani.

 

“Enggak, ada Bang. Rokok yang semalam sudah habis?” tanya Mariani. Ingin sekali ia memarahi suaminya itu agar berhenti merokok.

 

Sardi menghela napas berat. Ia berjalan ke belakang rumah menuju sungai. Kemudian ia duduk di dermaga seraya memandangi burung-burung walet mengitari bangunan yang berdiri kokoh. Sardi tersenyum tipis, tak sabar menunggu malam tiba. Mengambil tiga puluh atau lima puluh sarang walet dari gedung sebelah milik tetangganya itu, dan menjualnya ke kota tentu tak ‘kan ketahuan.

Palangka Raya, 11 April 2021

 

Jemynarsyh gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar aksara.

 

Editor: Inu Yana

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply