Sebuah Permintaan Terakhir

Sebuah Permintaan Terakhir

Sebuah Permintaan Terakhir

Oleh: Inyong

 

Aku menanggapi dengan senyum termanis ketika Mas Juna, suamiku, mengutarakan niatnya untuk menikah lagi.

“Apa dia perempuan baik-baik?” tanyaku, berusaha tetap bersikap lembut dan tak menunjukkan amarah.

Lelaki yang telah menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangga kami selama tiga belas tahun itu mengangguk, lalu menunduk. Ia tak berani menatapku seperti biasanya.

“Apa dia cantik?” Aku kembali bertanya. Dan lagi-lagi ia menjawab dengan anggukan saja, tanpa suara, tanpa sepatah kata pun.

Ke mana suara lembutnya yang selalu bisa membuat hatiku damai dan terlena? Apa telah dirampas pula oleh perempuan itu, sama seperti ia merampas cintaku?

Detik jarum jam terdengar jelas di tengah kesunyian malam. Aku melirik sekilas ke atas, melihat jam dinding yang telah menunjukkan bahwa waktu sudah sangat larut, pukul 01.30 WIB.

“Besok kita ke rumah perempuan itu. Tapi agak siangan, ya. Aku mau selesaikan pekerjaan rumah dulu, juga nyiapin apa yang akan kita bawa ke sana nanti.”

Kembali, Mas Juna hanya mengangguk. Seharian ini, ia lebih banyak diam. Tak ada rayuan yang ia lontarkan. Padahal, itu sudah menjadi kebiasaannya semenjak awal menikah.

Aku merebahkan tubuh membelakangi lelaki berparas tampan itu, meringkuk dan bersembunyi di bawah selimut. Permintaannya begitu tiba-tiba sehingga aku belum sempat mempersiapkan diri.

Di balik selimut, air mataku luruh dengan suara yang tertahan sekuat tenaga. Aku bukan wanita lemah. Aku kuat. Dengan punggung tangan, kuhapus air mata yang tersisa.

Usai ikrar suci pernikahan dilafalkan dulu, di dalam kamar pengantin yang bertabur bunga mawar dan melati yang menguarkan harum semerbak, aku memang pernah bilang bahwa ia kupersilakan jika ingin membagi cintanya dengan yang lain. Namun, haruskah sekarang waktunya? Mengapa hati ini terasa sakit, seakan-akan ada yang menusuk-nusuk di dalam sini. Ataukah sebenarnya aku tak pernah sungguh-sungguh rela saat mengucapkannya dulu?

Bermacam pertanyaan berjejalan memenuhi kepala, hingga akhirnya aku terlelap karena lelah memikirkan hal yang begitu mengejutkan.

***

Ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya bersamaan dengan alarm dari ponsel yang berteriak nyaring. Aku bergegas membereskan pekerjaan rumah agar bisa hadir di acara yang telah direncanakan tempo hari. Berkunjung ke rumah Chika, gadis yang telah mencuri separuh jiwaku, suamiku. Entah di mana suamiku bertemu dengan perempuan itu.

Mas Juna membantuku tanpa diminta. Pekerjaan pun selesai lebih cepat dari waktu yang diperkirakan. Aku menatapnya lekat-lekat, mencari sesuatu di dalam manik matanya, meski tak tahu apa yang kucari di sana.

Beberapa detik mata kami baradu. Di dalam rongga dadaku merasakan sesuatu. Resah, gelisah, sedih, kecewa, cemburu, semua berbaur menjadi satu.

“Pihak keluarganya sudah dikabari rencana kedatangan kita?” tanyaku, mencoba meredam gemuruh di dada yang siap mendatangkan badai, jika aku mau. Namun tidak. Aku memilih memegang ucapanku dulu, mempersilakan suamiku membagi hatinya dengan yang lain.

“Justru itu rencana mereka. Aku hanya menunggu persetujuanmu, Dek.” Mas Juna berkata lirih. Suaranya seperti menunjukkan keraguan, atau mungkin rasa tak enak kepadaku.

“Baiklah. Ayo, segera berangkat!” ucapku, penuh semangat.

Ya, semangat palsu. Itu hanyalah kamuflase agar aku terlihat seperti istri yang baik di hadapannya. Ia tak pernah tahu, di dalam diriku ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan sekali lagi, aku masih memilih untuk mengendalikannya.

Aku memakai gamis hijau dengan hijab senada. Di ujung lengan terdapat bordiran bermotif bunga kesukaanku, melati. Kusapukan bedak tipis-tipis di wajah yang kusam. Bibir terpoles lipstik berwarna cerah agar tampak lebih cantik.
Sementara itu, Mas Juna mengenakan jas hitam yang ia pakai untuk melamarku, dulu. Lelaki yang kucintai itu tersenyum getir.

“Ayo jalan!” ajakku sembari meraih parsel berisi macam-macam barang yang aku susun sedemikian rupa untuknya. Untuk Chika, gadis yang Mas Juna sukai dan sebentar lagi akan dinikahi, dengan restu dariku.

Kami sampai di sebuah rumah sederhana. Dindingnya berlapis lumut. Halamannya luas, tetapi tampak tak terurus. Rumput tumbuh tinggi tak beraturan. Bunga-bunga sebagian layu. Daun-daun kering berserakan. Aku menutupi wajah dengan ujung hijab saat embusan angin menerpa, menerbangkan dedaunan kering dan debu.

Aku dan Mas Juna saling pandang. Kemudian ia mengangguk dan menggandengku, mengajak masuk ke rumah yang selayaknya rumah tak bertuan. Kueratkan genggaman, jantungku berdebar tak beraturan.

“Mas, rumahnya serem. Mas yakin nggak salah alamat?” tanyaku, setengah berbisik.

“Nggak. Ayo, masuk! Chika udah nungguin di dalam,” sahutnya.

Derit pintu membuatku terkejut. Seorang lelaki dengan rambut yang seluruhnya telah memutih muncul, padahal kami belum mengetuk ataupun mengucap salam.

“Mari masuk, Nak Juna,” ucapnya. Ia lalu menyingkir dari pintu, mempersilakan kami masuk.

Mas Juna menatap lelaki tua itu.

“Chika ada di kamar, menunggu kalian sejak pagi.” Tanpa diminta, lelaki tua itu memberi tahu.

Kami memasuki kamar. Di sana, terbaring seorang wanita bertubuh kurus. Wajahnya pucat, tampaknya sedang kurang sehat. Di sampingnya, duduk seorang gadis yang mengenakan gamis dan hijab besar, hingga menutup sempurna semua bagian tubuhnya yang tak boleh terlihat.

Jadi, itu Chika? Hatiku sedikit senang. Ternyata Mas Juna tidak salah pilih.

Aku mengedarkan pandangan, melihat dinding kamar tak berwarna dan terdapat banyak lubang di setiap sisinya. Hanya ada satu dipan kecil tempat wanita tua terbaring, satu meja kecil, dan tiga kursi plastik yang biasanya ada di warung-warung pinggir jalan.

Tak lama kemudian, beberapa orang datang. Kami diperkenalkan. Mereka adalah penghulu dan empat orang saksi. Dua sebagai saksi untuk pihak mempelai pria, dua lainnya untuk saksi mempelai wanita.

Pernikahan sederhana berlangsung di ruang tamu dengan khidmat. Tak ada tamu undangan, tak ada hidangan, juga hiburan. Aku menyaksikan prosesi itu dalam diam, duduk menepi di sudut ruangan. Entah perasaan apa yang aku rasakan, tak dapat dijelaskan.

Ijab dan qabul telah selesai. Chika resmi secara agama menjadi istri Mas Juna. Kedua pengantin baru itu menghampiriku. Mataku mulai memanas. Tidak! Aku tak boleh menangis. Aku harus kuat.

Chika mendekatiku, lalu bersimpuh. Ia memeluk kedua lututku dan mulai menangis.

“Maafkan saya, Teh. Dan terima kasih telah mengizinkan saya menjadi bagian dari keluarga Teteh.” Suaranya bergetar, bahunya berguncang. Sementara aku hanya mematung.

Giliran Mas Juna mendekatiku, lalu memelukku. Ia pun menangis.
Ah … kalian bisa menjebol bendungan yang kubangun dengan susah payah!

“Terima kasih, Sayang. Mulai sekarang, Chika adalah tanggung jawab kita. Ini adalah permintaan terakhir ibunya. Aku tak mampu menolak.” Mas Juna berkata sambil bercucuran air mata.

Setelah itu, lelaki tua menghampiri dan berkata, “Chika, ibumu sudah pergi dengan tenang.”

Bekasi, 12 Agustus 2021

Inyong. Seorang ibu rumah tangga yang sedang senang belajar menulis.

 

Editor: Dyah Diputri

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply