Sebuah Perjanjian dan Lain-lain
Oleh: Imas Hanifah N
25 Cerpen Terbaik TL-17
Aku berjalan pelan, kemudian limbung. Aku jatuh dari ketinggian yang tak bisa kuperkirakan. Jatuh, sejatuh-jatuhnya. Di atas tumpukan kertas. Kertas yang banyak, penuh coretan dan memiliki banyak aroma.
Kutatap langit yang menampilkan gambar demi gambar. Shopia menikah. Ia tampak bahagia.
“Sejak kapan?”
“Apanya yang sejak kapan?”
“Sejak kapan kamu menghentikanku?”
“Sejak hari ini.”
Aku menatap waktu yang keheranan. Kemudian mengambil tali dan mengikatnya kuat-kuat.
“Diam di sana, ya. Diam. Aku harus pergi ke beberapa tempat.”
Waktu ketakutan, ia sepertinya tidak terima diikat seperti itu. Ia berusaha melepaskan diri.
“Kenapa begini?” tanyanya panik.
“Mengertilah, di atasmu, masih ada Tuhan.”
“Apa?”
“Aku sudah melakukan perjanjian dengan Tuhan. Dan Tuhan menyetujuinya. Jadi, sementara ini, kau tidak akan berguna.”
“Semudah itu?”
“Ada yang kupertaruhkan.”
“Apa?”
“Sesuatu yang sangat penting. Dan kamu, tidak perlu tahu.”
Setelah percakapan itu, aku ditelan tumpukan kertas dan terbangun di tengah kota. Aku segera beranjak dan kembali berjalan. Anehnya, waktu mengikutiku di belakang. Aku menoleh ke arahnya, lalu dengan cepat, berusaha mengikatnya kembali.
Waktu berontak. Di tengah kota yang sangat sepi, suara waktu menggema.
“Tidak bisa! Tidak boleh! Aku sudah kehilangan pekerjaanku. Sekarang, aku juga diikat? Itu tidak adil!”
“Ini hanya sebentar.”
“Tetap tidak bisa!”
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memilih kembali berjalan. Tali yang mengikat waktu kembali terlepas. Sial, ini jadi sedikit menjengkelkan.
“Ke mana?” tanyanya.
“Ke kantor pajak.”
“Buat apa? Bayar pajak?”
Aku menggeleng. “Bukan.”
Setelah itu, waktu tak bertanya lebih lanjut lagi. Mungkin ia bosan, karena jawabanku selalu singkat. Aku sedang tidak ingin bertanya balik atau membuat percakapan yang panjang dengan siapa pun. Tidak sekarang.
Kota hampa. Tidak ada sedikit pun pergerakan dari apa atau siapa. Waktu mengikutiku, tapi ia tak berjalan dengan semestinya. Ia yang seharusnya berjalan meninggalkanku, menjauh, bergerak cepat, kali ini, tidak. Kasihan, tapi ya, lebih baik begitu. Lagi pula, seharusnya ia tak mengikutiku terus.
Suasana kota sedikit lucu. Mobil-mobil tak melaju. Orang-orang tampak seperti sedang tidur, tapi sebagian besar membuka mata mereka. Daun yang akan jatuh, diam di udara. Belum sempat sampai ke tanah. Semuanya diam. Kecuali aku dan waktu yang sedang kehilangan pekerjaannya, katanya.
“Ke sana?”
Aku mengangguk.
“Siapa yang hendak kamu temui?”
“Tidak ada.”
Aku membuka pintu. Kantor pajak sebelum waktu berhenti, pastilah sedang ramai-ramainya. Kulirik kursi di sebuah ruang kerja. Di sana, di mejanya, terdapat sebuah nama. Shopia Lazuardi.
Aku diam selama yang aku inginkan. Menatap papan nama itu, membayangkan seperti apa Shopia menghabiskan waktunya. Apakah, ia memang tidak bahagia? Apakah ia benar-benar terluka karena aku?
Jika begitu, maka ….
“Shopia?”
“Iya, Shopia.”
“Ia gadis yang malang.”
Setelah mengatakan itu, waktu mendorong tubuhku. Aku terlempar ke dalam sebuah lorong. Lorong warna-warni. Aku merasakan ciuman di pipi, usapan lembut di kepala, serta bisikan hangat di dekat telinga.
Itu Shopia!
Lalu, waktu menarikku lagi. Secepat itu, semenyakitkan itu.
“Kau mempermainkan aku,” ucapku dengan perasaan benci.
“Tidak.”
Waktu berbohong. Jelas, tak ada siapa-siapa di sini selain aku dan waktu. Ia yang mendorong dan juga yang menarikku.
Aku menghela napas. Aku yakin, waktu pasti mengenal Shopia juga. Ia pasti ingin membuatku bertanya, kenapa ia menganggap Shopia adalah gadis yang malang. Akan tetapi, sungguh aku terlalu takut dengan jawabannya. Maka, kuputuskan untuk pergi dari sana.
Aku akan ke perpustakaan kota.
Ke sanalah aku harus berjalan. Menyusuri setiap jengkal tanah dan menepikan ingatan yang lain. Harus kutinggalkan segalanya, sedikit demi sedikit.
Kadang, aku penasaran sebenarnya. Ingin membelah dada Shopia, ingin melihat ke dalam hatinya. Siapakah aku di sana? Sebagai apa?
Maka, aku ke perpustakaan kota untuk menebak-nebak. Saat aku dan Shopia pertama kali bertemu, apakah itu adalah sesuatu yang ia syukuri? Atau ia menganggapnya sebagai kutukan?
“Kamu akan baca buku?”
“Tidak.”
Saat aku masuk ke dalam perpustakaan, aku melihat meja itu. Di sudut, dekat jendela. Dulu, aku dan Shopia pernah saling jatuh cinta. Di tempat itu, pertama kalinya dalam hidup, aku seperti menemukan berlian.
Wajah Shopia sangat manis. Aku tak bisa fokus membaca saat itu. Setiap halaman yang kubuka, hanya kubaca kalimat pertamanya saja. Selebihnya, kepalaku penuh dengan berbagai cara untuk memulai perbincangan.
Kenangan yang sangat menyenangkan. Entah bagi Shopia. Aku tidak tahu.
“Lagi-lagi, kau mempermainkanku.”
Waktu memasang wajah tanpa dosa. Aku menatapnya tajam.
“Inilah kenapa seharusnya kau diikat.”
“Aku sudah berhenti, aku tidak berdaya, tapi kau tetap mau mengikatku?”
“Diamlah. Sudah berapa banyak waktu yang kuhabiskan?”
Waktu tak menjawab. Kudengar ia mendengkus.
“Aku sedang tidak menghitung. Apa kau tidak bosan? Aku sangat merasa tidak berguna karena tidak melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Dan, bukannya kau menyuruhku diam?”
Aku terkekeh. “Jadi, kamu merasa tidak berguna karena tidak melakukan kewajibanmu sebagai waktu?”
Aku jadi ingat diriku sendiri.
“Iya. Aku hampa.”
“Tidak berguna, tidak melakukan yang seharusnya, sangat menarik,” kataku sambil tersenyum paksa.
“Aku jadi seperti mahluk bodoh.”
“Maaf, ya. Aku membuatmu jadi seperti ini. Tapi, ini tidak akan lama. Aku harus ke satu tempat lagi. Tempat terakhir. Setelah itu, kau bebas mau berjalan seperti biasanya. Tidak akan ada yang menghentikanmu lagi.”
“Baik.”
“Lagi pula, kamu tidak perlu mengikutiku.”
“Aku ingin mengikutimu.”
“Ya sudah, terserah.”
Bersama waktu, aku harus ke jembatan. Sedikit lebih jauh dari perpustakaan.
“Ini tempat terakhir?”
Aku mengangguk.
“Tidak ada Shopia.”
“Dia di dalam sungai itu,” ucapku sambil menunjuk ke bawah.
“Apa?”
“Dia mati. Bunuh diri.”
“Kenapa?”
“Kau tidak tahu?”
“Aku tahu. Aku hanya pura-pura.”
Aku menggeleng pelan sambil terkekeh lagi. Bisa-bisanya waktu bercanda untuk sesuatu yang bagiku amat menyakitkan.
Lama, aku menatap sungai itu. Perlahan, air mataku mengalir.
“Jika saja waktu itu, aku dan Shopia tidak bertemu, jika saja waktu itu, aku dan Shopia tidak pernah saling jatuh cinta. Jika saja waktu itu, aku dan Shopia tidak menikah. Jika saja waktu itu aku ….”
“Aku mengerti perasaanmu.”
Waktu menghiburku. Ia memelukku dengan erat, menepuk pundakku berkali-kali, mengucapkan berbagai kalimat-kalimat yang berisi motivasi.
Setelah tenang, aku menatap waktu.
“Terima kasih.”
“Untuk?
“Karenamu, aku bisa bertemu Shopia. Maksudku, karena kamu sudah mau memberiku kesempatan untuk menikmati setiap pertemuan dengan Shopia.”
“Tapi, Tuhan yang menyuruhku. Maksudku, itu memang sudah jadi tugasku.”
“Iya, aku hanya ingin berterima kasih.”
“Sekali lagi, aku mau tahu. Kenapa kamu menghentikanku? Apa yang kaupertaruhkan agar Tuhan mengabulkan keinginamu?”
Aku diam sejenak sebelum menjelaskan kenapa dan apa. Mungkin, aku memang harus memberitahunya.
“Kalau begitu, tidak jadi. Bukan Shopia yang malang, tapi dirimu.”
Setelah aku jelaskan semuanya, waktu berkata begitu.
Aku mengangguk. “Tidak apa-apa, itu sudah jadi keputusanku.”
“Ya, sudah. Ini tempat terakhir, kan?”
“Iya.”
Aku berjalan pelan, kemudian limbung. Aku jatuh dari ketinggian yang tak bisa kuperkirakan. Jatuh, sejatuh-jatuhnya. Di atas tumpukan kertas. Kertas yang banyak, penuh coretan dan memiliki banyak aroma.
Kutatap langit yang menampilkan gambar-gambar. Shopia menikah. Ia tampak bahagia. Akan tetapi, ia bukan menikah denganku.
Aku kembali ditelan tumpukan kertas-kertas itu. Ada nama-nama yang tertulis di setiap kertas. Shopia Lazuardi, kekasihku. Danika, ibuku. Rendra, ayahku, dan namaku sendiri.
Aku ditelan.
Aku, tidak pernah dilahirkan.
***
“Kenapa kamu ingin aku berhenti?”
“Hanya sebentar, aku ingin meyakinkan diriku kalau keputusanku memang tepat. Dan aku sudah yakin.”
“Memangnya, apa yang kau pertaruhkan untuk membuatku berhenti?”
“Hidupku.” []
Tasik, 2020
Imas Hanifah N. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996.
Komentar juri:
Kenapa cerita ini bisa dinikmati?
Karena idenya simple. Tapi bukan berarti ide simple selaras dangan karya receh. Tentu tidak. Karya Imas ini tetap berbobot. Di sini, penulis menggunakan narasi sederhana yang mudah dipahami. Dan tentu saja ini menjadi salah satu daya pikat bagi pembaca untuk mengikuti cerita hingga selesai. Selain itu showing juga menarik dan eksekusi plotting-nya juga keren.
Meski sejatinya cerita ini cukup suram, terutama di bagian ending, tetapi Imas bisa menceritakannya dengan jenaka. Misalnya saja ketika waktu “ngeyel” untuk terus mengikuti tokoh utama ke mana pun pergi. Dia tak mau ditinggal barang sejengkal pun. Padahal dalam kehidupan nyata justru sebaliknya, waktu yang melaju lebih cepat. Sedang manusia yang mesti terbirit-birit mengejarnya.
Ada juga adegan jenaka lainnya, ketika tokoh mesti mengikat waktu karena merasa risih diikuti terus. Lihat betapa lihai Imas membuat lawakan ini. Lawakannya tidak “gempar” tapi tetap bisa membuat pembaca tertawa atau setidaknya senyam-senyum sendiri.
Di sini, interaksi tokoh utama dan waktu sangat lentur. Keduanya layaknya dua saudara yang sering berkelahi tapi enggan berpisah. Atau semacam teman akrab yang saling lempar sindirian dan kelakar sebagai “gojekan” dan kemesraan.
Terakhir, Imas menutup ceritanya dengan sangat keren. Ia menceritakan bahwa si tokoh utama bisa menghentikan waktu dengan menukar nyawanya.
Uzwah Anna.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata