Sebuah Perjalanan
Oleh: Ning Kurniati
Desau sang bayu bersilir-silir terdengar di antara deru mesin mobil yang membelah jalanan. Perjalanan kali ini membawa ia pada suatu tempat wisata di Kalimantan Timur. Layaknya makanan sebagai kebutuhan penting dalam hidupnya, jalan-jalan juga begitu. Bukan hanya sekadar untuk hiburan, tetapi juga untuk menambah pengetahuannya.
Kali ini ia memilih salah satu tempat wisata yang sempat banyak dibicarakan beberapa tahun silam. Batu Dinding, batu yang terlihat seperti dinding. Baginya itu sangat menarik, selain jika memilih destinasi itu, akan banyak tempat lain yang bisa didatangi. Keinginannya begitu memuncak untuk berkunjung, tatkala impian untuk mengambil bidang studi geologi dilarang oleh orangtuanya. Geologi, layaknya beberapa bidang ilmu lain, dianggap remeh oleh kedua orangtuanya. Selain permasalahan gender bahwa perempuan itu harusnya kuliah yang aktivitasnya lebih banyak menghabiskan waktu dalam ruangan. Pun bila mengambil jurusan tersebut akan banyak menghabiskan waktu dengan lawan jenis. Lalu, bisakah mempertahankan hijab atau batasan hubungan sebagai perempuan di antara laki-laki.
“Kenapa begitu meremehkanku, Ma. Aku bisa jaga diri kok. Sudah pakai jilbab juga. Kan jilbab itu sebagai pelindung,” cercanya.
“Iya, sudah pakai jilbab. Tapi, itu tidak bisa menjamin keselamatanmu. Kamu akan rasakan apa yang Mama rasa kalo kamu sudah punya anak. Sudah, ndak usah membantah,” timpal ibunya seraya berlalu pergi.
Memahami karakter ibunya, seorang yang keras. Ia memilih meninggalkan rumah. Akan lucu rasanya bila ia terus berusaha memahami orang. Namun, diri sendiri tidak dipahami. Bukan untuk selamanya, hanya sementara, untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Selain itu, untuk mengevaluasi kembali diri sendiri, bahwa pilihannya tepat dan dia akan berkembang dengan ilmu yang kelak dimiliki. Bukan hanya untuk diri pribadi, tetapi bagi lingkungan dan kemajuan teknologi di masa yang akan datang.
Pada akhirnya di sinilah ia, dalam perjalanan ke Batu Dinding. Batu dinding di Indonesia bukan hanya di Kalimantan. Namun juga bisa ditemukan di Sulawesi Utara dan Riau, Sumatera. Alasan ia memilih Batu Dinding yang letaknya di Kalimantan adalah karena bentuknya memungkinkan ia bisa menikmati arunika dan swastamita di tempat yang sama.
Rembang petang, sebelum pukul lima ia sudah menjejakkan kaki di desa Bukit Merdeka. Desa yang mencakup batu dinding sebagai parsial dari wilayahnya. Beruntung ada kelompok dengan tujuan yang sama. Jadi, ia memutuskan memilih bergabung.
Setelah melalui jalanan yang menguras tenaga dengan tanjakan yang aduhai sampailah ia ke bukit Batu Dinding. Simpul senyum terulas dari wajah-wajah mereka begitu takjub melihat hamparan alam yang disuguhkan Sang Pencipta. Semua orang mengabadikan momen dengan mengambil potret diri, begitu juga dengan dirinya.
Ia mengamati seluruh area, meraba batu yang menjulang dari yang ditapakinya, mulai dari sisi atas lalu mendetail ke sisi kanan-kiri. Mimik mukanya seakan diliputi rasa penasaran. Dirinya tampak ganal-ganal menerka struktur yang menyusun hingga kakinya menginjak ujung batuan, membuatnya jatuh tergelincir ke jurang. Seketika jeritan melolong keluar dari mulutnya. Namun nahas, tidak ada satu pun yang menyadari hal tersebut.
Tubuhnya melayang, ia merasa seolah kematian sudah di depan mata. Malaikat maut akan mendatanginya. Lalu, bagaimana ibu juga ayah yang ditinggalkan? Bahkan mereka berdua tidak tahu keberadaannya. Matanya perlahan menutup seiring ia tidak lagi berada pada tempat yang sama.
Halimun semakin tebal menyaput bentala merayap, seakan ingin meliputi area bukit. Keanehan terjadi membuat pengunjung bertanya-tanya. Namun, hanya sebatas dalam benak. Tidak satu pun merapal pertanyaan kenapa cuaca berubah seketika—mendadak muncul kabut. Semuanya seakan tersihir, teratur mengayuh tungkai kembali pulang.
Waktu bergulir seiring arunika menghampar di ufuk timur. Kicau burung santer terdengar. Mereka berkelibangan dari dahan pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Kupu-kupu, ngengat dan serangga lain pun mulai melakukan aktivitasnya. Mulai dari hinggap pada mahkota bunga yamg sedang mekar lalu mengisap sari. Semua makhluk bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa ada yang melenceng atau lalai.
Matanya mengerjap-ngerjap. Jari-jarinya bergerak seiring ia menghidu wangi yang harum, tetapi terasa asing. Gurat senyum tergambar di wajahnya. Di sisi tempat dirinya dibaringkan seorang lelaki memilih diam, mengamati perempuan yang tampaknya sudah siuman. Namun, kesadarannya ganal-ganal belum kembali.
Menit demi menit berlalu. Namun, perempuan itu belum juga membuka mata. Lelah menunggu, akhirnya si laki-laki berdeham mengeluarkan suara khasnya. Sontak sang gadis bangun dan terduduk menoleh mencari sumber suara. Setelah mendapati seorang lawan jenis tengah duduk begitu dekat dengannya, ia terlonjak kaget. Menatap heran orang tersebut dengan kalimat tanya yang berkelebat dalam benak. Perlahan kesadarannya pulih kembali.
“Aku di mana? Apa ini sudah di akhirat?” tanyanya.
Mendapati pertanyaan yang terlontar seperti itu sontak si lelaki tergelak. Ada-ada saja, batinnya.
“Hei, jawab. Apa kau malaikat? Kau malaikat Mungkar atau Nakir?”
“Bukan keduanya.”
“Lalu, apa?”
“Manusia, sama sepertimu.”
“Aah,” sergah si perempuan. “Kok bisa?”
“Yah, bisa. Kenapa tidak?”
“Tapi kan, aku … bukannya jatuh dari ….”
“Iya, tapi kau selamat. Masih bernapas, kan?”
“I-ya.” Mulutnya terbuka. Wajahnya menegang, diiringi alis yang bertaut. Kemudian kepala dianggukannya. Namun, di sisi lain ia masih mencerna situasi yang sedang dihadapinya. “Lalu, di mana aku?”
“Di tempatku.”
“Iya, aku tahu. Tapi na—”
“Kau tidak boleh keluar sama sekali dari rumah ini.”
“Kenapa? Aku mau pulang.”
“Pulang? Bagaimana caramu?”
“Maksudnya?”
“Lihat kemari!” Lelaki tersebut mengangkat tangan menjulurkan telunjuk mengarah ke depan.
Gadis itu pun menyibak selimut, beranjak dari peraduan. Pelan ia ayuhkan tungkai hingga mendekati sosok lelaki penolongnya. Pertanyaan berentet memenuhi batok kepalanya. Matanya membelalak, dengan mulut yang membentuk huruf O. Wajahnya seketika pucat. Otot-otot di sekujur tubuhnya seakan lemah, melemah lalu ia luruh, terjatuh, terduduk.
“Aku pasti bermimpi.”
“Tidak, kau tidak bermimpi.”
“Mana mungkin!” Ia menempeleng pipinya sendiri.
Tawa pemuda di sampingnya menggema. “Tidak usah kaget begitu! Tapi wajar sih. Kau ada di dunia ilafi. Ila-fi, yah … ilafi.”
Selanjutnya bunyi gedebuk terdengar, ia pingsan.
***
Satu putaran telah dilalui oleh jarum jam. Sinar sang surya semakin meninggi, terik. Namun, cuaca dalam rumah kaum ilafi. Tetap lembab dan nyaman. Hal itu menjadi musabab si gadis seperti tertidur.
“Lalu apa bedanya tertidur dengan pingsan? Gadis ini benar-benar ….”
Mengesah pelan, perlahan kelopak matanya membuka. Seakan mengulang adegan yang sama sang gadis bingung kembali. Seakan ingin membuka percakapan dengan kata “Di mana aku?”
Tahu kata yang akan keluar dari sang gadis dengan hanya memperhatikan mimik muka, lelaki itu pun menampangkan ekspresi tegap, muka serius dengan tangan bersedekap di dada. Lagi, mendapati lelaki asing ia mengernyit, tetapi urung mengeluarkan tanya seraya ingatan berkelebat kembali, pulih. Seolah masih tidak percaya perempuan itu pun tertekur. Meratapi nasib, yang entah ia merasa bak di negeri dongeng.
“Dunia ilafi itu apa?” tanyanya dengan suara yang nyaris hanya desisan.
“Dunia manusia, hanya saja …,” kalimatnya menggantung. Berpikir ulang atas tindakan yang akan dilakukan. Apakah menceritakan adalah jalan terbaik. Gadis di hadapannya begitu terlihat kaget dengan ketidakpercayaan yang sangat.
“Apa?”
“Akan kuceritakan bila kau memang butuh untuk tahu.”
“Aku butuh tahu, aku di sini sekarang.”
“Itu bisa membahayakanmu.”
“Kenapa?”
“Bukankah sudah kubilang itu bisa membahayakanmu,” gertaknya.
Mendapat gertakan, nyali perempuan dengan kain yang masih melilit kepala itu pun meredup. Hatinya mencelus. Irama degup jantungnya pun kian meletup-letup seakan organ akan melompat keluar saking paniknya.
Bunyi hentakan kaki terdengar kian nyaring seakan dari arah depan. Sepertinya beberapa orang hendak bertamu dan masuk menelusuri rumah tanpa mendapat izin dari sang pemilik. Detik bergulir serasa cepat hingga tanpa mereka sadar gagang pintu dari kayu itu telah bergerak.
Diam dengan serobokan mata yang seolah sedang menuntut tanya dan jawaban. Badan keduanya kaku layaknya arca di museum. Keringat mengucur dari pori-pori kulit.
“Aria!” ucap lelaki dengan rambut yang memutih memenuhi kepala, dan menjuntai ke punggung dengan ikatan tepat di leher, rapi.
“Ya, Ayah.” Matanya lurus menatap papan-papan kayu, lantai kamarnya.
“Kita perlu bicara! Dan kalian berdua, bawa gadis ini ke ruangan Kubikel Kabinet,” ucapnya kepada dua orang yang menyertainya.
“Apa, Ayah? Jangan. Tolong …,” ucapnya memelas dengan tangan di depan dada memohon agar gadis itu dilepaskan.
“Kalau kau masih ingin ia selamat. Maka ikut saja perintahku,” tuturnya lalu berankat meninggalkan ruangan pribadi anaknya.
Patuh pada perintah sang ayah, ia berjalan di belakang, mengikuti. Semua makhluk menatap pada sang pemuda. Ganal-ganal yang telah dilakukan adalah kesalahan besar yang akan membuat buana yang mereka tempati akan runtuh.
Ia melewati jejeran pohon dengan lumut dan paku yang meliputi seluruh batang utama hingga ke ranting-ranting kecil. Dua tumbuhan itu seakan berlomba memiliki area teritorial. Padahal keduanya adalah dua tumbuhan yang tidak akan terpisah saking butuhnya pada kelembapan.
Di bawah kanopi pohon tanah hampir tak terlihat ditutupi oleh Eleusine indica dan sebangsanya, graminae. Magnoliophyta seakan tak diberi tempat hanya untuk sekadar menumbuhkan pucuk daun. Semua pada tempatnya masing-masing. Berada pada koridornya masing-masing tanpa ada yang melanggar. Melanggar sama halnya dengan tidak menjaga keseimbangan alam yang dijaga. Sudah cukup kerusakan yang dilakukan oleh manusia di luar sana.
Selepas melewati deretan pohon, keduanya melewati taman yang dipenuhi dengan bunga yang bermekaran. Sejauh mata memandang akan disuguhi oleh rona dan semerbak harum yang membawa efek relaksasi. Inilah jalan menuju bangunan inti—pusat dari pemerintahan Cluster Ilafi.
Bangunan yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Namun, terlihat kukuh tanpa ada koloni rayap dan sebangsanya yang menyerang, merusak. Warna yang digunakan dari luar adalah cokelat. Kontras dengan warna di dalamnya yang dipenuhi dengan warna muda dan lembut.
Tidak mau menggunakan tangga untuk sampai pada ruangan yang dituju. Mereka berdua menggunakan ilmu meringankan tubuh, seakan terbang tanpa sayap. Layaknya kelas aves yang mengudara.
Mereka sampai pada lantai yang dituju. Ia berjalan lurus ke belakang, belok kanan, berjalan lurus lagi hatta belok kiri. Ruangan itu telah dipenuhi hulubalang setiap makhluk. Kasat-kusut jelas terdengar dari luar ruangan. Sang yyah diikuti putranya melenggang masuk tanpa sapaan yang seketika membungkan semua yang hadir, diam.
“Persidangan dimulai,” ucap hulubalang tertinggi yang tak lain adalah ayah dari sang lelaki.
Semua makhluk duduk tenang pada tempatnya. Mulai dari setiap hulubalang kelas mamalia, aves, reptil dan amfibi. Untuk makhluk hidup yang tidak bertulang belakang atau invertebrata keputusan rapat akan disampaikan oleh amfibi, sebagai makhluk yang mampu hidup di dua alam. Sedangkan untuk regnum plantae atau tumbuhan akan disampaikan oleh ketiga kelas lainnya.
Persidangan berlangsung cukup alot dengan beberapa pihak menginginkan gadis itu dimatikan dan dikuburkan di buana mereka. Sebagiannya lagi menolak, tidak setuju. Hal tersebut dianggap mencederai kultur kasih sayang ke sesama makhluk, terlebih ia adalah manusia. Makhluk tertinggi dengan akal, dan hawa nafsu yang dimilikinya.
Hulubalang dari salah satu bangsa di kelas reptil angkat suara, menanyakan hukuman pantas untuk sang Putra Mahkota Aria. Tak terima hulubalang monyet menyela, masalah objek yang dibicarakan belum selesai lantas mau beralih ke subjek yang membawa masalah, ini tidak benar.
Saling menyindir mengarah pada hinaan pun tak terlakkan. Berjam-jam waktu dihabiskan untuk membahas masalah tersebut. Semua larut dan mempertahankan opini masing-masing. Membawa manusia ke dalam dunia ilafi sama saja membawa kesengsaraan. Manusia luar adalah manusia yang membawa banyak kerusakan. Itu terlihat dari caranya ia tidak mampu menjaga alam.
Di tempat lain, sang gadis sedang dikurung dalam ruangan yang bagi mereka disebut Kubikel Kabinet. Air mukanya memucat, kain penutup kepala yang digunakannya basah bersimbah keringat. Matanya dipenuhi kaca-kaca air. Ketakutan itu begitu meliputi seluruh tubuh. Semuanya tidak masuk ke dalam logika.
Kupu-kupu dilihatnya mampu berbicara dengan bunga di sela-sela kelibangannya. Pohon bercakap-cakap dengan burung. Anjing berbaur dengan kucing dan tikus. Semuanya di luar nalar. Terlebih setiap rumah yang dilihatnya melayang, tidak merapat ke dalam tanah.
Lapat-lapat seseorang menjejakkan kaki berjalan mengarah ke ruangannya. Jantungnya yang tadinya sedikit tenang, kembali bertalu-talu. Wajahnya makin pucat dengan keringat yang hampir membasahi seluruh tubuh. Ia terus merapal doa, barangkali ia sedang dihipnotis atau apalah kemungkinan. Kepala ia gelengkan untuk merenggut kesadaran, bagaimanapun saat-saat seperti ini tidak boleh larut dalam pikiran ataupun khayalan.
Pintu berdecit, menampakkan sesosok wajah yang dikenalnya. Ia segera berlari, erat memeluk yang pun mendapat balasan pelukan. Beberapa lama mereka berada pada posisi yang sama.
“Maaf, membawamu ke sini?” ujar Aria setelah mengurai pelukan.
Perempuan itu hanya mendongak, menatap.
“Akan kujelaskan. Tapi minumlah dulu. Sudah dua puluh empat jam kau tidak memasukkan apa-apa ke dalam perutmu.”
Patuh, perempuan itu pun meminum minuman yang disodorkan diiringi senyum oleh lelaki penolongnya. Ditatapnya sepasang netra milik si laki-laki. Begitu menghangatkan, ia pun tersenyum lalu mendabak diam tak bergerak.
Ning Kurniati. Perempuan biasa.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata