Sebuah Luka

Sebuah Luka

Sebuah Luka
Oleh: Erlyna

“Ran ….”

“Hmmm?”

“Kalau aku dan Zizi membutuhkanmu di saat yang sama, siapa yang akan kamu datangi lebih dulu?”

“Apaan, sih?”

“Jawab saja!”

“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku ….”

“Zizi, kan? Kamu akan mendatangi Zizi lebih dulu, kan?”

Kugigit bibir bawah kuat-kuat. Meski aku sudah tahu jawabannya, ini tetap saja menyakitkan. Diam-diam kupandangi Ran yang sedang mendongakkan kepala sambil memejamkan mata. Gerimis. Dia selalu saja begitu saat gerimis tiba. Entah apa maksudnya, mungkin dia sedang mendamaikan pikirannya. Jenuhkah?

“Sya ….”

“Ya?” Aku kaget, tiba-tiba dia memanggilku yang sedang memikirkan dirinya.

“Maaf, aku harus menemui Zizi. Apakah kamu mau kuantar pulang sekarang?”

“Em … tidak! Aku masih mau di sini menikmati gerimis. Pergilah! Zizi pasti sudah menunggumu.”

“Oke. Aku pergi dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik. Jangan pulang terlalu malam.”

Ran bangkit dari duduknya, mencium keningku, tersenyum lalu melangkah pergi. Sakit. Ini sakit sekali. Tanpa sadar air mataku terus menetes seiring hujan yang semakin deras.

***

Pagi ini sekolah libur. Aku memutuskan untuk datang ke rumah Zizi. Sudah beberapa hari tidak bertemu dengannya, rasanya rindu sekali.

“Syarla? Kebetulan sekali kamu datang. Ran juga baru saja tiba. Ayo masuk.”

Hah? Ran juga ada di sini? Tadi pagi dia bilang padaku, kalau—

“Sya!”

Aku menoleh ke arah dapur rumah Zizi. Kulihat Ran berdiri dengan wajah terkejut. Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat.

“Hai, Ran. Kukira aku datang terlalu pagi, tapi ternyata kamu sudah datang lebih dulu,” ucapku sambil memaksakan senyum.

“Ah, ya. Aku datang untuk mengantarkan bubur buatan Ibu untuk Zizi.”

“Ohhh ….” Begitu, ya? Aku benar-benar datang di saat yang salah.

“Zizi, maafkan aku.”

“Maaf? Untuk apa? Kenapa minta maaf, Sya?”

“Eh, ah maksudku … tidak. Bukan apa-apa. Oya, apa kamu sudah minum obatmu?”

“Tentu saja. Sejak kejadian malam itu, Ran semakin perhatian. Dia tidak pernah lupa mengingatkan untuk selalu minum obat.”

Aku kembali menggigit bibir bawahku. Kejadian malam itu, ya?

***

Tempat gelap ini membuatku takut. Akan tetapi, apa yang menimpa Zizi sahabatku lebih membuatku lebih takut lagi. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya yang tadi menggengam benda tajam kini mencengkeram erat rambutku.

Sakit.

Perutku sebelah kiri juga sakit sekali. Darah terus menetes dari sana. Perlahan pandangan mulai kabur. Aku tidak kuat lagi, tapi aku harus bertahan. Demi Zizi, aku harus tetap melangkah. Sebentar lagi gang sempit di kawasan terbuang ini akan berakhir. Ujung gang ini jalan raya. Aku bisa minta tolong dengan mudah di sana.

Bruk!

Tubuhku terhempas ke tanah dengan lutut gemetar. Ya ampun, aku selemah ini? Dengan sisa tenaga, aku berusaha bangkit. Syukurlah Zizi yang berada di punggungku tidak ikut jatuh. Bagian pundak kemejaku terasa hangat. Darah. Darah dari bekas sayatan di leher Zizi mengucur semakin deras. Aku berusaha melangkah lebih cepat, menggigit bibir kuat-kuat. Mengabaikan luka tusukan di perutku sendiri. Aku harus pastikan Zizi selamat. Aku sudah berjanji pada Ran untuk menjaganya.

Tepat di ujung gang, tubuhku tidak kuat lagi. Meski terbilang bugar karena rajin olah raga, nyatanya kehabisan cukup banyak darah membuatku tumbang. Sebelum semuanya gelap, aku mendengar suara yang sangat kukenali. Suara itu memanggil nama Zizi dengan nada panik.

***

“Sya? Halo? Kenapa melamun?”

Aku terlonjak kaget. Ah, aku malah mengingat kembali kejadian itu. Malam yang ingin sekali kulupakan karena terlalu menyakitkan.

“Hari ini cerah. Bagaimana kalau kita bertiga jalan-jalan bersama?” tanya Zizi tiba-tiba.

“Eh, aku sih nurut saja. Yang penting aku bisa mengawasi kamu,” ucap Ran santai.

“Sya, kamu?”

“Aku tidak keberatan.”

“Baiklah. Ini pasti menyenangkan. Ayo berangkat!”

Taman terlihat sepi. Padahal hari ini cuaca sangat cerah. Hanya ada beberapa anak kecil yang terlihat asyik berlari-lari di sebelah sisi kanan taman yang juga merupakan arena bermain.

“Suasananya sejuk. Sepertinya hujan semalam membuat taman ini semakin segar, ya?” ucap Zizi sambil memejamkan mata. Kulihat Ran juga melakukan hal yang sama. Memejamkan mata sambil sedikit mendongak. Laki-laki itu … ahhh.

“Kalian suka es krim, kan? Tunggu di sini, ya! Aku akan membelikan untuk kalian,” ucap Zizi. Tiba-tiba saja tubuh kurusnya bangkit lalu berlari-lari kecil.

“Hei!” Kulihat Ran memandang dengan wajah panik. Sebelum akhirnya menghela napas saat tahu penjual es krim yang dituju Zizi tidak jauh dari tempat kami duduk.

Hening.

Entah kenapa, aku merasa kikuk. Padahal, di sebelahku hanya ada Ran.

“Maaf.”

“Ya?”

“Maaf karena tadi pagi aku berbohong padamu. Aku tidak pergi ke rumah nenek, tapi aku mengunjungi Zizi. Aku pikir kamu meneleponku untuk mengajak ke luar karena hari libur. Aku terpaksa bohong karena sudah janji pada Zizi untuk datang ke rumahnya.”

“Aku mengerti.”

“Kamu tidak marah?”

“Ah, tentu saja … tidak.”

“Terima kasih. Aku sangat bersyukur kamu mau mengerti. Semalam, Zizi melukai dirinya lagi. Katanya dia terus teringat orang itu sampai tidak bisa tidur, meski sudah minum obat tidur.”

“Lagi?”

“Ya. Andai saja aku bisa melakukan sesuatu untuk menghapus masa lalunya. Setidaknya, Zizi tidak akan terus menerus melukai tubuhnya dan berpikir dia wanita hina.”

“Ran.”

“Stop. Jangan katakan apa pun. Aku tahu apa yang menggangu pikiran dan hatimu. Aku hanya ingin kamu mengerti. Lagi pula, cincin pemberian Ibu di jarimu itu sudah cukup, ‘kan?”

“Hai. Maaf menunggu agak lama. Antrenya lumayan banyak.”

Aku dan Ran kaget. Tiba-tiba saja Zizi sudah muncul dengan wajah lucu. Kedua tangannya menggengam tiga buah es krim. Luka itu, sayatan di lengan kanannya yang berusaha ditutupi dengan jaket pastilah luka yang dimaksud Ran tadi. Plester yang berjajar terlihat masih baru. Bagaimana bisa hal-hal konyol seperti itu harus dihadapi sahabatku yang cantik dan pintar ini?

“Bagaimana sekolahmu, Sya?”

“Eh, sekolah? Baik-baik saja. Minggu depan sudah mulai ujian kenaikan kelas.”

“Begitu, ya? Sekolahku membosankan. Tidak ada kalian di sana. Aku sangat kesepian. Di sekolah tidak ada orang yang benar-benar tulus mau berteman denganku. Semua yang mendekatiku, hanya berpura-pura baik demi isi kepala dan uangku.”

“Jangan sedih. Bukankah kita sudah berjanji akan masuk universitas yang sama. Tunggulah tahun depan. Mari berjuang sama-sama.” Kulihat Ran berkata sambil menggengam erat tangan Zizi. Mereka bertatapan untuk beberapa saat, lalu saling melempar senyum.

Universitas Jaya, ya? Dengan kapasitas otakku yang pas-pasan, aku tidak yakin bisa lolos masuk ke sana. Universitas unggulan di kota ini pastilah akan diserbu oleh orang-orang berotak seperti Zizi atau Ran. Lalu orang sepertiku? Hanya butuh satu hal, keberuntungan.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Dengan wajah lesu aku merebahkan diri di kasur. Kutatap sebuah cincin yang melingkar di jari tengah, cincin peninggalan ibu Ran yang diberikannya kepadaku. Entah apa maksudnya, tapi aku ingin berharap banyak. Apakah laki-laki itu benar-benar mencintaiku, atau hanya sekadar ingin menitipkan cincin ini padaku? Lamunanku tiba-tiba buyar. Sebuah nada dering panggilan telepon mengaduk-aduk khayalanku tentang Ran.

Sial! Di mana aku meletakkan benda itu.

“Halo?”

“Apa?”

Dengan wajah panik, aku bergegas meraih jaket yang tergantung di balik pintu. Aku tidak mengganti piyamaku. Tidak sempat. Keadaan gawat apa yang menimpa Zizi malam-malam begini? Tidak! Jangan berpikir macam-macam dulu, aku harus fokus menyetir. Aku baru saja mendapatkan SIM. Aku tidak mau kena masalah.

***

Rumah Zizi terlihat sangat ramai. Beberapa mobil polisi dan warga yang berkerumun membuat suasana semakin kacau. Aku menghentikan mobil di ujung tikungan agak jauh dari kerumunan itu, tepat di samping mobil berwarna putih yang sepertinya sudah datang lebih dulu.

Deg!

Tunggu! Orang di dalam mobil itu tersenyum sambil menatap kerumunan di depan rumah Zizi. Aku menajamkan pandangan. Wajah itu memang terlihat sedikit familier. Jangan-jangan …. Aku berlari membelah kerumunan. Aku mencari Ran, tapi rasanya dia tidak ada di mana-mana. Sementara rumah Zizi dijaga ketat oleh polisi, apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Zizi sekarang?

Sebuah ambulans terlihat memecah hiruk-pikuk yang mendengung di kepalaku sejak tiba di sini. Itu dia, Zizi pasti ada di dalam sana. Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kaki kembali ke mobil. Orang itu masih di sana. Kali ini beliau menatapku tajam. Emosi dan rasa penasaran membubung ke ubun-ubun. Orang ini …. Tidak ada waktu. Aku ingin sekali menghajar orang itu, tapi keadaan Zizi lebih membuatku khawatir. Saat meneleponku tadi, Ran terdengar sangat putus asa. Aku semakin panik luar biasa.

Setibanya di rumah sakit, aku berlari ke meja resepsionis, seorang perawat menunjukkan sebuah jalan untukku. Masih dengan pikiran yang dipenuhi macam-macam prasangka, kulangkahkan kaki secepat yang aku bisa.

“Ran … apa yang terjadi?”

Di depan sebuah ruangan, Ran terduduk dengan wajah berantakan. Laki-laki itu menoleh, lalu memelukku sangat erat. Aku melotot kaget, tidak menyangka reaksinya akan seperti ini. Entah mendapat keberanian dari mana, aku membelai kepala laki-laki itu. Laki-laki yang sudah lama banyak menyita perhatianku. Laki-laki yang amat sangat kucintai. Sebenarnya aku ingin sekali memastikan, cintanya itu untuk siapa?

Ran menangis. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya memukul-mukul dadaku. Aku semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi.

“Di—diaa ….”

“Oke. Kamu tidak harus cerita padaku sekarang, Ran. Yang penting kamu harus tenang dulu, oke?”

“Darah. Lagi-lagi darah. Saat aku datang ke rumahnya, tubuhnya dipenuhi darah. Dia kembali melukai dirinya sendiri, Sya. Namun kali ini, dia tidak lagi menyayat leher atau mengiris pergelangan tangan. Dia … dia menusukkan pisau ke dadanya.”

Aku kaget luar biasa. Lagi? Untuk kesekian kalinya, Zizi kembali mencoba bunuh diri. Bukankah sejak keluar dari rumah sakit jiwa setengah tahun lalu, dia tidak pernah lupa meminum antidepresan yang diberikan dokter padanya?

Klik!

Pintu di depan kami terbuka. Seorang dokter dengan pakaian operasi keluar sambil menatap kami.

“Di mana keluarga Saudari Zizi?”

“Maaf. Ibunya sudah  saya hubungi, tapi baru bisa datang besok pagi. Tidak ada tiket pesawat malam ini, Dokter. Beliau berada di luar pulau.”

“Lalu siapa Anda?”

“Saya temannya. Saya yang bertanggung jawab pada Zizi saat ini, Dokter.”

“Baik. Begini, Saudara Zizi sudah kehabisan banyak sekali darah saat dibawa kemari. Nyawanya tidak tertolong lagi.”

***

Pemakaman. Lagi-lagi aku harus datang ke tempat ini dengan keadaan kacau dan menyedihkan. Ini mengingatkanku pada kenangan tiga tahun silam, saat kedua orang tuaku meninggal mendadak karena kecelakaan. Ran terlihat sangat terpukul. Aku tahu Ran juga menyukai Zizi. Demi kebahagiaan sahabatku, aku rela melepas kebahagiaanku sendiri. Meski itu cinta pertama yang aku rasakan. Meski aku tahu rasanya sakit sekali.

Tiba-tiba ujung mataku menangkap sebuah bayangan tubuh yang menjauh. Dia. Itu dia. Laki-laki yang sudah menghancurkan hidup Zizi. Laki-laki yang memperkosa Zizi di suatu malam dua tahun yang lalu. Aku belum lupa. Wajah menyeramkan itu, seringainya di dalam mobil saat prahara di rumah Zizi terjadi, sama persis ketika dia menusuk perutku dulu.

“Ran. Mau mengantarku ke kantor polisi?”

“Untuk apa?”

“Aku harus melaporkan seseorang. Laki-laki itu harus ditangkap. Laki-laki yang membuat hidup  Zizi harus berakhir seperti ini.”

“Hah? Kamu tahu orangnya?”

“Ya. Aku rasa kamu pun mengenalnya. Laki-laki itu sangat disayangi dan dicintai oleh Zizi. Itulah sebabnya Zizi menyembunyikan dia selama ini. Meski harus menderita seumur hidupnya. Zizi takkan pernah memberi tahu siapa laki-laki yang merampas semua mimpi-mimpi dan hidupnya. Karena laki-laki itu adalah … ayah kandungnya.”

“Apa!”

 

Purworejo, 7 Maret 2019

Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata