Sebuah Lamunan di Senin Sore

Sebuah Lamunan di Senin Sore

Sebuah Lamunan di Senin Sore
Oleh : Imas Hanifah N.

Sesekali, saya menyeruput kopi yang tersaji. Jalanan di luar kafe terlihat lengang. Tak seperti biasa, dan orang yang saya tunggu tak juga datang. Ke mana perginya ia? Sehingga tiga puluh menit berlalu, saya lewati bersama secangkir kopi pahit saja.

Kadang kalau suasana seperti ini, enaknya melamun. Melamunkan masa lalu atau masa depan. Saya teringat, dulu sewaktu Bapak masih hidup dan memarahi saya perihal cita-cita. Ia berkeyakinan bahwa saya harus meraih pendidikan setinggi-tingginya dan mendapat sederet gelar. Ia selalu berkata, bahwa hal tersebut tentulah akan membuatnya bangga luar biasa. Sehingga siang dan malam, Bapak bekerja toh-tohan. Kadang saya tidak tega dan berpikir untuk putus sekolah dan merantau saja seperti teman-teman kebanyakan.

Misalnya si Rusdi, selesai SMP, ia ikut bapaknya jadi tukang jaga WC di kota. Tiap pulang ke kampung, motornya gonta-ganti. Atau Parmin yang juga pergi ke Jawa buat jualan cilok dan ia juga hampir tiap Lebaran bagi-bagi uang. Mereka luar biasa tanpa gelar apa-apa.

Ya, saya ingin seperti itu saja, tapi Bapak terus meyakinkan saya untuk lanjut. Saya sering berontak. Kami beberapa kali bertengkar, tapi mengingat perjuangannya itu, saya akhirnya hanya bisa mengalah.

Hingga menjelang lulus SMA, Bapak sakit. Tak lama, meninggalkan saya dan keluarga. Tahun-tahun berat dijalani Ibu, saya tak berpikir sama sekali untuk kuliah. Bapak mungkin sedih, tapi saya tidak bisa memaksakan diri pada sesuatu yang tidak saya yakini.

“Buat apa pendidikan tinggi tapi tidak terpelajar?” tanya saya yang masih remaja saat itu di sebuah sore. Percakapan bersama seorang satpam kompleks.

“Benar. Buat apa, ya? Tapi setahu Bapak, pendidikan itu kan supaya bikin seseorang jadi terpelajar. Betul kan, Son?” Bapak itu balik bertanya.

“Emm, betul juga, Pak. Tapi beberapa teman saya nakalnya gak ketulungan.”

“Loh, Nak Soni pernah nakal juga, kan? Namanya sekolah itu kan proses.”

“Proses buat apa, Pak?” tanya saya makin antusias.

“Ya, buat jadi terpelajar. Tapi, pendidikan yang utama itu, ya didikan dari keluarga.”

Kala itu, saya mengangguk-ngangguk. Bergaul dengannya membuat saya merasa jadi semakin terpelajar. Padahal saya tidak meneruskan kuliah. Banyak hal saya pelajari darinya. Ia bercerita tentang perjuangannya sewaktu belum jadi satpam. Ia tidak sekolah setelah lulus SD. Ia pernah jadi tukang parkir, cleaning service, dan tukang cuci piring. Suka dukanya, membuat saya tertarik untuk melakukan hal yang sama. Tapi dia melarang. Katanya, “Lulusan SMA masa mau jadi cleaning service, kan gak elit.” Setelah itu saya jengkel, beberapa hari tidak menyapanya. Namun, rupanya Pak Satpam begitu paham kegalauan anak muda. Ia datang ke rumah dan mengajak saya makan siang bersama di pos. Apa istimewanya memakan nasi bungkus dan minum segelas air teh? Saya semakin kesal. Ia terus tersenyum, saya merasa diejek. Tak ada pembicaraan sama sekali sampai akhirnya ia berkata sebelum saya pulang. “Menjadi terpelajar butuh proses.”

Saya mencoba mendalami perkataannya, mencoba memahami sedikit demi sedikit arti dari sebuah pembelajaran yang ia siratkan. Bukankah belajar itu tak mengenal status? Mau ke pada siapa dan di mana, pembelajaran itu bisa saja mengalir serupa sungai yang jernih. Saya meyakini banyak hal, banyak orang, dan bahkan benda mati sekalipun adalah pembelajaran. Ah, kadang saya menyesal tidak belajar serius sewaktu sekolah. Meskipun saya tidak pernah bolos, tapi saya sering minggat pada pelajaran tertentu. Memikirkan hal itu, saya selalu ingin tertawa sendiri.

Sekian menit berlalu, lamunan saya hampir habis dan seseorang itu tak juga datang. Saya kesal.

Jika ini hari Senin terakhir saya, saya ingin bertemu orang-orang yang telah menjadikan saya seperti sekarang. Menjadi seseorang yang tak pernah mau berhenti belajar. Tidak pernah mau menyerah pada apa pun. Tapi sayang, kebanyakan dari mereka telah pergi mendahului.

Satu jam berlalu. Kopi habis. Saya kemudian meraba saku celana. Sebuah cincin masih bertengger tepat di kotaknya. Seseorang yang saya tunggu itu tak kunjung datang. Saya melirik ponsel yang seketika berbunyi. Sebuah pesan singkat rupanya.

[Maaf. Saya lembur di kantor. Besok ketemunya ya.]

Ah Tuhan, jangan jadikan hari ini hari terakhir saya.

(Cerita ini dibuat tahun 2017 dan direvisi total Februari 2020)

Imas Hanifah N. Penyuka kucing, kelinci, jus alpukat, dan lagu galau. Kenal lebih dekat dengannya di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply