Sebuah Kepulangan
Oleh : Imas Hanifah N.
Akhir tahun ini, sedikit berbeda. Bukan karena aku tak ingin ada keramaian yang rupa-rupa. Atau karena aku mencoba menghindari hingar yang membuat pekak telinga. Akan tetapi, karena ada sesuatu yang selalu tak pernah alpa menuntut untuk tidak dilupakan. Kejadian setahun lalu, saat aku jauh di perantauan. Sesuatu yang membuat Desember ini cukup membuat detak jantungku berdegup tanpa aturan, ketika tanggal menjelang akhir bulan. Mungkin bukan hanya akhir tahun ini, tapi akhir tahun-tahun selanjutnya, aku tak akan pernah bisa merasa biasa-biasa saja.
***
“Tahun baru, mau pulang, Gus?”
Aku melirik si penanya. Ardian namanya. Laki-laki berpakaian necis yang selalu tak pernah lupa memakai parfum. Wanginya kadang-kadang membuatku terbatuk.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Dia berdecih.
“Sekali-sekali, lewatin tahun baru di kota, Gus. Banyak gadis-gadis bisa digoda, kembang api yang memanjakan mata, dan segala sesuatu yang pokoknya menarik!”
Aku menyalakan rokok yang terselip di antara jari-jari. Mendengar Ardian mengatakan itu, jujur saja, aku masa bodoh. Pulang adalah kewajiban di akhir tahun. Bekerja tanpa henti di kota, menikmati hari libur bersama teman-teman dan pacar setiap pekan, sudah cukup bagiku. Pulang ke kampung setahun dua kali. Kalau tidak pas libur tahun baru atau Lebaran, kapan lagi?
“Gus? Bagaimana kalau pacarmu, Si Reni itu, ngajak tahun baruan?”
Aku tersenyum. “Reni itu pengertian. Dia tahu setiap tahun baru itu aku tidak bisa menemani dia. Toh, aku sudah sering temani dia ke mana-mana sepanjang tahun ini. Hampir tiap libur akhir pekan. Iya, kan?”
“Hehe, iya juga, sih.”
Keseruput kopi yang tinggal setengah. Udara di dalam kafe terasa cukup sejuk. Di luar, gerimis menuntut setiap orang untuk habis-habisan membunuh jam kerja. Waktu istirahat yang aku dan Ardian miliki, tinggal beberapa menit lagi. Kulihat ia juga segera mematikan rokoknya.
“Kamu tahu, Gus?”
“Apa?”
“Kadang-kadang, mungkin kamu mesti berpesta atau melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan di malam tahun baru nanti. Kamu tidak mau ‘kan, mati penasaran?”
Aku terkekeh. “Mati penasaran karena tak merayakan tahun baru? Omong kosong, Ar.”
Ardian tersenyum. “Lihat saja, kamu pasti tak akan pulang, Gus.”
Aku tak memedulikan ucapan Ardian dan lebih memilih beranjak. Ia juga sepertinya menyusulku.
Tahun ini, aku sudah janji pada Emak. Aku bahkan sudah membeli beberapa helai kain batik kesukaannya dan kue sebagai oleh-oleh. Tak seberapa, tapi selalu membuat senyum Emak mengembang cukup lama. Wajar, aku anak lelaki satu-satunya, merantau pula. Di setiap teleponnya, Emak tak pernah berhenti mengutarakan kecemasannya. Ia masih menganggapku layaknya anak SD. Bertanya tentang sudah makan atau belum, cuaca di kota ini, serta tak pernah lupa mengingatkan salat dan mengaji. Selalu begitu dan aku selalu mencoba memahaminya.
***
Tanggal 28 Desember, hari di mana semua pegawai mulai libur. Sebenarnya, cuma seminggu. Akan tetapi, tentu itu cukup lama bagi pegawai seperti kami ini. Bos sudah cukup baik memberi bonus akhir tahun. Alangkah bodohnya aku, jika kuhabiskan semua uangku ini seperti yang dilakukan Ardian. Membeli banyak kembang api, mulai menelepon beberapa gadis untuk diajak kencan, dan kudengar di percakapan teleponnya … ia mem-booking salah satu kamar hotel. Ya ampun.
“Gus, please. Tahun baru ini, jangan pulang, ya? Rayain di sini aja. Temenin aku.”
Aku menggeleng mantap. “Gak bisa, Ar. Aku sudah janji sama Emak.”
“Em, kan liburnya seminggu, Gus. Kamu masih bisa pulang tanggal dua.”
Aku menarik napas panjang. “Aku sudah pesan tiket kereta untuk perjalanan besok.”
Ardian tampak kecewa. Ya, dia memang lahir di keluarga yang terbilang cukup. Mungkin, kantor ini hanyalah arena main-main saja. Karena tanpa bekerja pun, aku yakin, ia masih punya banyak uang. Satu yang selalu membuatnya tampak menyedihkan adalah keluarganya tinggal jauh dan mereka jarang bertemu. Sedikit miris.
Selepas pulang kerja, aku mulai berbenah. Memilah mana yang akan kubawa dan mana yang harus kusimpan dengan rapi. Kamar kos ini akan kutinggal selama beberapa hari saja, tapi rasanya aku harus membereskannya serapi mungkin. Emak selalu mewanti-wanti tentang hal ini. Dulu, sebelum merantau, kamarku di rumah, selalu persis kapal pecah yang tenggelam. Sudah pecah, tenggelam pula. Aromanya bisa membuat siapa saja pingsan. Namun setelah merantau, lihatlah, sedikit banyaknya aku cukup memiliki kemajuan dalam hal beres-beres.
Setelah segalanya kurasa sudah cukup, aku teringat tentang tiket kereta. Jangan sampai aku meninggalkannya di laci kantor.
Benar saja, setelah kuperiksa tas dan semua tempat di kamar, tiket itu tidak ada. Terakhir, kalau tidak salah, aku memasukkannya ke dalam laci mejaku di kantor. Meskipun tidak yakin, antara aku sudah mengambilnya atau mungkin tiket itu masih duduk manis di sana.
Dengan langkah malas, meskipun cuaca mendung sekali, aku kembali ke kantor. Ini demi si tiket.
Memasuki pelataran kantor, suasana sudah sangat sepi. Kantor ini pasti akan segera ditutup. Aku buru-buru menuju ruangan tempat kerjaku.
Tiba di sana, aku segera membuka laci. Kosong. Aku menatap lacinya cukup lama. Berharap dapat mengingat ke mana perginya benda itu. Apakah aku memang sudah mengambilnya? Apa aku menjatuhkannya di suatu tempat? Ah, ini memusingkan.
Selang beberapa menit kemudian, ketika aku masih berkutat mencari tiket, sebuah telepon mengejutkanku. Ardian kecelakaan. Tanpa memikirkan tiket lagi, aku langsung menancap gas, hendak ke rumah sakit. Duh, ada-ada saja.
***
Melihat Ardian terbaring tidak berdaya, membuatku sedih sekaligus merasa lucu. Mungkin, rencana tahun baruan yang selalu ia gemborkan harus hancur sekarang. Ah, dia memang berlebihan.
“Gus?”
Aku mendekat. Ardian baru sadar.
“Gus, jangan pulang dulu.”
Aku tersenyum. “Loh, aku masih di sini.”
“Tapi besok kamu bakalan pulang.”
“Iya, sih. Eh, mungkin gak jadi besok. Tiketku hilang. Mungkin besoknya lagi.”
Ardian terdiam sebentar. “Jangan, Gus. Nanti saja, tanggal dua.”
“Gak bisa, Ar.”
“Bisa. Telepon emakmu itu. Aku akan mohon-mohon padanya.”
Aku memikirkan ini sejenak. Kaki Ardian patah sebelah. Ia pasti membutuhkan seseorang.
“Baiklah, tidak usah. Biar aku bicarakan lagi soal rencana pulangku ke Emak.”
Ardian menarik napas lega. Perlahan, matanya kembali terpejam. Aku tahu, Emak pasti tidak apa-apa jika aku harus pulang tanggal dua seperti yang Ardian katakan. Akan tetapi, tetap saja ….
Setelah beberapa jam menunggui Ardian, aku menunggu di luar. Langsung saja kutelrpon Emak.
“Halo, Mak.”
“Iya, Gus. Gimana, masih di jalan?”
Aku menghela napas berat. “Maaf, Mak. Agus gak jadi pulang sekarang, mungkin tanggal dua, Mak. Gak apa-apa, kan?”
Ada jeda yang cukup lama sebelum Emak menjawab. Ia sepertinya cukup kecewa.
“Kenapa, Gus?”
“Pertama, tiketnya Agus hilang. Kedua, Ardian, temen kerja Agus kecelakaan.”
Setelah ini, aku yakin, Emak akan memaklumi.
“Gus, emangnya dia gak punya keluarga?”
Aku cukup terkejut dengan pertanyaan Emak. Tidak biasanya Emak mempertanyakan lebih lanjut.
“Iya, Mak. Dulu Agus pernah bilang, kan, Mak. Ardian ini keluarganya jauh-jauh.”
Aku mencoba tetap tenang, meskipun dapat kudengar ada sedikit isak di seberang sana.
“Janji, Mak. Agus akan pulang tanggal dua.”
Telepon langsung ditutup. Emak bahkan tidak mengucapkan salam.
Tidak apa-apa, Emak kalau marah, tidak akan lama, batinku menenangkan diri sendiri.
***
Tiga hari di rumah sakit, Ardian lumayan membaik. Ia bahkan sudah merengek terus ingin pulang ke rumah. Katanya, ia ingin merayakan tahun baru. Ya ampun, sedang sakit juga masih sempat-sempatnya memikirkan itu.
“Hari ini aku akan pulang, Gus. Nanti malam, ada acara besar di rumahku. Kamu harus ikut, ini sebagai ungkapan rasa terima kasihku padamu.”
“Acara apa?” tanyaku heran.
“Tahun baruan,” ucapnya sambil nyengir. Tidak masuk akal. Kapan Ardian menyiapkan semuanya?
Seakan tahu apa yang aku pertanyakan di dalam hati, Ardian menjawab dengan penuh keyakinan.
“Semuanya gampang, Gus. Kalau punya uang, semuanya gampang.”
Ardian mengacungkan ponsel ke atas. Seolah memberi tahu bahwa benda mungil itulah yang dengan mudah mewujudkan keinginannya.
“Acara seperti apa?”
“Hanya makan-makan. Hehe.”
Aku menarik napas lega. “Baiklah.”
***
Namun, malam itu, acara makan-makan yang dikatakan Ardian tidaklah seperti acara makan-makan yang aku bayangkan. Rumahnya seperti disulap jadi diskotek. Meskipun dengan langkah tertatih, tak membuat Ardian ragu-ragu menenggak bergelas-gelas alkohol. Aku sampai pusing dibuatnya. Bukan karena ikut minum, tapi karena tak terbiasa dengan hingar yang begitu tak beraturan.
Parahnya lagi, di antara perempuan yang memakai rok pendek dan menari sambil mabuk, kutemukan sosok yang sangat kukenal. Reni.
Lama, kami saling menatap sebelum ia mendekat dan menawarkan segelas minuman. Aku menepisnya dengan kasar.
“Kamu tahu, Gus. Kadang-kadang, kamu harus mencoba sesuatu yang baru. Jangan terlalu kolot,” ucapnya seraya kembali mengambil minuman dan menyodorkannya padaku.
Tatapan Reni seolah menantang. Anganku menggebu.
Entah apa yang merasuki diri ini, hingga tanpa berpikir lagi, kutandaskan minuman dari Reni dengan cepat. Ia tersenyum puas.
“Ayo, bersenang-senanglah.”
Tangannya yang mulus mengajakku menari. Aku limbung. Segala sesuatunya terasa begitu cepat, sampai sebuah sirene polisi membuat pesta ini jadi berantakan seketika. Semua orang kabur. Tersisa aku dan Ardian yang sedang teler.
Kami digelandang. Dan aku lupa apa yang terjadi setelahnya. Saat kami sadar, aku dan Ardian sudah berada di dalam jeruji besi.
Tanggal dua sudah lewat. Semua urusan dengan polisi sudah diselesaikan. Tentu saja, itu karena Ardian punya banyak koneksi. Aku tak menduga hal ini bisa terjadi. Aku mengecewakan Emak hanya demi menolong Ardian dan terlibat dalam euforia tak berguna.
Ketika kembali ke rumah kosku, dengan sisa tenaga yang ada, aku mengangkat sebuah telepon. Dari Bi Ratmi. Sebuah telepon yang membuatku tak akan pernah bisa tenang setiap menjelang tahun baru.
“Gus, Emakmu jatuh dari kamar mandi. Ia sedang kritis. Pulang, Gus. Pulang!”
***
Dan hari ini, ia kembali datang. Bukan sebagai tamu, karena aku tak pernah mengundangnya sama sekali. Ia datang sebagai luka yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
Ardian memintaku mengantarnya ke pusara Emak. Setelah kejadian itu, ia meminta maaf padaku berkali-kali. Tentu saja, aku sudah memaafkan. Meskipun hanya lewat lisan.
“Agus …,” ucapannya tertahan. Ia menatap makam Emak dengan penyesalan. Seandainya Ardian tahu, aku lebih tersiksa dengan semua ini.
“Maafkan aku, Gus. Sebenarnya dulu, aku yang mengambil tiket keretamu dari laci kantor.”
Aku terdiam. Sungguh, itu kalimat yang pedih. Sangat pedih!
Tasikmalaya, 2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata