Sebuah Kepala dan Kotoran di Dalamnya
Oleh: Elliyah Fatmala
Terbaik ke-10 Tantangan Lokit 15 (tema: Karantina)
Andai aku tahu bahwa segalanya akan menjadi sehancur ini, seharusnya aku tidak boleh membiarkan itu terjadi. Seharusnya aku melarikan diri. Seharusnya … aku mati saja daripada membuat hari di mana seluruh hidupku yang gemilang hancur seketika. Kenapa aku tidak bunuh diri? Kenapa aku memilih hidup dan tinggal di neraka ini?
Rasanya, aku seolah berada dalam jurang gelap sendirian. Lubang yang menarikku seperti sebuah labirin tak berujung, seperti ratusan penyesalan yang terus membayangiku sampai saat ini–penyesalan yang akan selalu menghantuiku sampai mati. Aku seharusnya baik-baik saja. Aku seharusnya bahagia.
Kenapa aku berakhir di tempat yang membuatku tidak bisa melakukan apa-apa?
Bahkan ketika aku merasa begitu takut, begitu tidak berdaya dan butuh perlindungan, tidak ada yang akan datang. Aku tidak bisa mengeluh atau berteriak sekuat-kuatnya. Aku sendirian. Dari dulu hingga sekarang, kenyataan bahwa aku anak yang dibuang tidak pernah berubah. Aku ingin mati. Tapi setiap kali aku ingin menggantung leher di tali, aku ingat bahwa aku anak yang baik. Mama selalu bilang aku anak baik. Apakah anak baik akan melakukan ini?
Tidak.
Aku tidak bisa. Aku harus menahannya dan harus baik-baik saja.
“Karena sampai kapan pun, kamu harus hidup dan menderita seperti kami.”
Aku menatap cermin dengan hampa. Menderita seperti kami. Mendadak kata-katanya terngiang lagi di telingaku, seperti sebuah kaset rusak yang tidak bisa kuhentikan. Aku memang tidak bisa apa-apa. Aku tidak bisa bunuh diri. Aku tidak boleh bunuh diri. Aku ingin berteriak dan mengatakan bahwa aku juga sama tersiksanya. Bahwa jauh di dalam sini, jiwaku juga sama retaknya.
Tapi satu kenyataan menamparku dengan telak, tidak akan ada yang percaya. Mereka hanya peduli dengan kesakitan mereka sendiri. Mereka tidak peduli padaku.
Kamu manusia sialan.
Kamu busuk dan menyedihkan.
Siapa yang akan percaya sama manusia sampah kayak kamu?
Aku tertawa pahit. Menggenggam gunting erat-erat, menyayatnya perlahan pada tiap bagian kulitku yang lebam. Memang tidak akan ada yang percaya. Sakit. Sakitnya membuatku ingin merasakan lebih banyak lagi, lebih dalam lagi. Aku ingin rasa sakit yang sama seperti yang kurasakan hari itu. Aku ingin melihat lebih banyak lagi darah yang menggenang di kakiku.
Pasti sakit. Pasti amis dan besi yang menguar akan terasa begitu menenangkan. Tapi saat tangan kananku terangkat dan gunting yang kugenggam mulai terasa gemetar, segalanya kembali seperti mimpi buruk yang membuatku ketakutan. Aku tidak bisa membuat luka di lengan kiriku menjadi lebih menganga, aku tidak bisa membuat daging di dalamnya menjadi lebih terbuka.
Tidak ketika bayangan janin yang berdarah-darah itu memenuhi pandanganku. Aku masih ingat bagaimana rasa sakitnya, bagaimana ketika aku yang ketakutan, putus asa, dan merasa begitu sendirian, akhirnya hanya bisa meringkuk begitu saja saat janin itu tergeletak di depanku. Aku takut, tapi Mama bilang aku tidak boleh menangis. Aku seharusnya diam dan menunggu dia membereskan semuanya.
Aku takut. Bayangan janin yang sekarang ada di depanku begitu nyata dan membuatku gemetar. Serangan panik itu datang lagi seperti sebuah badai yang menghancurkanku perlahan.
5 … 7 … 8 ….
Segalanya baik-baik saja dan aku bahagia.
5 … 7 … 8 ….
Tidak ada yang salah dan semuanya sempurna.
5 … 7 … 8 …
Aku menutup mata. Tangan kananku yang bebas meremas luka memanjang di lengan kiri. Sakit. Aku membayangkan hal-hal yang akan membuatku merasa lebih baik. Bayangkan saja lengan kirimu yang terluka, darahnya, denyut-denyut yang berdetak dalam nadinya, bayangkan kamu merobeknya sekarang, pelan-pelan dengan pisau tipis yang sudah kamu asah semalam. Kamu merasa sakit, tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ada sesuatu yang akhirnya membuaimu dalam ketenangan, sayatan itu membuatmu lupa pada semua yang melukaimu. Kamu tidak lagi merasa terkurung.
Kamu baik-baik saja. Dan, aku menarik napas dalam-dalam sebanyak yang kubisa.
Hal pertama yang kulihat adalah bayanganku di kaca. Ia menyedihkan. Darah mengalir di sepanjang kulitnya yang terluka, rambutnya berantakan, matanya yang bengkak begitu sayu dan hampa. Aku bertanya-tanya sejak kapan semuanya menjadi seburuk ini, sejak kapan … aku merasa tidak mengenali diriku lagi.
Aku menatap tubuhku dan berhenti pada kaki-kaki kurus itu. Ada yang tiba-tiba membuatku sesak saat melihatnya. Seakan bisa kurasakan … sesuatu merangkak di bawah sana dan tangisnya membawaku pada satu pertanyaan yang sama: Apakah sekarang semuanya baik-baik saja?
Kata Bibi, gadis yang baik adalah yang menjaga kehormatannya. Mama juga selalu bilang bahwa aku tidak mungkin melakukan kesalahan, aku anak baik yang sempurna. Aku dididik sejak kecil untuk selalu melakukan semuanya dengan teratur, tanpa celah, tanpa gagal. Lantas kenapa … aku menjadi seperti ini?
Aku menatap langit-langit kamarku yang kusam, cat putihnya memudar, dan pendingin ruangan di ujung sana selalu tersendat-sendat. Setiap hal dari kamar terpencil ini menyadarkanku bahwa sampai kapan pun juga, aku memang akan selalu dikucilkan.
Jika semuanya tidak terjadi, apakah hidupku yang baik-baik saja akan tetap sempurna? Jika bayi itu tidak pernah ada … apakah aku akan bisa bahagia?
“Sial. Kamu emang gak pantes disebut ibu.” Bayanganku menyeringai, tangannya menopang dagu dan ia menatapku dengan tatapan yang sangat kukenali.
Memang siapa yang mau menjadi ibu? Aku membalasnya dengan senyum paling merendahkan. Darah semakin kental membasahi jari-jari kananku. Sakit dan aroma besinya membawaku dalam rasa yang paling kurindukan–kedamaian. Tidak ada lagi wajah-wajah mereka yang terluka. Tidak ada lagi caci maki yang kuterima. Tidak ada lagi aku yang dianggap hina.
Sekarang … aku akan baik-baik saja. Aku bukan aib dan aku bahagia.
***
Setiap hari dengan rutinitas pagi yang sama. Makanan untukku akan datang dari lubang di bawah pintu, lubangnya mirip seperti jalan masuk untuk hewan-hewan peliharaan. Di waktu yang sama juga, aku akan mendengar bunyi ketukan dengan irama yang tidak pernah berubah. Setiap ketukan punya makna berbeda: 5 untuk sarapan, 7 untuk makan siang, dan 8 untuk makan malam.
5, 7, 8.
Salah satu hal yang selalu kutunggu adalah menghitung ketukan pintu.
5, 7, 8.
Aku selalu mengulangnya jika tidak ada yang bisa kulakukan di dalam sini. Lama-lama, aku merasa seolah terobsesi dengan ketiga angka itu. Aku menyusun tiap barang kecil di ruangan ini dengan angka yang sama.
5, 7, 8.
Baru-baru ini, ketika aku memperhatikan kelima jariku, aku juga melihat luka-luka di perutku dan menghitungnya, ada 7. Sementara 8 untuk sayatan di tangan dan kaki.
5, 7, 8.
Angka yang cantik dan aku terus mengulangnya seperti sebuah mantra sederhana.
Jika aku ingin membuat luka baru, aku tinggal menumpuknya di luka lama dan itu akan terasa semakin sakit. Aku menepuk-nepuk pipi. Bukankah sekarang, ini benar-benar terlihat sempurna?
“Sempurna! Kenapa kita gak buat ini lebih sempurna lagi? Ayo kita buat 5 sayatan di paha, 7 di jari-jari tangan, 8 di betis kanan dan kiri!”
Dia menatapku dengan binar paling riang, manik kenarinya yang sangat tidak asing begitu antusias. Aku mengayunkan kepala berulang kali, mengusap-usap kacaku yang berharga, menatap bayangan di depan sana dengan wajah paling cerah yang pernah kutunjukkan.
Ayo.
Ayo kita lakukan dengan sempurna. Semuanya harus sempurna.
Aku berputar di depan cermin yang sudut-sudutnya dipenuhi percikan merah. Silet di atas meja membuat senyumku bertambah lebar. Aku adalah anak paling baik. Aku cantik. Aku sempurna.
Jadi … mari kita ulangi.
Ayo kita lakukan dengan sempurna.
***
Sakit.
Aku tersenyum. Tanganku gemetar dan seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan. Aku menatap kaca dan melihat darah mengalir dari kulitku yang terluka. Tidak, jangan mati sekarang. Kata Mama, aku harus hidup dan menderita sepertinya. Aku anak baik dan anak baik tidak pernah membantah. Aku harus hidup. Aku mengambil kain apa pun yang ada, mencoba menahan darah untuk tidak keluar lebih banyak.
Samar-samar, dari atas kasur tempatku berbaring sekarang, aku bisa melihat jam menunjukkan pukul sembilan malam. Eh?
Aku menatap pintu dan menunggu 8 ketukan di luar sana. Tidak ada. Apa mereka lupa? Aku tidak lapar, aku hanya ingin mendengar 8 ketukannya. Itu akan menyempurnakan hariku yang selama ini sia-sia. Biasanya mereka tidak terlambat, biasanya makan malam selalu diantarkan di waktu yang sama. 20:30.
Kenapa? Kenapa aku masih tidak mendengar suara apa-apa?
Tidak-tidak-tidak. Tidak boleh ada lagi cela dalam hidupku yang mulai kembali sempurna. Aku turun dari kasur dan berjalan susah payah. Darah membuat kain yang menutupi lukaku semakin basah. Sakit. Sakitnya tidak bisa membuatku untuk tidak menikmati perihnya.
Saat sampai di depan pintu, aku mendekatkan telinga dan mencari sesuatu yang akan bersuara di luar sana. Tapi tetap tidak ada.
5 … 7 ….
8.
Kenapa masih tidak terdengar apa-apa? Aku mencakar kulit dan bibir yang kugigit mulai terasa berdarah. Kenapa-kenapa-kenapa! Lalu tepat saat aku merasa cairan kental mulai menetes ke kakiku, untuk pertama kalinya sejak 150 hari aku terkurung di sini, pintu di depanku tiba-tiba terbuka.
Aku tersentak.
Wajah yang muncul setelahnya membuatku diserang ketakutan itu lagi. Dia tersenyum. Dia menatapku dengan mata yang tak akan kulupakan seumur hidup.
“Ke-te-mu.”
Dia mengayunkan kunci dan menutup pintu di belakangku. Tatapan yang sama, gerakan yang sama, dia mengingatkanku seperti ketika dia menyusup ke kamarku dulu.
“Ayah ….”
“Kamu seharusnya ngerawat tubuh kamu dengan baik. Sekarang … gimana kita bisa bersenang-senang?”
“Ayah … ampun.”
Aku terduduk di lantai dan wajahnya yang semakin dekat membuatku menggigit bibir. Tidak. Jangan lagi.
“Seharusnya … anak pungut kayak kamu gak boleh bertingkah kayak gini. Kenapa kamu gak pernah nurut sama saya?”
Dia menyeringai. Senyumnya yang lebar membuat sekujur tubuhku gemetar. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana dia mendekap kepalaku dan mengelusnya pelan-pelan. Bagaimana dia dan suara beratnya berbisik di telingaku. Lantas begitu dia menyanyikan lagunya yang seperti sebuah senandung kematian, aku sadar aku tidak akan pernah bisa keluar dari sini, hidupku tidak akan pernah bisa sempurna lagi.
Sialan.
“Sekarang,
nanti,
dan selamanya
Ayo kita terus main sama-sama
Di sebuah negeri yang tak tersentuh manusia,
Ayo
Kita mati dan menghilang sama-sama.“ (*)
Palembang, 24 April 2020
Elliyah Fatmala, kelas 2 SMA, yang Juli nanti bakalan genap 17 tahun, tapi satu-satunya yang membuat ia bersemangat cuma perpustakaan dan aroma buku-buku.
Komentar Juri:
Sudah menjadi tugas penulis untuk membuat sebuah cerita yang mampu memberikan efek atau kesan mendalam bagi pembaca, baik lewat narasi, permainan emosi, atau penonjolan beberapa adegan tertentu, dan naskah kali ini mampu menghadirkan “efek” tersebut.
Lewat narasinya yang pekat, kita diajak menyelami pikiran serta trauma yang dialami tokohnya. Ia menuliskan beberapa poin yang sama berulang-ulang—“aku anak baik”, “aku harus melakukan semuanya dengan sempurna”, serta hitungan “5, 7, 8” yang ternyata jadi sangat mengganggu—guna menunjukkan betapa hal-hal tersebut membelit tokoh, juga kita sebagai pembaca, dalam teror tersendiri. Selain itu, penulis juga mampu membawa kita secara perlahan menuju chaos di paruh akhir cerita: 5, 7, 8 … mari membuat semuanya sempurna.
-Devin Elysia Dhywinanda
Tantangan Lokit adalah perlonbaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup KCLK.