Sebuah Kegagalan
Oleh: Alena Winker
“Akhirnya, selesai juga permasalahan ini. Semoga ini menjadi pilihan yang terbaik buat kita ya, Sha.”
“Iya, Mas. Semoga kita bisa sama-sama berbahagia ke depannya dengan jalan yang kita pilih ini.”
***
Juni, 2016.
Di sebuah taman kota yang sepi pengunjung, tapi penuh oleh hijaunya pepohonan, tampak seorang gadis dengan gaya casual sedang menatap kosong hamparan pepohonan di depannya. Ada perasaan kalut yang tengah dia hadapi. Itu terlihat dari caranya mengigit bibir bagian bawahnya. Dari arah belakang gadis itu, terlihat seorang gadis bergaun hitam bercorak bunga-bunga yang berjalan ke arahnya.
“Sha,” panggil gadis tersebut seraya menepuk pundak orang di depannya.
“Copot eh copot! Ih, Melly. Kamu tuh bikin aku kaget aja.”
“Lagi mikirin apa sih, Sha? kamu sampe kaget gitu.”
“Keluarga besarku memaksaku untuk ikut perjodohan, sementara kamu tahu sendiri aku masih betah melajang,” jawab gadis tadi.
“Ya, udah ikuti saja keinginan keluargamu, belum tentu juga kalian berjodoh.”
***
Hari perjodohan antara Sharon Ayu Wijaya dan Didi Prayitno akhirnya tiba juga. Balutan kebaya di tubuh Sharon ditambah riasan wajah sederhana dan tatanan rambut yang sederhana membuat Sharon semakin terlihat cantik. Ya, walaupun dalam hatinya ada rasa kesal harus mengunakan pakaian yang membuatnya sulit bergerak. Didi juga tak kalah tampan dengan balutan kemeja batik bercorak ala saudagar-saudagar disertai celana kain hitam dan memakai sepatu pantofel.
Keduanya tampak malu-malu kucing untuk saling menyapa terlebih dahulu. Kedua belah pihak keluarga telah mengirimkan kode untuk meninggalkan mereka berdua agar mereka dapat berkenalan lebih lanjut. Keduanya saling bertukar nomor ponsel dan berkenalan seperti umumnya orang yang baru kenal. Di akhir pertemuan pertama ini, mereka sepakat untuk bertemu kembali untuk mendekatkan diri.
Perjalanan cinta Didi dan Sharon dimulai. Mereka sering keluar bersama dan melakukan beragam kegiatan bersama. Hubungan mereka kian hari kian dekat, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di bulan Desember 2016. Sebuah pendekatan yang singkat, bukan? Itu hanya terpaut waktu enam bulan dari mereka bertemu pertama kalinya. Tapi, begitulah cinta. Kita tak tahu kapan ia akan datang dan kepada siapa cinta itu berlabuh. Pernikahan Didi dan Sharon berjalan lancar dan khusyuk saat akad nikah. Resepsi diadakan di sebuah hotel bintang lima dan tentu saja dengan segala kemewahan yang ada. Para undangan menikmati hidangan dan hiburan dengan senyum dan tawa di bibir mereka, terkecuali seorang gadis di pojokan ruangan yang menatap pengantin dengan tatapan sedih.
***
Tiga tahun sudah pernikahan kami berlangsung. Tetapi beberapa waktu ini Mas Didi sikapnya tidak seperti biasanya. Akhir-akhir ini Mas Didi sedikit tertutup dan mudah marah jika aku bertanya tentang beberapa hal di perusahaan. Telepon genggamnya yang biasa tidak dikunci, mulai dikunci dengan kunci yang tak pernah dia beritahukan kepadaku. Padahal, kami selalu terbuka dalam segala hal. Hampir tidak ada rahasia di antara kami. Dan jika aku hendak atau ada di dekat ponselnya, dia selalu buru-buru mengambil benda tersebut. Kecurigaanku mulai tumbuh, jangan-jangan dia ada main di belakangku.
Suatu ketika, tanpa sengaja aku menemukan sebuah jejak yang menunjukkan jika dirinya telah bermesraan dengan wanita lain. Ada jejak parfum dan lipstik yang menempel di kemejanya. Ketika aku bertanya, dia marah kepadaku dan hampir melakukan kekerasan. Ya, memang kami sama-sama keras jika sudah beradu argumen.
Pada akhirnya aku terpaksa mengalah, tapi bukan berarti aku berhenti di sana. Aku mulai menyelidiki tentang suamiku. Diam-diam aku mengikutinya pada saat dia berpamitan kepadaku untuk pergi ke luar kota dengan alasan ada proyek yang harus dia urus. Padahal aku tahu benar dari sekretarisnya, jika dia tidak ada jadwal ke luar kota, yang ada dia meminta dikosongkan jadwalnya beberapa hari ke depan. Dan benar saja, dia tidak pergi untuk proyek, melainkan ke sebuah rumah di pinggiran kota. Rumah yang sederhana, namun penuh dengan tumbuhan hias. Dia keluar dari mobilnya dan disambut oleh seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan yang sedang menggendong balita berusia sekitar dua setengah tahun.
“Ayah …,” celoteh anak tersebut.
Apa? Ayah? Kenapa anak tersebut memanggil Mas Didi dengan sebutan ayah? batinku.
Tanpa sadar, air mataku menetes. Segera kuusap air mata itu. Seperti mendapat pukulan yang luar biasa sakit ketika mendengar dan melihat kejadian tadi. Meski begitu, aku tak lupa untuk mengambil beberapa foto ketika Mas Didi dan anak tersebut tengah saling memeluk dengan hangat.
***
“Apa ini, Mas?” tanyaku seraya melempar cetakan foto-foto yang aku ambil beberapa waktu lalu.
“Jadi, inilah waktunya, ya.” Mas Didi menarik napas panjang, lalu melanjutkan penjelasannya, “Dia Nathan, anakku dengan Emy, mantan kekasihku yang beberapa waktu ini kembali dekat denganku. Aku khilaf, Sha. Maaf…,”
Ucapan Mas Didi membuatku semakin lemas dan hancur.
“Lalu bagaimana maumu sekarang, Mas? Jujur aku sangat kecewa.”
“Aku tak tahu, Sha.”
“Jadi ini alasanmu selama ini tidak seperti biasanya?”
“Iya, Sha.”
“Baiklah, Mas. Kita akhiri saja rumah tangga ini, walau bagaimanapun, Nathan perlu keluarga yang lengkap, Mas. Sementara aku tidak ingin dimadu.”
“Kamu yakin, Sha?”
“Iya, Mas. Silahkan kirim gugatan cerainya.”
“Baik, jika itu maumu. Maaf dan terima kasih, Sha. Kuharap kita masih dapat menjalin tali silaturahmi.”
“Aamiin.” []
Alena Winker, merupakan gadis kelahiran kota kembang, dirinya sedang mencoba untuk menulis rutin saat ini. Dirinya menyukai warna yang kalem dan makanan dengan cita rasa yang kuat.
Editor: Imas Hanifah N