Sebuah Karma

Sebuah Karma

Sebuah Karma

Oleh : Niluh

 

Sukerta duduk termenung di teras. Udara panas yang berpilin-pilin di ujung kemarau dan angin melepaskan sehelai daun cokelat di ujung ranting pohon mangga, memutirnya berputar-putar sejenak di udara, sebelum meletakkannya pelan-pelan di atas tanah berdebu. Tanah yang panas menyengat seperti nasi baru tanak.

Angin semilir itu tak cukup kuat mengusir kegerahan di tubuh dan kepala Sukerta. Sudah lebih dari empat bulan Sukerta terpaksa tinggal di rumah karena pandemi yang sedang melanda bumi. Tabungan yang dia simpan selama 10 tahun bekerja sebagai guide makin menipis. Biaya hidup untuk enam kepala ditambah hidup di desa yang banyak pengeluaran. Ya, meskipun hidup di desa, kewajiban untuk membayar upacara-upacara di pura memang cukup banyak.

Hidup menjadi masyarakat Bali yang masih memegang tradisi, budaya, dan agama secara bersamaan membuat dia merasa berat. Dulu saat menjadi guide, hal itu mungkin tidak masalah, tapi untuk saat ini pengeluaran lima puluh ribu saja sangat  berarti baginya.

Dua puluh lima hari lagi umat Hindu akan merayakan hari raya Galungan. Namun, sebelumnya ada begitu banyak rentetan upacara yang butuh dana atau biaya. Hari ini saja diselenggarakan Tumpek Uduh atau upacara yang dikhususkan untuk tumbuh-tumbuhan. Masyarakat Hindu berharap agar tumbuh-tumbuhan berbuah lebat yang nanti bisa dijual atau digunakan saat Galungan nanti.

Satu minggu sebelum Galungan, masyarakat Hindu akan melakukan upacara Sugihan Jawa—”sugihan” artinya “pembersihan” dan “jawa” berati “luar”—yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan serta menyucikan segala sesuatu yang berada di luar diri manusia. Keesokan harinya, akan diadakan lagi Sugian Bali atau upacara untuk menyucikan yang ada di dalam diri manusia.

Setelah itu akan ada lagi hari Penyajan—tiga hari sebelum Galungan—dan Penampahan keesokan harinya. Saat Penampahan, masyarakat Hindu biasanya melakunan pemotongan babi sebagai simbol membunuh hawa nafsu yang ada di dalam diri manusia. Nantinya, daging babi tersebut akan digunakan sebagai pelengkap dalam upacara Galungan.

Memikirkan hal itu membuat kepala Sukerta semakin sakit. Dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk melakukan serangkain upacara itu? Uang tabungannya saja hanya cukup untuk dia bertahan selama 3 bulan ke depan.

Meski dia yakin Ida Sang Hyang Widhi pasti memberinya jalan, bisnis pariwisata telah lumpuh total dan itu benar-benar berdampak baginya yang hanya mengandalkan tamu-tamu asing yang membutuhkan jasanya sebagai pemandu wisata.

“Bapak, beras sudah habis,” bisik istrinya yang menyadarkannya dari lamunan.

“Kan, baru tiga hari yang lalu kita beli?”

“Semenjak anak-anak sekolah di rumah, mereka menjadi banyak makan.”

Wajarlah, karena banyak waktu luang daripada aktivitasnya sehingga nafsu makan mereka meningkat, pikir Sukerta.

Napasnya sedikit tertahan di tenggorokan begitu melihat isi dompetnya hanya selembar uang lima puluh ribu.

“Ini. Gunakan untuk membeli beras semuanya, Buk.”

“Jika kita gunakan semuanya membeli beras, untuk lauknya bagaimana?”

“Yang penting ada beras dulu. Yang lainnya biar kita pikirkan nanti.”

Dalam sebulan, Sukerta sudah menghabiskan lima juta untuk kebutuhan keluarga: kebutuhan makan, kuota untuk anak-anaknya belajar, listrik, air, dan obat untuk ibunya yang sedang sakit.

Air mata menggenang di pelupuk mata matanya. Kali ini langkahnya sangat berat. Dia juga bingung harus mencari pekerjaan ke mana lagi. Semua tempat justru mengurangi karyawannya.

***

Sore itu saat Sukerta tengah memotong rumput yang ada di halaman, tiba-tiba terdengar teriakan dari anak bungsunya yang memanggil namanya dari dalam rumah. Dia langsung berlari ke dalam rumah. Sukerta melihat anaknya berusaha membopong nenek mereka.

“Tadi, tiba-tiba Ninik jatuh di kamar mandi,” jelas Nyoman dengan napas mengebu-gebu.

“Kamu segera keluarkan motor dan kita bawa Ninik ke rumah sakit.”

Untung saja mereka tidak terlambat membawa Ninik ke rumah sakit. Sedikit saja terlambat maka nyawa Ninik tidak akan terselamatkan lagi. Akhirnya, Ninik harus dirawat inap sampai dia pulih.

“Bagaimana, Pak? Biaya rumah sakit Ibu?” tanya istrinya. Sudah lima hari Ninik dirawat dan belum ada kemajuan sama sekali. Dia masih tertidur di ruangan yang hanya boleh dikunjungi pada jam-jam tertentu, itu bertujuan agar pasien dapat beristirahat tanpa ada gangguan. Selama itu juga tamu tidak boleh datang berkunjung.

“Terpaksa nanti kita ambil tabungan kita.” Istrinya langsung menunduk mendengar jawaban Sukerta. Sebagai anak tunggal, Sukerta harus bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri, itu pula yang membuat bebannya sungguh berat kali ini.

“Ratu Sang Hyang Widhi Wase, apa lagi yang harus saya lakukan?” ucapnya lirih saat menjaga ibunya di rumah sakit.

Istri Sukerta memberi isyarat agar mereka keluar sejenak.

“Buk, kayaknya kita harus mengambil semua tabungan kita untuk biaya rumah sakit,” tuturnya.

“Apa tak ada jalan lain selain mengambil simpanan?” tanya Istrinya.

“Sudah tidak ada yang bisa kita jual, Buk. Jika kita menjual motor anak-anak, kasihan. Mereka tidak ada kendaraan jika harus sekolah dan kuliah.”

“Pak, jual saja ini.” Istri Sukerta menyerahkan sebuah kalung emas.

“Jangan, Buk, kan itu pemberian Bapak sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita.”

“Sudahlah, Pak. Besok bisa dibeli lagi.”

Sukerta tahu istrinya berusaha terlihat tegar di balik suaranya yang bergetar menahan tangis.

“Ibu pakai lagi. Bapak akan memikirkan caranya dan yakin saja pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.”

Sukerta ingat sebuah tawaran yang diberikan Wayan Kaler saat dia datang menjenguknya di rumah sakit.

“Bagaimana? Kau mau? Uangnya juga lumayan,” katanya sambil mengisap rokok.

“Aku takut dengan risikonya.”

“Aku sudah menjalankan pekerjaan itu hampir lima tahun. Sampai hari ini tidak ada masalah.”

“Mungkin saja kau sedang beruntung.”

“Tapi, itu, sih, terserah kamu saja. Aku tidak memaksa, hanya berusaha menolongmu dari masalah yang sedang kau hadapi.”

Wayan Kaler, yang tak lain temannya di kampung, menawarinya untuk ikut menjadi penjual barang-barang haram.

“Untuk sementara kau ikut dulu denganku sambil aku kenalkan kepada pelanggan-pelangganku.”

“Kalau mau, besok aku jemput kamu jam sepuluh di rumah dan akan aku kenalkan kepada bosku.”

Sukerta masih ragu, tapi dia memang memerlukan uang dengan cepat. Sukerta pun menyetujui ajakan temannya.

****

Sukerta sungguh tidak mengerti bagaimana cara alam bekerja dengan luar biasa. Ini mungkin yang mengatakan ini karma.

Siang itu Sukerta dan Kaler mengendari motor menyusuri jalan raya Kuta yang tampak sepi semenjak pandemi ini. Mereka berhenti di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi.

Wajar jika seorang bandar memiliki rumah besar nan megah. Bisnis ini memang mendatangkan keuntungan besar, batin Sukerta.

Pandangan Sukerta berkeliling melihat lukisan yang terpajang di ruang tamu. Semuanya beraliran abstrak: ada gambar wajah perempuan yang tidak jelas bentuknya, ada juga lukisan yang hanya berisi coretan warna saja. Entah apa bagusnya semua lukisan abstrak itu, sungguh Sukerta tidak memahaminya.

Dari ujung tangga, muncul seorang lelaki tua yang berjalan dengan tongkat. Sukerta sedikit terkejut. Dia kira bos bandarnya adalah seorang lelaki bertubuh tegap dan kekar. Namun, ternyata orang itu hanya lelaki tua berambut putih yang memiliki mata hitam kelam; badannya bungkuk, kerutan-karutan terlihat jelas di wajahnya.

Tatapan lelaki tua itu pun sedikit terkejut begitu melihat Sukerta dan dengan langkah tertatih-tatih, dia menghampiri Sukerta lalu memeluknya.

“Akhirnya waktu mempertemukan kita,” ucapnya dengan mengeratkan pelukannya di tubuh Sukerta.

Sukerta bingung dengan perkataan lelaki tua itu. Kemudian Sukerta digiring untuk duduk di sebelahnya. Kini mata lelaki tua itu berbinar-binar seolah-olah dia melihat harapan.

“Bos kenal dengan teman saya?” tanya Wayang Kaler. Lelaki yang dia panggil “Bos” hanya tersenyum saja. “Ini teman yang saya ceritakan kemarin. Dia sedang membutuhkan uang untuk biaya perawatan ibunya yang sedang sakit.”

“Benarkah itu?” tanya lelaki tua itu pada Sukerta yang hanya dijawab dengan anggukan.

“Berapa uang yang kau butuhkan? Aku akan berikan.”

Kini Sukerta yang terkejut dengan jawaban lelaki itu.

“Uang berapa pun tidak akan sanggup membayar apa yang telah kamu lakukan padaku,” jelasnya membuat Sukerta semakin bingung.

“Maksud Bapak?”

“Kau sungguh tak ingat padaku?” Sukerta hanya menggeleng saja.

“Aku adalah orang yang kau tolong dulu ketika terjadi tabrakan di by pass Ngurah Rai. Dan kau juga yang membawaku ke rumah sakit. Bahkan kata perawat, kau juga mendonorkan darahmu padaku. Saat itu aku berusaha mencarimu. Aku ingin berterima kasih karena kau aku bisa hidup sampai saat ini. Jadi berapa pun biaya yang kau butuhkan aku akan memberikanmu sebagai tanda terima kasihku.” Penjelasan lelaki tua itu membuat Sukerta terperengah. Dulu dia memang pernah menolong seseorang orang mengalami kecelakaan tunggal di jalan by pass. Saat itu dia baru saja mengantar tamu ke bandara setelah selesai menikmati liburan di Bali.

“Terima kasih Bapak masih mengingat saya. Terima kasih jika Bapak ingin menolong saya dengan membayarkan rumah sakit ibu saya. Tapi maaf, Bapak. Saya tidak mau. Berikan saja saya pekerjaan dan itu lebih dari cukup. Dengan pekerjaan, saya tidak hanya bisa membayar rumah sakit tapi juga kehidupan untuk keluarga saya.”

“Oke. Besok datanglah ke sini seorang diri. Aku akan memberikan kamu pekerjaan.”

****

“Aku tidak akan memberikan pekerjaan yang bisa membahayakan nyawamu setelah kau menolong nyawaku,” ucap lelaki tua itu ketika Sukerta bertemu keesokkan harinya.

Pekerjaan Sukerta hanya duduk sambil mengecek pengiriman dan pemesanan barang yang diterima. Dia tidak hanya membayar lunas biaya rumah sakit ibunya, tapi bisa merayakan Galungan meski secara sederhana tanpa mengambil uang tabungannya. (*)

 

Niluh, perempuan Bali yang menyukai anak-anak dan pencinta kopi tanpa gula.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply