Sebuah Kabar
Oleh : Ning Kurniati
Kabar ini menghebohkan seluruh orang-orang dusun. Mairo, lelaki tua berumur enam puluh dua tahun yang memiliki kelainan jiwa dan sering bicara tidak jelas, mengomentari siapa saja dan apa saja tanpa henti—yang mungkin setahun lagi akan meninggal, menurut kelakar para peminum tuak—membonceng motor gede Arme, anak tunggal Mindoro yang juga memiliki kelainan jiwa. Arme sering tiba-tiba mengamuk atau memerankan karakter polisi, padahal pada kenyataannya ia adalah seorang calon tuan tanah, satu-satunya generasi penerus orang tuanya.
Ibu-ibu yang melihat langsung kejadian itu terbahak-bahak. Mereka saling berteriak satu sama lain dan akhirnya memutuskan untuk berkumpul di suatu rumah, membicarakan kejadian tersebut. Seolah kejadian itu adalah hal yang fantastis bagi mereka.
Mindoro yang kebetulan melintas dengan tiga ekor sapinya di jalan dusun ikutan geli. Arme sempat melambatkan laju motor dan menyapanya dengan klakson serta senyuman layaknya seorang anak yang bertemu ayahnya di jalan. Tampak normal kelihatannya, andai Mindoro dan orang lain tidak melihat jeriken bekas oli warna merah dan bohlam lampu rumah berbentuk bundar tepat di belakang Mairo.
Mairo, dengan punggung yang bungkuk, ikut menyapa. “Hoi, Mindoro. Ayo kita ke pasar!” Wajahnya menampilkan raut muka gembira. Tidak ada yang tahu kenapa. Namun siapa pun bebas berpendapat, kalau itu mungkin karena ia sedang membonceng di atas motor gede Arme. Mungkin baginya ini adalah hal yang menakjubkan. Atau entahlah. Siapa yang mau repot memikirkan ini dalam waktu yang lama.
Namun Mindoro tidak bisa mengenyahkan kejadian ini dari benaknya. Di sepanjang jalan ia terus-menerus tersenyum geli. Ia begitu penasaran bagaimana awalnya mereka bisa bersama. Di mana mereka bertemu dan pembicaraan semacam apa hingga si tua Mairo bisa membonceng di motor Arme. Dan akan ke mana mereka?
Lalu begitu ia menjumpai ibu-ibu yang tengah berkumpul, ia tidak bisa lewat begitu saja tanpa berhenti barang sebentar. Ia penasaran, apalagi yang akan dikatakan orang-orang ini. Di pihak lain, ibu-ibu itu juga penasaran, apa tanggapan Mindoro saat melihat kedua orang yang sama-sama tidak waras itu bersama.
“Iya, aku melihatnya,” jawab Mindoro ketika salah satu dari ibu-ibu itu, yang memakai daster berlubang di bagian ketiak, bertanya apa ia melihat mereka. Ini sekadar basa-basi. Sebab siapa pun pasti akan bisa mengira kalau mereka berpapasan. Arme baru saja melintas di sepanjang jalan dusun itu dan Mindoro tidak buta. Mereka sama-sama tahu ini.
“Tapi ke mana mereka akan pergi?” tanya yang lain.
“Nah aku juga tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya.”
“Apa tadi ia berhenti dan mengajakmu bicara?”
“Tidak, kami tidak sempat bicara. Arme cuma menyapaku sebentar saja.” Mendengar ini, sekelompok ibu-ibu itu tampak kecewa. Harusnya mereka bisa mengetahui ke mana kedua orang itu akan pergi. Kejadian ini akan menjadi lebih menarik. Sebab tampaknya pembicaraan sudah selesai karena kurangnya bahan cerita, Mindoro pamit untuk melanjutkan perjalanannya.
Kejadian ini pun diketahui oleh istri Mindoro. Ia mengetahuinya saat Mindoro pulang ke rumah tepat sebelum azan Magrib. Namun tidak seperti Mindoro, begitu mendengar kejadian itu istrinya tidak tertawa, malah takut karena biasanya Arme sudah pulang kalau malam menjelang. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada anak itu?
“Sudahlah, Ara! Ya memang seperti itulah anak kita. Tapi tidak usah khawatir, tidak akan terjadi apa-apa pada mereka. Siapa pun yang bertemu dengan mereka pasti akan tahu kondisinya. Semua orang akan maklum.”
Ara terdiam di tempatnya duduk di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang kepada kedua orang itu. Sungguh pasangan bepergian yang ajaib. Lalu ia pun tertawa memikirkan ini. Di sela tawanya itu, terdengar suara motor yang sering ia dengar setiap hari. Itu suara motor Arme. Anak itu masih sempat menggas motornya berkali-kali. Lalu barulah ia memarkirnya.
Pintu rumah segera terbuka lalu Ara bergegas keluar untuk melihat Arme. Ia langsung memeriksa dengan matanya keadaan anak itu dari ujung rambut hingga ujung kaki dan seketika itu ia lega. Tak terjadi apa-apa pada anak gila ini, ia segera menggandeng anaknya dan menggiringnya untuk duduk di sofa.
“Kau dari mana, Nak?”
“Aku dari jalan-jalan, Ma.”
“Iya, tapi ke mana?”
“Ke kecamatan. Aku mengajak Mairo jalan-jalan, Ma. Aku tadi melihatnya di depan rumah kita bicara sendirian, berjalan sendirian. Jadi aku bilang padanya, kalau aku akan mengajaknya jalan-jalan dan ia langsung naik di motorku. Aku senang.”
Setelah mengatakan itu, Arme masuk ke ruang makan meninggalkan mamanya yang masih duduk di sofa. Namun, tiba-tiba ia kembali dan bilang, “Jangan takut Ma. Aku ini seorang polisi.” Mamanya tersenyum dan inilah akhir dari kabar kejadian yang didenganya itu. Ia tidak perlu takut lagi. (*)
15 Februari 2022
Ning Kurniati, penulis amatir.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata