Sebuah Janji

Sebuah Janji

Sebuah Janji

By: Reza Agustin

 Matahari telah sampai pada takhta puncaknya. Awang mendongak, matanya memicing begitu terkena sengatan cahaya. Sebelah tangan ia angkat, menghalangi sinar matahari yang membakar pantai berpasir putih ini. Hari ini dan sepuluh tahun yang lalu. Tanggal yang sama kala janji antara mereka terucap. Tentang tiga anak laki-laki yang begitu polos, merindu impian yang seakan tidak sanggup untuk tergapai.

 “Aku mau jadi tentara suatu hari nanti,” celetuk Bimo sambil terus berjalan membelah debur ombak yang malu-malu mengikis pasir pantai.

 “Kamu cuma anak nelayan, emang bisa apa?” balas Dani skeptis. Dia yang paling jangkung di antara mereka bertiga. Kulitnya paling terbakar sengatan matahari jika dibandingkan Awang dan Bimo.

 “Kemarin kamu bilang juga mau jadi tentara Dan! Dih nggak asyik kamu. Kata pak guru kita harus menata mimpi tinggi-tinggi sampai langit.” Bimo merengut kesal, kedua tangan berkacak pinggang.

 “Dengar ya Dan, kita cuma anak nelayan. Buat makan aja susah, apalagi buat bermimpi. Jangan mengkhayal yang aneh-aneh. Ujian SD aja belum tamat sudah mau sok jadi tentara,” balas Dani kecut. Bibirnya memang nyaris tak pernah diberi filter agar berucap lebih ‘manusiawi’. Kata-katanya nyaris berisi nama-nama hewan populer yang kerap dilontarkan para preman di pasar saat menyumpahi petugas Satpol PP. 

 “Awang, kamu kok nggak menyahut sih? Jangan takut buat bermimpi, kamu pasti punya mimpi juga ‘kan?” Bimo menatap Awang lekat-lekat. Tak seperti Bimo dan Dani yang sering berargumen keras seperti calon rakyat yang berkampanye, Awang lebih seperti seorang moderator. Ia akan menengahi keduanya jika dirasa perlu. Namun hari ini ia lain. Lebih banyak menutup mulut dan menatap kakinya, menunduk.

 “Sekarang sudah tak ada tempat buatku bermimpi, satu-satunya alasan agar aku masih bisa bersekolah juga sudah tidak ada. Mungkin setelah lulus SD aku akan langsung ikut paman melaut,” ujar Awang sendu.

 Barulah Bimo dan Dani mengerti maksud Awang. Bapaknya lari bersama biduan dangdut, meninggalkan ibunya yang masih tergolek di atas dipan karena asma akut. Hanya uluran tangan dari saudara dan tetangga yang mampu membuat Awang dan ibunya bisa bertahan hidup. Setidaknya ia tidak mengemis di bawah jembatan.

 Keheningan tercipta di antara tiga bocah itu. Hanya debur ombak dan kicau camar di angkasa yang tersisa.

 “Awang, jika kamu menyerah sama keadaan maka tamatlah sudah. Sebuah kesuksesan bukan datang menghampiri, tapi kita yang harus cari. Kalau kamu menyerah hanya karena tuntutan ekonomi, maka kita kehilangan kekuatan untuk bangkit dan meraih sukses.” Bimo menatap Awang dalam.

 “Halah, omonganmu ketinggian!” Dani menepuk pundak Bimo keras.

 “Kampret, biar Awang semangat sedikit. Kamu juga jangan asal omong, itu aku dengar dari pak guru. Aku laporin ke pak guru, kenyang nanti kamu. Bersihin kamar mandi sama lapangan.”

 Dua bocah itu saling melempar argumen lagi, nyaris bertengkar. Sedangkan Awang tersenyum.

 “Terima kasih kalian sudah mau jadi temanku, terima kasih Bimo buat kata-kata motivasinya. Tapi aku sedang dalam posisi enggak berani buat bermimpi, tapi aku juga enggak akan menyerah. Akan aku hadapi apa yang ada depan dengan apa aja yang aku punya,” ujar Awang dengan senyuman terulas tipis. Beban yang berada di kedua bahunya seakan terangkat.

 Bimo tersenyum lebih lebar, sedang Dani tampak kesal.

 “Kalau begitu kita harus berjanji, di bawah matahari yang sedang terik-teriknya saat ini. Bahwa kita nggak boleh menyerah, kita harus buat hidup kita lebih baik dari sekarang! Oke?” Bimo mengacungkan tangannya ke depan. Menanti dua tangan lain yang akan menyambut.

 Siang itu kala matahari sedang berada di puncak takhta puncaknya. Ketiga sahabat itu saling berucap janji. Tak ada keraguan dalam ucapan mereka walau Dani enggan mengakui bahwa ia juga punya impian yang tinggi.

 “Sudah lama Wang?” Sebuah tepukan mendarat di bahu Awang.

 Ia tak perlu menoleh untuk mendapati pemilik tangan besar yang menepuk pundaknya keras. Padahal hanya sebuah tepukan ringan bagi orang itu, namun ia selalu berkilah saat orang-orang menyebut setiap tepukannya keras.

 “Oh, Dani. Udah setengah jam, aku langsung ke sini sehabis ngantar Ibu ke rumah sakit.”

 “Aku juga langsung ke sini dari bandara, aku kangen sama Bimo,” ujar Dani dengan wajah yang sendu.

 “Dia bakal sedih kalau kamu begitu. Harusnya kamu bisa banggakan pekerjaanmu sekarang di depan dia. Siapa dulu yang cita-citanya jadi tentara? Sekarang malah kamu yang dapat kerjaan itu.”

 Nasib tak pernah ada yang tahu, sejak lulus SD Awang selalu beruntung mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia cukup beruntung untuk mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di salah satu universitas negeri di kota Pahlawan. Sekarang ia sedang memulai karirnya sebagai karyawan perusahaan perakitan mobil berskala internasional.

 “Iya, harusnya aku bisa pamer ke dia. Dan lihat gimana wajahnya sekarang,” tandas Dani dengan senyum simpul.

 Kami menatap pada hamparan laut itu. Sepuluh tahun yang lalu pada tanggal yang sama, Bimo bocah dengan sejuta impian yang tidak pernah padam tergulung oleh ombak pasang. Dan, tidak pernah kembali.

 END

 Reza Agustin, pecinta kucing dan hallyu. Kunjungi wattpad: @reza_summ08 dan Instagram: @reza_minnie.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply