Sebuah Ironi

Sebuah Ironi

Peringatan : Cerita ini merupakan karangan belaka. Kesamaan cerita, tokoh, tempat, dsb. hanyalah kebetulan saja. Cerita ini juga bukan dibuat untuk memojokkan suatu instansi atau suatu kalangan. Diharapkan kedewasaan dalam membacanya.

Sebuah Ironi

Oleh : Alena Winker

Angka kriminalitas di kota ini kembali meningkat dalam sepekan ini. Kasus pencurian, pemerkosaan, pembegalan, bahkan pembunuhan kian hari kian meningkat jumlahnya. Menurut sejumlah saksi mata yang berada di TKP, mereka mencium bau alkohol yang pekat dari pelaku tindak kriminal tersebut. Bahkan seorang korban pemerkosaan mengungkapkan, jika dirinya dipaksa meminum minuman beralkohol hasil oplosan pelaku saat pelaku—yang kini telah ditangkap—memperkosanya. Dari keterangan pelaku, diketahui bahwa terdapat sebuah tempat penjualan miras yang sedang marak di kalangan menengah ke bawah. Sebuah lokasi yang sepertinya tidak mungkin menjadi sentra penjualan miras, mengingat lokasinya yang menjadi salah satu titik jalanan utama.

***

Teriknya matahari tidak menghalangi kami untuk menindaklanjuti keterangan pelaku pemerkosaan tentang tempat penjualan miras ilegal. Benar saja jalan utama di kota ini ternyata yang menjadi pusatnya, belasan bedeng didirikan di sana. Tentu saja itu semua tanpa perizinan. Sebenarnya ada beberapa warga yang telah melaporkan tentang pendirian bedeng tersebut yang membuat ketidaknyamanan bagi warga sekitar. Namun, akibat kurangnya jumlah pelapor menyebabkan kami tidak bisa menindaklanjuti laporan tersebut. Kebetulan sekali hari ini kami menuju ke sana.

Tiba-tiba saat aku tiba di lokasi perasaanku tak karuan saat melihat seorang ibu paruh baya keluar dari sebuah bedeng yang kami datangi.

“Kamu gapapa, Bang? Mukamu sedikit pucat.” tanya seorang temanku.

“I … ya, aku gapapa. Cuma karena kepanasan aja kali, jadi sedikit pusing. Hehehe.” jawabku sedikit berbohong.

Ketika dimintai keterangan tentang pendirian bedeng tanpa izin tersebut, para pemilik bedeng tersebut menjelaskan jika mereka hanya mencoba berusaha berjualan untuk menyambung hidup. Menurut mereka juga, mereka telah membayar biaya ke pemerintah setempat. Ah, lagi dan lagi terjadi pungli yang entah ke mana larinya uang tersebut. Padahal hal tersebut telah diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung serta beberapa undang-undang lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.

Awalnya mereka mengelak saat kami tanyai mengenai penjualan miras ilegal, tapi dengan adanya petugas kami yang menemukan bukti  di dalam bedeng-bedeng tersebut mereka tidak bisa mengelak lagi. Bertong-tong miras racikan diamankan, beraneka ragam botol miras juga kami sita sebagai barang bukti. Beberapa pemilik berusaha melawan. Hal tersebut membuat kami menjadi bersikap lebih keras. Belum lagi panasnya matahari membuat emosi kami cepat tersulut. Walaupun kami telah menerima pelatihan pengendalian emosi, tetap saja kami hanyalah manusia. Razia dan penangkapan penjual miras ini menjadi tontonan masyarakat sekitar dan beberapa penguna jalan yang berakibat membuat jalanan menjadi macet.

Dasar masyarakat yang kurang tontonan bermutu!

Seperti yang sering terjadi, jika ada kebakaran, warga sekitar sibuk menonton dan bukannya membantu memadamkan. Parahnya lagi mereka malah membuat sulitnya petugas pemadam mencapai titik api. Para penjual miras tersebut kami amankan sementara untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dan untuk dimintai pertanggungjawabannya.

Aku menghampiri salah satu temanku yang bertugas sebagai penyidik. Aku menawarkan untuk menggantikannya menulis laporan dari seorang ibu penjual miras dihadapan kami. Dia mengiyakan dan berlalu dari sana setelah menepuk pundakku tiga kali.

“Benar dengan Ibu Juminten?”

“Benar.”

“Baik, Bu, di sini saya ingin menanyakan beberapa hal dari Ibu, dimohonkan kerja samanya.” Aku menatapnya dengan perasaan yang tak karuan.

“Sudah berapa lama Ibu berjualan miras?”

“Sejak puluhan tahun lalu.”

“Mengapa Ibu berjualan miras, apakah Ibu tahu jika itu melanggar pasal 204 dan 300 KUHP?” tanyaku dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur aku merasa tidak nyaman dengan kondisi ini.

“Karena kebutuhan hidup, saya tahu hal tersebut, saya pernah membacanya di buku milik anak saya. Namun, beberapa di antara kalian juga sering membeli bahkan tak jarang pihak kalian juga memungut biaya dengan alasan keamanan dan demi kelancaran usaha kami. Jadi, jangan salahkan kami, jika kami masih menjual miras, mengapa? Karena konsumen kami masih ada. Akan beda ceritanya jika konsumen kami tidak ada.”

“Tapi, tahukah Ibu akibat penjualan miras yang dilakukan oleh Ibu dan teman-teman Ibu menyebabkan angka kriminalitas meningkat. Dan jika memang ada oknum kami yang melakukan hal tersebut seharusnya Ibu melaporkannya.”

“Untuk apa melaporkannya? Cari mati namanya itu. Yang penting usaha tetap berjalan, Nak. Dan perlu kalian tahu juga bahwa menurut berita yang saya pernah baca, beberapa kriminolog menyatakan tidak adanya korelasi langsung antara pelaku kriminalitas dengan mengkonsumsi miras. Selalu ada variabel lainnya dalam tindakan kriminalitas itu seperti rasa marah, dendam, akses senjata, niat jahat dan lain-lain. Jadi bukan karena miras mereka bertindak demikian.”

Sejenak aku berpikir. Apa yang dikemukakan ibu ini ada benarnya juga, tapi tetap saja hukum harus ditegakkan. Walaupun tidak menyebabkan tindak kriminal namun tetap saja itu berbahaya bagi yang mengkonsumsinya dan bisa berakibat meregangnya nyawa seseorang. Penyidikan terus dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan seperti sumber barang, harga jual, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan guna memutuskan rantai penjualan miras ilegal yang entah kapan bisa selesai, mengingat betapa menjamurnya usaha ini. Belum lagi dengan adanya orang yang melindungi dari pihak atas.

“Baik, Bu, pertanyaannya sudah habis, tapi bolehkah saya menanyakan sebuah pertanyaan pribadi?”

“Silakan.”

“Apakah pernah Ibu menyesali perkejaan Ibu?”

“Tidak pernah, karena apa yang Ibu lakukan semuanya adalah untuk kamu dan adik-adikmu bisa menjadi orang. Walaupun Ibu harus bekerja seperti ini. Pesan Ibu tetaplah menjadi polisi yang tidak bisa disuap. Jangan seperti senior-seniormu yang bisa disuap. Ibu bangga padamu, karena kamu tetap menindaklanjuti hukuman untuk ibu.” (*)

 

Alena Winker merupakan gadis kelahiran kota kembang, Bandung. Dirinya menyukai warna cerah. Memiliki kecintaan terhadap teh. Jika ingin mengenalnya lebih lanjut silakan menghubungi instagramnya : @alena_winker.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply