Sebuah Catatan Kelabu

Sebuah Catatan Kelabu

Sebuah Catatan Kelabu

 

Oleh: Titu Eka Parlina

 

🌿🌿🌿

 

Kupacu mobil merahku di hari yang mulai beranjak gelap yang begitu melelahkan, sama seperti hari-hari kemarin. Lampu kota sepanjang jalan raya di kota Yogyakarta mulai menyala. 

 

Where is my angel

haruui kkeuteul deuriun

Someone come and save me, please

jichin haruui hansumppun¹

 

Aku lirik kembali undangan yang kuletakan di dashboard mobil. Sebuah undangan reuni SMA, yang kemudian seakan menyeretku kembali pada kenangan di masa itu. Banyak yang bilang masa putih abu-abu adalah masa yang paling berwarna, tetapi bagiku hanya warna biru dan abu-abu. Masa penuh kesedihan dan ketidakjelasan. 

 

saramdeureun da haengbokanga bwa

Can you look at me? Cuz I am blue & grey²

 

Namaku Lucky, tapi aku merasa menjadi  perempuan yang tidak beruntung, terutama soal cinta. Salah besar jika ada orang berpikiran bahwa wajah cantik memudahkan urusan percintaan dan pertemanan. Seperti aku yang katanya cantik dan dicintai, mengapa sembilan tahun lalu, ketika aku menginjak usia SMA, Mami mengirimku tinggal di asrama, tidak di rumah bersamanya. 

 

Ah, aku lupa! Ada Om Hendra. Lelaki asing tempat Mami bergantung semenjak Papi pergi. Papi meninggalkan beban utang yang tak mampu ditebus dengan sisa harta yang ada. Merasakan keluarga bangkrut dan terpuruk di saat usiaku masih lima belas tahun. Om Hendra menjadi penyelamat, tetapi harus kutebus dengan keluar dari rumah. 

 

Cukup! Aku cukup paham bahwa Mami lebih memilih lelaki asing itu dibanding anak semata wayangnya. 

 

“Jangan benci, Mami. Semua kebutuhan kita, kebutuhanmu, akan dipenuhi om Hendra. Dia bahkan sudah memilihkan sekolah terbaik buat kamu. Hanya saja, dia meminta Mami mengirimmu ke asrama,” ucap perempuan yang dulunya begitu kupuja. Sekarang? Entahlah!

 

“Dan Mami setuju permintaan Om Hendra, kan? Itu artinya, Mami lebih memilih dia daripada aku! Aku! Aku anak Mami! Dia bukan siapa-siapa!” teriakku dengan mata basah oleh air mata. 

 

Dadaku naik turun tak beraturan menahan emosi yang meledak seketika. Aku begitu sakit dan terluka oleh perempuan yang melahirkanku. 

 

I just wanna be happier

nae sonui ongil neukkyeojwo

ttatteuthajiga anaseo nega deouk pillyohae³

 

Rem kuinjak secara mendadak ketika seorang anak tiba-tiba terlihat berlari mengejar seekor kucing kecil dari taman di sisi kanan jalan. 

 

Namaku Lucky, sayangnya hidupku tidak seberuntung itu. I am Lucky who is unlucky. Aku bahkan terbuang dari keluargaku, hanya diberi uang dan uang, tanpa pelukan hangat. Bisa kuhitung dengan jari pertemuanku dengan Mami sejak dia tinggal serumah dengan Om Hendra di villa yang megah seperti istana, tetapi begitu dingin dan tanpa cinta. 

 

Oh this ground feels so heavier

I am singing by myself

 

Peristiwa itu sudah lewat bertahun-tahun lamanya. Aku harus menjalani masa putih abu-abu jauh dari satu-satunya keluarga yang aku punya. Jatuh bangun sendirian dan tak punya teman. Tiga tahun di SMA yang katanya begitu berwarna, terasa begitu sunyi. 

 

***

 

“Hai Lucky! Mobil baru? Enak sekali hidup punya sugar daddy,” ucap Nonny dari kelas IPS. Aku menatap gadis itu dengan galak. Putri sok cantik dan dua temannya itu tertawa puas melihatku yang hanya diam, meski sebenarnya tanganku ingin menamparnya keras-keras. 

 

Sial! Biang gosip itu melihatku bersama Om Hendra suatu sore di Malioboro Mall. Mami sedang sibuk di salon, dan aku lebih memilih duduk di kafe bersama Om Hendra, meski tanpa bicara, sibuk dengan ponsel kami masing-masing. 

 

Saat aku  di kelas XII, Om Hendra menghadiahiku sebuah mobil. Ah, aku tahu … itu cara dia mengambil hati Mami. Atau mungkin, itu permintaan  maaf beliau karena membuangku dari rumah. Sebuah mobil berwarna merah yang masih ada hingga sekarang. Hadiah yang mengingatkan kebodohanku ketika nyaris mengakhiri hidup, hanya supaya Mami mau memperhatikan aku. 

 

Aku ingin Mami tahu kepedihan yang aku rasakan. Berhasilkah? Ya … sebuah mobil berwarna merah! Bukan tangan terbuka yang memelukku kembali ke pangkuannya. Aku tetaplah anak Mami yang terbuang.

 

Aku hanya bisa tersenyum getir melihat mereka didampingi keluarganya saat wisuda SMA di tahun 2015. Apa yang bisa kubanggakan? Seorang Mami yang memilih menjadi simpanan pengusaha kaya dan melepaskan aku?

 

I just wanna be happier

chagaun nal nongnyeojwo

 

***

 

Akhirnya, hari itu tiba. Hari di mana takdir  menuntunku membawa Mami pulang bersamaku, setelah Om Hendra tidak membutuhkannya. Lelaki yang begitu dipuja Mami, mengirimkan sebuah pesan singkat, memintaku membawa Mami yang sakit keluar dari villa megahnya. Bukan karena aku mencintai Mami. Bukan! Om Hendra mengulurkan sebuah cek yang kuterima dengan tatapan dingin. 

 

“Terima kasih,” ucapku singkat. Lalu aku melangkah pergi, membawa Mami tinggal bersamaku. Sebut saja aku anak durhaka! Bisa jadi aku tak ‘kan datang jika lelaki itu tidak memberiku selembar cek. 

 

Meski sekarang Mami kembali bersamaku, tetap saja hubungan kami tidak bisa hangat seperti dulu. Luka itu tidak sepenuhnya sembuh, hanya mengering. Sayangnya, setiap aku menatap Mami, luka itu kembali basah. 

 

“Mau kerja, Mbak Cantik?” Seorang pemuda berwajah tengil dalam balutan seragam putih abu-abu menyapaku ramah. Aku hanya melirik. Nggak penting meladeni abege sok kegantengan yang terlalu percaya diri dan selalu menggodaku. 

 

Sebulan lalu, rumah kosong di sisi kiri kontrakanku, mulai diisi keluarga Handoko. Termasuk anak abegenya yang selalu menggodaku. Namanya Mirza, dan sejak pertama kali dia memperkenalkan diri, telingaku yang terbiasa dengan kesunyian mendadak begitu ramai.

 

Meski menyebalkan, Mirza perlahan memberi warna baru pada hubunganku dengan Mami. Beberapa kali kulihat pemuda tengil itu bisa membuat Mami tertawa terbahak-bahak, hal yang sudah lama tidak pernah kulihat. Ada rasa sedih menyelinap di hati ini. Harusnya aku yang membuat Mami tertawa. Nyatanya, aku masih memasang dinding tebal. Kuabaikan sorot mata Mami yang terlihat sedih melihat sikapku yang dingin.

 

“Hai, Calon Istri baru pulang,” sapa Mirza ketika aku membuka pintu ruang tamu. 

 

Aku melotot tetapi dibalas pemuda itu dengan tawa berderai yang menular ke Mami. Bisa-bisanya Mirza merayu Mami agar mau menerimanya menjadi menantu. Sekilas kulihat dia memeluk Mami yang tersenyum. 

 

“Sekolah yang bener. Inget umur,” jawabku ketus.

 

“Tenang saja, Kakak. Aku nggak keberatan punya istri yang lebih tua,” ucapnya, lalu kubalas dengan lemparan bantal sofa dan mengusirnya pulang. Aku bisa gila kalau terlalu sering melihatnya. 

 

***

 

Sabtu malam menjelang acara reuni, aku sengaja meminta teman kantor, Arya, menjemputku ke rumah. Sayangnya, usahaku membuat pemuda tengil itu sakit hati, ternyata sia-sia. Sekilas mataku menangkap alis mata Mirza terangkat ketika menatap Arya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tidak lama berselang, dia sudah tertawa-tawa dengan Mami sambil menonton TV. 

 

“Mami, Lucky pergi dulu ke reuni sama Arya, ya,” ucapku sambil tersenyum. 

 

“Mas, pulangnya jangan malam-malam, ya. Kasihan Mami sendiri kalau saya pulang. Hati-hati jaga calon istri saya,” ucap Mirza dengan gaya sok serius. 

 

Aku langsung menarik Arya keluar, telingaku panas mendengar ucapan Mirza. 

 

Aku dan Arya tiba di lokasi reuni lima belas menit sebelum acara. Aku masuk ke ruangan bernuansa ungu tanpa banyak menyapa tamu lain yang hadir. Ruangan terlihat meriah dengan aneka pernak-pernik BTS. Entah apa maksudnya. Banyak wajah yang kukenal, tetapi sayangnya aku tidak bisa mengingat nama mereka satu-satu. Aku takut salah menyapa, akhirnya hanya mengajak Arya duduk di pojokan sambil mengamati orang yang datang satu-persatu dengan kostum bernuansa ungu. 

 

Sempat kulihat dari kejauhan ada ribut-ribut. Ada-ada saja. Tubuhku di sini, entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang tertinggal. Tiba-tiba saja ponselku bergetar dan berbunyi. 

 

“Mbak, Mami jatuh di kamar mandi,” ucap suara di seberang sana, Mirza. 

 

“Kok bisa? Kamu nggak bohong, kan?” tanyaku panik.

 

“Serius, Mbak. Mbak langsung ke RS aja, ya. Jangan ngebut. Mami sudah ditangani dokter,” jawab Mirza. 

 

Aku langsung bangkit dari kursi dan menarik Arya keluar gedung menuju tempat parkir. Pikiranku tak tenang. Tanganku terasa begitu dingin. Aku merasa gugup, takut dan sialnya kendaraan yang kami naiki terasa berjalan begitu lambat. 

 

Begitu mobil berhenti di tempat parkir rumah sakit aku berlari kencang menuju ruang IGD. Air mataku tumpah tak terbendung. Aku berlari dengan pikiran kalut. Aku takut … takut kehilangan Mami. 

 

Mirza menangkapku yang nyaris ambruk ketika tiba di depan ruang IGD. Napasku masih tersengal-sengal. Tangan Mirza menarik tubuhku dalam pelukannya. 

 

Where is my angel

haruui kkeuteul deuriun

Someone come and save me, please

jichin haruui hansumppun

 

Ada rasa tenang yang sulit kujelaskan ketika berada dalam pelukan pemuda yang biasanya selalu kuhindari. Pelukan yang begitu hangat dan damai. Aku melonggarkan pelukan ketika mulai bisa mengendalikan logika dan akal sehatku. 

 

“Mami …,” ucapku lembut ketika akhirnya diperbolehkan masuk ke ruang tindakan. Mata Mami terlihat begitu sayu, tetapi bisa kulihat Mami tersenyum sekilas. 

 

I love you, Mami,” bisikku lirih sambil mengenggam kedua tangannya. 

 

Kubawa telapak tangan Mami menyentuh pipiku yang basah oleh air mata. Tuhan, jangan ambil Mami. Maafkan aku yang tidak tahu bersyukur. Beri aku kesempatan untuk bahagia bersama Mami.

 

I just wanna be happier

chagaun nal nongnyeojwo

 

“Saya pasti jaga calon istri dengan baik. Mami nggak usah khawatir, ya,” ucap pemuda yang sedari tadi berdiri di belakangku. 

 

“Bisa diem, nggak?” ucapku galak. Terus terang aku malu menjadi bahan tontonan gratis di ruang IGD hanya karena kelakuan pemuda tengil itu. 

 

“Jangan galak-galak. Nanti cepat tua,” bisiknya di telingaku, sebelum akhirnya meninggalkan  aku menemani Mami di ruang tindakan. (*)

 

🌿🌿🌿

 

Kutipan lagu ‘Blue and Grey’ by BTS, release akhir tahun 2020.

 

  1. Dimana malaikatku

Penghujung hari

Seseorang datang dan selamatkanlah aku

Desahan lelah karena hari yang melelahkan

 

  1. Ku kira semua orang kan senang

Bisakah kau menatap ku? Karna aku adalah biru dan abu-abu)

 

  1. Aku hanya ingin lebih bahagia

agar bisa melelehkan diriku yang dingin

 

Titu Eka Parlina. Tinggal di Bantul Yogyakarta. Sehari hari bekerja sebagai guru di sebuah SMK swasta di Bantul. Mulai aktif menulis sejak 2019

Gambar dari Pinterest

Leave a Reply