Sebongkah Hadiah

Sebongkah Hadiah

Sebongkah Hadiah

Oleh : Sinta Dewi Soebagjo

 

Malam itu, aku pulang dari perantauan. Berharap bisa melepas rindu yang telah lama tersemat di dalam hati. Tentang sosok Ayah, Ibu, Kakak, dan gadis kecil kesayanganku, Fitri.

Aku melangkahkan kakiku yang mulai gontai, menaiki bus jurusan Mojolegi. Duduk di antara penumpang yang lain. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang dengan santai menyesap sebatang rokok, bermain ponsel, berbincang dengan rekan mereka, dan bahkan ada yang terlelap tidur, tak peduli ramai serta bising di sekitarnya.

Lampu bus di malam hari memang sengaja di matikan oleh sang kondektur, ya … mungkin agar penumpang bisa lebih nyaman untuk beristirahat. Aku pun mulai memejamkan mata, mengambil posisi yang dirasa nyaman untuk sekadar mengistirahatkan tubuh yang lelah setelah beberapa tahun merantau.

Di dalam mataku yang tengah terpejam. Terlintas sebuah film semu yang melayang-layang. Berputar seakan tengah dimainkan oleh sang pemilik jiwa. Menghadirkan klise gambar samar, sesosok gadis belia yang telah beberapa tahun silam kutinggalkan. Dengan tangis yang terus menderai, dia memanggilku untuk kembali.

“Kak, cepat pulang, ya. Fitri bakal rindu Kakak,” ucapnya sembari memelukku erat. Kedua tangannya dilingkarkan di tubuhku. Matanya memerah karena air mata. Sesekali aku mendengar bunyi sesenggukan di sela-sela pelukannya.

“Fitri jadi anak baik ya, jangan lupa salat, enggak boleh nakal, nurut sama Ayah dan Ibu. Jagain juga Mas Mardy, ya,” pintaku menenangkannya. Aku pun menyeka air mataku yang tak terasa juga menetes di pipiku. Menyisakan bekas mengkilap di wajah yang mulai sendu.

Mata Ayah, Ibu, dan Mas Mardy yang duduk di kursi roda juga tampak sembab. Aku berpamitan kepada mereka, memeluknya, merasakan hangat dekapan mereka yang menyayangiku. Harum tubuh mereka bahkan sangat kuat, melekat dalam ingatan.

“Kakak janji, kalau pulang akan membelikanku boneka?” tanya Fitri sekarang. Walau air matanya masih belum berhenti mengalir, tapi dia mencoba tegar melepas kepergianku merantau.

Aku mengangguk mantap, tak ingin melihat gurat sedih dan kecewa gadis kecilku itu, kusunggingkan senyum percaya diri, bahwa aku akan membawakannya sebuah boneka ketika pulang kelak.

“Tapi, saat Kakak pulang. Kakak akan sangat sulit menemukanku,” ucapnya membuatku terkejut, dia kembali tersenyum.

“Kakak akan menemukanmu walaupun kamu bersembunyi di bawah meja sekali pun,” jawabku sembari mencubit pipinya yang mungil. Kami tertawa di dalam masa kesedihan.

***

“Mojolegi … Mojolegi,” suara kondektur bus mengagetkanku.

Aku mencoba membuka mata, melihat sekelilingku yang kini sudah terang. Rupanya lampu bus sudah dinyalakan. Aku menggosok-gosok mataku yang masih mengantuk, menarik nafas, lalu membenarkan posisi dudukku yang mulai merosot.

Tanganku meraih sebuah benda berwarna pink yang terbungkus rapi di dalam plastik bening. Aku memandangnya, tersenyum. Sebuah boneka Teddy Bear berukuran besar, sedang duduk manis di dalamnya.

Menggenggam sebuah daun bambu yang menjadi ciri khas makanannya. Matanya bulat hitam dan besar.

“Tiketnya, Mas,” ucap sang kondektur membuyarkan lamunanku. Segera kukeluarkan uang lembaran seratus ribuan dari dalam dompet yang berada di saku celana lalu menyerahkannya kepada sang kondektur. Aku masih tetap fokus ke boneka yang sedari tadi kupegang. “Ini, Mas kembaliannya,” sang kondektur kembali menyerahkan uang kembalian atas ongkos tiket yang sudah kupesan.

“Terima kasih,” ucapku sopan dan meletakkan uang itu kembali ke dalam dompet. Tak beberapa lama setelah itu, bus sudah memasuki area terminal Mojolegi. Aku menghela nafas. Menatap keluar jendela, terdapat banyak orang yang berlalu lalang. Suasana lelah, serta hiruk-piruk udara yang dingin menyelimuti pagi yang masih gelap. Pijaran lampu terminal juga masih belum dipadamkan.

Beberapa orang sudah terlihat berdiri dari tempat duduknya semula, bersiap melangkah keluar sesaat ketika bus sudah terparkir rapi di posnya. Suara langkah kaki mulai menggantikan deru bunyi mesin yang mulai mati. Aku juga bersiap, mengambil barang-barang yang terletak di bawah kakiku. Tak lupa juga boneka Teddy Bear pink yang berada di dalam plastik itu.

Aku menyandang tas ransel yang berat itu di punggungku, menjinjing beberapa bungkusan di dalam kardus dengan ukuran sedang. Melihat sekeliling sudah mulai renggang, aku berdiri. Bersiap melangkah, mengekori para penumpang lain yang telah lebih dahulu melangkah keluar bus.

Beberapa menit kemudian, aku telah sampai di luar bus. Udara pagi itu memang benar-benar dingin. Tulangku bahkan bisa merasakan tusukan angin yang berembus melewati kulitku.

Aku berjalan menuju tempat pangkalan ojek, berharap bisa cepat sampai di rumah. Bertemu mereka yang telah lama kurindukan.

“Ojek, Pak,” sapaku kepada salah satu tukang ojek yang sudah berumur kira-kira enam puluh tahunan. Beliau tampak kurus, urat-urat di pergelangan tangannya pun terlihat jelas. Matanya yang sendu seolah menggambarkan betapa lelahnya ia memikul beban pekerjaan yang berat. Aku tak bisa membayangkan bahwa seandainya tukang ojek itu adalah ayahku. Sungguh, aku merasa menjadi anak yang paling berdosa, membiarkan seorang ayah pergi bekerja di hari yang masih petang.

“Iya, Mas, daerah mana?” tanya beliau sopan.

“Gondangan, Pak,” sahutku tak kalah sopan. Beliau tersenyum senang, mengetahuiku mengorder jasa ojeknya.

Lalu kami pun berangkat, melewati jalan raya yang sudah sedikit ramai dipenuhi pengguna jalan. Bapak tukang ojek itu berjalan lambat, mungkin karena jarak pandangnya yang sudah sedikit berkurang, mengharuskannya membawa motor sedikit lebih pelan. Aku sangat memakluminya, dengan sabar aku terus menunggunya hingga sampai di depan rumah.

Mesin motor bebek keluaran tahun 2001 itu pun seketika berhenti berbunyi. Aku turun dari motor itu. Entah kenapa, bapak tukang ojek itu mendadak terdiam melihat rumahku. Seperti ada yang mengganjal hatinya ketika berhenti tepat di depan rumah berukuran enam kali sepuluh meter itu.

“Ada apa, Pak?” tanyaku heran mendapatinya terdiam, mematung begitu lama di atas motor.

“Ini rumahmu, Nak?” tanyanya ragu. Kembali beliau memandang rumah itu.

“Iya, Pak. Kenapa?” tanyaku semakin penasaran.

“Apa kamu anaknya Pak Sugeng?” tanya beliau kembali. Membuatku terkejut mendengar penuturannya yang mengetahui nama Ayahku.

“Iya, Bapak kenal dengan ayah saya?”

Sejenak beliau ragu, langkahnya semakin beringsut mundur, agak menjauh dari rumah itu.

Kemudian, Ayah dan Ibu keluar dari rumah, beliau menyambutku dengan gembira. Namun, kegembiraan itu sirnah, manakala mereka melihat sosok yang tak asing bagi mereka duduk di atas motor di sampingku.

“Bapak?” tanya Ayah kepada sosok di sampingku. Pandanganku langsung beralih kepada Bapak tukang ojek disampingku.

“I … iya, Pak,” sahut bapak tukang ojek.

“Yah, Fitri di mana? Aji membawakan Fitri boneka, dulu dia memintanya jika Aji sudah pulang,” tanyaku menyela perbincangan Ayah dan bapak tukang ojek. Senyumku mengembang, tak sabar melihat wajah Fitri yang sudah terbayang akan memelukku ketika menerima hadiah boneka dariku.

“Fitri …, dia sudah tidak tinggal disini,” jawab Ayah sedih.

Hatiku langsung bertanya-tanya, apa maksud Ayah ketika mengatakan jika Fitri sudah tidak tinggal dengan mereka lagi disini.

“Tapi, kenapa?” Wajahku seketika berubah, raut wajahku tak lagi gembira, senyum yang sedari tadi tersungging pun mendadak lenyap.

“Ayo, ayah antar menemui adikmu,” ajak Ayah. Beliau menuntun langkahku. Entah akan datang ke rumah siapa kami sekarang. Langkah kakiku begitu berat, Ibu juga mengekor di belakang kami. Begitu pun bapak tukang ojek yang juga ikut berjalan di belakang kami.

***

Betapa terkejutnya aku, ketika Ayah membawaku ke sebuah makam yang tanahnya masih berwarna merah basah. Penuh bunga yang tampak masih segar. Di papan nisan tersemat nama: Fitriani Anisa.

Ya … nama itu adalah nama Adik kesayanganku. Aku terkejut sekaligus terpukul. Mendapati nama Fitri berada di papan nisan sebuah makam.

“Apa-apaan ini, Yah? Apa maksudnya ini?” tanyaku tak percaya. Sementara air mataku tak mau berhenti menetes, mengetahui Fitri telah tiada.

“Fitri sudah kembali, Ji. Allah lebih menyayanginya daripada kita semua.”

“Tapi, bagaimana bisa Fitri tiba-tiba saja pergi? Apa yang terjadi?” tanyaku mendesak Ayah.

Dengan sekuat hati Ayah bercerita di atas makam Fitri yang masih basah, harum bunga masih kuat tercium di indra penciuman kami.

Dua minggu yang lalu, saat Fitri pulang sekolah, tidak sengaja dia tertabrak motor. Tubuh Fitri terpental ke bahu jalan, membuatnya mengalami pendarahan hebat di kepala. Fitri mengalami gegar otak dan koma.

Selama seminggu Fitri koma, namun ternyata dia tidak bisa bertahan. Tubuhnya terlalu lemah menahan sakit yang teramat sangat, akhirnya dia menyerah pada keadaan yang membuatnya harus kembali kepada sang pencipta.

Aku menangis, boneka Teddy Bear yang aku genggam pun terjatuh, tepat di atas pusara Fitri, gadis kecilku yang masih berusia enam tahun saat kutinggal merantau. Takdir memang tidak bisa ditebak, akan bagaimana akhirnya, begitu juga dengan Fitriku, Adik kesayanganku yang kini telah pergi untuk selama-lamanya. Sungguh tak ada yang menyangka, jika diusianya yang masih belia, dia telah pergi menghadap sang memilik hidup.

“Lalu, bagaimana dengan pelaku tabrakan itu?” tanyaku mencoba tegar, walau kenyataannya sangat berat.

“Pelaku tabrakan itu tewas seketika setelah menabrak Fitri, motornya oleng tak terkendali. Menabrak pembatas jalan sehingga tubuhnya menghantam tembok, seketika meninggal,” sahut bapak tukang ojek itu. Membuat mulutku menganga, berpikir bagaimana beliau bisa tahu.

“Bagaimana Bapak tahu?” tanyaku.

“Karena sang penabrak itu adalah putraku satu-satunya yang bekerja sebagai tukang ojek, rem motornya blong, sehingga terjadilah kecelakaan itu,” ucapnya menangis. Tak bisa dipungkiri lagi, kesedihan bapak tukang ojek itu pecah. Beliau harus kehilangan anak semata wayangnya dalam sebuah tragedi kecelakaan.

Aku tak bisa menyalahkan putra beliau, karena dia juga menjadi korban tewas di dalam kecelakaan itu. Aku kehilangan Adikku, Fitri, tapi beliau kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa.

“Maka dari itu, di usia senjaku sekarang, aku masih bekerja sebagai tukang ojek, menggantikan almarhum. Karena tidak ada lagi yang memberiku nafkah, selain tubuhku sendiri,” ujarnya sedih sembari menyeka air matanya yang meleleh. “Maafkan kesalahan putraku, Nak, karenanya kau tak bisa bertemu dan memberikan boneka itu kepada adikmu,” beliau mengapit kedua tanganku, memohon maaf atas kesalahan putranya.

“Tidak, Pak, jangan begitu. Semua memang sudah ditakdirkan oleh yang mahakuasa, kita tidak bisa mencegah atau menghindarinya. Saya ikhlas, Pak, walau berat. Tapi saya tidak mendendam, biarlah semua yang terjadi kita ambil hikmahnya,” ucapku menenangkan diriku sendiri.

Boneka itu kubiarkan tetap berada di atas pusara Fitri, berharap dari atas sana dia mampu melihatnya, bahwa aku memenuhi janjiku untuk menghadiahkannya sebuah boneka padanya. Walau pada akhirnya, hanya batu nisan yang kutemui tersemat namanya: Fitriani Anisa. Gadis kecilku yang berusia delapan tahun.(*)

 

Sinta Dewi Soebagjo, adalah perempuan yang lahir dan besar di kota kecil bernama Probolinggo, pada 14 April 1992. Penyuka warna pink dan ungu. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang mampu melahirkan buku-buku hasil imajinasinya sendiri. Penasaran dengan profil lengkapnya, silakan temukan dalam akun facebook Sinta Dewi Soebagjo. Terima kasih.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply