Sebelum Perbatasan Ditutup

Sebelum Perbatasan Ditutup

Sebelum Perbatasan Ditutup

Oleh: Cici Ramadhani

 


Setelah selesai menyuapi anak-anak sarapan, aku bergegas membersihkan seluruh rumah. Menyapu, mengepel, merapikan lemari buku yang berantakan karena anak-anak, serta menyikat kamar mandi hingga kinclong. Biasanya pekerjaan itu kulakukan hanya satu persatu, tidak sekaligus. Sesemangat itu aku menyambut keluarga dari Medan. 

Awalnya, Mamak bertanya melalui pesan WhatsApp, apakah jalan di perbatasan Medan-Aceh sudah ditutup? Dan aku tidak percaya saat Mamak mengatakan mereka sudah sampai di Stabat menuju rumahku.  

Aku pun melakukan panggilan telepon.

“Jangan gitu, Mak. Jangan PHP dong, bilang mau datang, taunya enggak,” kataku masih tidak percaya. Karena selama percakapan, tidak kudengar suara klakson dari kendaraan lain, atau suara musik dari dalam mobil.

“Siapa yang PHP? Kalau gak percaya, video call coba,” balas Mamak dari seberang.

Kuakhiri panggilan kemudian berjalan keluar rumah. Jika ingin mendapatkan sinyal yang baik saat melakukan video call, aku harus melakukannya di luar rumah. Dan benar saja, terlihat di layar Mamak memakai jilbab beserta masker. Mamak juga mengarahkan kamera ke adikku, Jaka, yang sedang menyetir. Di belakangnya duduk seorang perempuan yang kuduga sepupuku, Echy, dan di sebelahnya terlihat adikku yang satu lagi, Ismail, tengah tertidur pulas. Mereka semua memakai masker, padahal di dalam mobil pribadi, bukan mobil penumpang. Mungkin karena masih pandemi dan harus mematuhi protokol kesehatan, pikirku.

Setibanya keluargaku di rumah, anak-anak menyambut dengan riang gembira. Apalagi saat Jaka membawa masuk parcel besar berisi jajanan. Betapa senangnya mereka. 

Aku mencium takzim punggung tangan Mamak, kedua pipi, serta keningnya. Tidak lupa juga pelukan, melepas rasa rindu. Begitu juga dengan kedua adikku, serta Echy.

“Rebahan, Mak,” ucapku sambil memberikan bantal pada Mamak yang sedang duduk selonjoran di depan televisi. 

Sementara Jaka sudah rebahan duluan di dalam kamar. Empat jam menyetir sendiri, pasti melelahkan baginya. 

Bukannya rebahan, Mamak malah sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Kedua anakku tampak senang karena Eyangnya membawakan baju baru.


“Mamak buka puasa di sini, kan?” tanyaku.

“Jaka, gak bisa, katanya,” jawab Mamak.

“Lah, masa’ ke sini cuma ngantar parcel?” ucapku lirih.

“Namanya rindu cucu, walaupun sebentar, jadilah,” ucap Mamak kemudian menciumi Mahyra.


Tanpa berkata lagi, aku segera bangkit menemui Jaka yang kini duduk di teras, mencari sinyal. Aku pun memintanya untuk berbuka puasa di rumah. Akan tetapi, dia menolak karena sudah ada janji.


Kuapit lengannya, kemudian menyandarkan kepala. “Gak kasihan, Adek sama Kakak?” ucapku terisak.

Jaka tertawa. “Kasihan kenapa?” 

“Kakak sedih, tahu. Lebaran gak bisa pulang, karena masih pandemi. Kakak kan pengen ngumpul rame-rame makan sama kalian.”

“Gak bisa, Kak,” jawabnya lagi.

Karena kesal dan putus asa, aku beranjak, meninggalkannya masuk ke dalam rumah. 

Saat aku ke kamar mandi, aku mendengar Jaka berkata kepada Mamak, mau buka puasa di rumah. Bukan hanya aku yang merasa senang, aku mendengar ungkapan senang juga dari Mamak.

Menurut cerita Mamak, Jaka sudah berada di Medan sejak lima hari lalu, tetapi baru kemarin pulang ke rumah. Karena sebelumnya Jaka dinas di Sukabumi, mungkin dikarantina dulu, pikirku. 

Sebelum berangkat, Mamak juga sudah meminta Jaka untuk berbuka puasa di rumahku, tetapi Jaka menolak dan perkataannya tidak bisa dibantah lagi. Akan tetapi, Mamak masih berharap bahwa aku akan berhasil membujuk Jaka.

Alhamdulillah, Allah Maha Baik, karena membuat Jaka berubah pikiran sehingga aku bisa merasakan berbuka puasa bersama keluargaku.


“Jadi, nanti mau buka apa?” tanyaku.

Mamak, Echy, Ismail, dan Jaka menyebutkan makanan dan minuman yang mereka inginkan. 

Menunggu sore, aku, Mamak dan Echy ngumpul di dalam kamar, sementara suamiku, Jaka, Ismail, dan kedua anakku di ruang tamu.

“Arisan keluarga kita batal lagi, ya?” tanyaku. 

Setahun sekali, keluarga dari pihak Mamak mengadakan arisan untuk menyambung silaturahmi. Namun, karena masa pandemi, sudah dua kali lebaran ini arisan keluarga dibatalkan. Dua kali lebaran juga, aku tidak mudik.

“Iya, Bapak takut jadi sorotan, Kak. Imbasnya nanti jabatannya dicopot,” jelas Echy.

“Iyalah, namanya Om, kan polisi, susah jadinya kalau buat acara masa pandemi gini,” kataku.


“Kalau gak, Kakak ikut Mamak aja pulang ke Medan malam ini,” ajak Mamak tiba-tiba.


“Mak, suami Kakak bukannya bisa ditinggal lama-lama sendiri. Sudah kebiasaan bajunya disiapin, makan dihidangkan. Lagian, dia gak berani melanggar aturan, ada sanksi buat ASN yang mudik.”


Terlihat raut wajah kecewa Mamak. Aku tahu, Mamak merindukan kebersamaan dengan anak, menantu, dan cucu-cucunya. Namun, peraturan sudah ditetapkan pemerintah demi mencegah penyebaran covid 19. 


Saat pukul lima sore, kami–aku dan keluarga dari Medan–pun keluar membeli mie Aceh kepiting, es tebu dan gorengan. Sementara suamiku pergi membeli pecal dan es kelapa muda. 

“Kak, kenapa masih banyak yang gak pakai masker?” Tunjuk Ismail keluar jendela.

“Iya, orang di sini masih banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan,” jawabku. 

Setidaknya, aku dan keluarga masih mematuhi protokol kesehatan. Bersyukur masih diberi kesempatan berkumpul bersama keluarga dan menyantap hidangan di rumah. Meskipun hanya sebentar, tetapi rindu ini telah terobati. Semoga Ramadhan berikutnya kita dipertemukan kembali dalam keadaan lebih baik. (*)

 

Aceh Tamiang, 5 Mei 2021


Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply