Sebatas Impian
Oleh: Triandira
Dian berlari kencang tanpa memedulikan teriakanku. Waktu itu matahari bersinar terik, membuat sekujur tubuhku basah oleh keringat. Apalagi pekerjaan yang baru saja kami selesaikan sudah menguras tenaga. Karena itulah aku melarangnya untuk berlarian hingga tak memerhatikan jalan.
Beberapa kali kulihat ia tersandung batu jalanan, lalu berlari lagi dengan senyum yang mengembang di wajah. Tak lama kemudian, ia sudah berdiri sambil memegang sebuah benda di tangannya.
“Kau beruntung hari ini,” ucapku begitu sampai di dekatnya.
“Iya, Kak. Lihat ini!”
“Hm… tidak terlalu buruk.”
“Bagaimana dengan Kakak?”
Aku menggeleng, lantas mengitarkan pandangan sambil berjalan pelan. Agak jauh dari tempat kami berdiri, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Seorang gadis kecil seumuran Dian baru saja keluar dari mobil yang ia tumpangi.
Gadis itu nampak girang. Ia melonjak-lonjak sambil menunjuk gambar es krim yang terpajang di toko dekat restoran. Saking tak sabarnya untuk menikmati es krim tersebut, ia sampai melupakan sesuatu. Ah, tidak. Sepertinya ia memang sengaja meninggalkannya. Bisa jadi karena tak membutuhkan benda itu lagi.
“Simpan ini. Siapa tahu kita akan menggunakannya nanti,” pesanku pada Dian sembari menyodorkan selembar uang.
“Tapi Kakak jangan lama-lama, ya.” Aku tersenyum, lalu meninggalkan Dian sebentar setelah berpesan agar ia tak beranjak pergi sebelum aku kembali. Ia menggangguk, setuju.
“Yah, aku kira lebih bagus dari yang tadi. Ternyata malah seperti ini,” gumamku dengan raut muka sebal.
“Kenapa tidak ke sini saja?” suara lelaki menawarkan dagangannya. “Harganya murah. Kau hanya cukup membayar lima ribu rupiah dan rasanya pun enak.”
“Tidak, Pak. Terima kasih,” tolakku secara halus. Makanan yang ia tawarkan memang begitu menggiurkan, tapi aku tidak berniat membelinya. Apalagi untuk sebungkus cemilan yang tidak mengenyangkan itu. Lebih baik mencari toko lain yang menjual roti isi seperti di tanganku ini. Dari aroma cokelat yang menempel di bungkusnya saja, sudah bisa ditebak bahwa isinya sangat lezat. Tapi sayang, tidak ada seorang pun yang menjualnya di sekitar sini.
Ya ampun, aku benar-benar lapar. Kuelus perutku yang mulai keroncongan. Rasanya lelah setelah berdiri di depan toko dengan panas yang semakin menyengat. Sudah cukup lama melihat-lihat tapi tidak ada yang sesuai harapan. Ini sudah kesekian kalinya aku tertipu. Kupikir dengan banyaknya pengunjung yang mampir, aku bisa menemukan apa yang kami inginkan. Tapi nyatanya aku salah.
Tak ingin membuang waktu lebih lama, aku memutuskan untuk kembali. Menghampiri bocah perempuan yang tadi kutinggal sendirian.
“Tidak ada ya, Kak?” teriaknya setelah melihatku berjalan dengan tangan kosong.
“Sudahlah, tidak apa-apa.”
“Kalau begitu ….”
“Habiskan saja. Setelah itu kita pergi,” selaku memotong ucapannya. “Lagi pula besok kita bisa ke sini lagi.”
Ia mengangguk, lalu menunjuk ke arah salah satu pengunjung di dalam toko.
“Semoga besok masih ada yang seperti itu.” Aku menoleh ke arah yang ia maksud. Sejurus kemudian ia duduk dan menikmati apa yang sudah tersaji di hadapannya. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum. Cara ia menikmati makanan itu benar-benar membuatku geli.
“Maafkan Kakak, ya. Maaf karena tidak bisa memenuhi keinginanmu,” bisikku dalam hati. Seketika senyum di wajahku menghilang, tepat ketika ia memakan semuanya dengan lahap—sebungkus nasi kotak dengan air mineral di dalamnya.
Pelan, aku mengusap air mata yang menetes di pipiku. Sungguh aku tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Kami terlahir di dunia untuk memungut sampah, agar perut kenyang dan tak lagi merasa lapar.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, gadis penyuka senja yang kini tinggal di kota apel. Penggemar berat Spongebob dan Harry Potter ini sangat menyukai cerita bergenre horror dan thriller.
FB: Triandira
Email: triwahyuu01@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita