Seandainya Kesedihan Punya Harga Diri
Oleh : Imas Hanifah N.
Tiga kisah yang diceritakan oleh temanku ini begitu membekas. Tentang cinta yang ditolak, seorang anak perempuan cacat di dalam angkot, dan seorang pedagang asongan yang menderita katarak. Sangat membekas, sampai-sampai aku merasa tidak akan pernah bisa melupakan semua itu seumur hidup.
***
Temanku datang sambil menangis. Ia mengatakan kalau ia tengah memiliki banyak kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang begitu dalam. Namun, ia juga memiliki kebingungan. Temanku itu tidak mengerti dan pusing memikirkan harus melakukan apa terhadap semua permasalahannya.
“Aku punya tiga kisah yang cukup membuatku merasa kacau.”
“Tiga?”
“Ya, tiga. Kamu harus mendengarnya.”
Aku mengangguk.
“Kisah pertama adalah tentang penolakan. Aku sakit hati karena ditolak mentah-mentah.”
“Cinta?” tanyaku. Hanya ingin memastikan kalau dia tidak sedang melamar pekerjaan.
“Ya, ditolak cinta.”
Sebenarnya, temanku itu sudah cukup tua untuk bisa menerima hal semacam itu dengan lapang dada. Usianya sudah dua puluh tiga. Aku heran.
“Kenapa?” tanyaku.
“Mungkin, karena aku tidak setara. Mungkin karena aku tidak seperti yang diinginkan.”
“Begitu, ya. Seharusnya kamu memang sudah bersiap. Jika kamu berani mengatakan, maka beranilah menerima hasilnya.”
Sedetik setelah aku mengatakan kalimat tersebut, aku jadi menyesal. Seharusnya aku tidak memberinya kalimat sok bijak. Ini tidak akan mengurangi rasa sedihnya. Seharusnya aku mendengarkan saja, sampai ia memintaku berpendapat.
“Maaf, memangnya dia itu baik sekali, ya?”
Temanku mengangguk. “Sempurna. Tanpa kekurangan.”
Aku ingin tertawa sebenarnya. Sempurna? Tanpa kekurangan? Cinta memang buta.
“Lalu? Sekarang apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Dengarkan saja ceritaku yang kedua.”
Aku kembali mengangguk.
“Aku bekerja dengan suasana hati yang buruk. Amat buruk. Aku bahkan sengaja berangkat kesiangan. Hujan pagi itu seolah-olah menangisi kesedihanku juga. Hari buruk yang luar biasa. Akan tetapi, semua berubah ketika aku naik angkot. Angkot melaju dan berhenti di depan sebuah toko yang masih tutup. Dua orang kemudian naik.”
Temanku terisak. Entah, aku belum bisa mengetahui sebab tangisnya yang kini mulai terdengar lagi.
Aku menyodorkan tisu. Ia menyambarnya dengan cepat.
“Mereka adalah seorang ibu dan anaknya yang cacat.”
“Oh, lalu?”
“Tepat ketika mereka naik, anaknya menangis keras. Aku dan penumpang lain terkejut.”
Temanku bercerita sambil terus terisak.
“Salah seorang ibu yang duduk di sampingku bertanya ada apa. Supir juga menawarkan untuk berhenti, takut ada sesuatu yang tertinggal. Anak itu tidak berbicara dengan jelas. Ia menunjuk ke luar jendela dan terus menangis. Anak itu berusaha bicara. Terus berusaha sampai aku dan yang lain mengerti apa yang ia katakan. Anak itu bertanya kepada ibunya tentang siapa itu? Sambil menunjuk-nunjuk ke luar. Padahal tak ada siapa-siapa di sana. Salah satu dari kami kembali bertanya ada apa. Sang ibu menjawab, “Sudah biasa, kok. Lama-lama nanti dia akan mengamuk.”
“Ah, apa anak itu bisa melihat hal gaib?”
Temanku mengangguk dan terus menangis. “Anak itu sangat kurus. Ibunya juga. Anak itu terlihat ketakutan dan menangis. Anak itu tertawa ketika angkot melewati rel kereta dan menangis lagi. Aku sangat sakit hati.”
“Sakit hati?”
Temanku mengangguk.
“Aku masih punya satu cerita lagi.”
Aku menepuk pundaknya. “Ceritakan sebanyak yang kamu mau.”
“Pedagang asongan yang sering lewat, selalu bercerita tentang ia yang sering menutup mata ketika hendak bangkit dari sujud. Ia bilang ia takut melihat cahaya. Ia punya anak dan istri yang harus dibiayai. Namun, dapat kulihat bahwa ia selalu bersyukur.”
Aku mengerti. Maksudku, sekarang aku mulai mencoba mengerti apa inti dari semua cerita temanku.
“Lalu, apa masalahnya? Tiga ceritamu berhubungan?”
“Kamu tidak mengerti, Han? Kesedihanku tidak elit! Kesedihanku tidak lebih sedih dibandingkan mereka. Aku malu, Han. Aku merasa jadi buruk.”
Aku mengambil napas panjang.
“Setiap orang punya kapasitas berbeda dalam menerima kesedihan dan rasa sakit. Tak apa untuk merasa demikian.”
Temanku mulai berhenti menangis. “Aku sadar bahwa kesedihanku tidaklah berarti, tidak berharga. Aku merasa kerdil dan malu. Tapi tetap saja, aku masih sedih. Aku benar-benar merasa kacau.”
Aku jadi merasa bingung juga. Tiga cerita yang disampaikan oleh temanku itu cukup mengambil alih ruangan di dalam kepala ini.
“Terima kasih sudah mendengarkan.”
Temanku berhenti menangis.
“Apa yang kamu pikirkan sekarang?”
“Aku banyak berdoa. Aku berdoa semoga anak dan ibunya yang kutemui beberapa hari lalu di dalam angkot itu menemukan banyak kebahagiaan dan diberikan banyak ketabahan oleh Tuhan. Begitu juga dengan pedagang asongan. Semoga pedagang itu dapat terus hidup dan bersyukur.”
Aku tersenyum. “Lalu bagaimana denganmu? Kenapa tidak berdoa untuk dirimu sendiri?”
Temanku mengangguk. “Benar, aku juga akan berdoa, semoga aku dipertemukan dengan lelaki yang baik dan seperti yang kuharapkan. Lelaki yang perhatian dan memberikanku banyak cinta dan kasih sayang.”
“Bagus.”
Temanku merapikan wajahnya di cermin. Ia mengeluh karena matanya bengkak. Salah siapa, dia sendiri yang merelakan dirinya tenggelam dalam tangisan. Iya, kan?
“Sekarang, aku lapar ….”
Setelah mengatakan kalimat itu, temanku tertawa. Aku juga. Namun, kepalaku masih memikirkan cerita-ceritanya tadi.
Aku merasa beruntung dapat mendengar cerita-cerita tersebut. Lebih dari itu, aku merasa beruntung karena memiliki teman sepertinya.
Oh iya, seandainya kesedihan punya harga diri, apa ia bisa memilih akan ke mana ia pergi? Apakah kesedihan akan memilih dengan tepat kepada siapa ia harus menetap? (*)
Tasikmalaya, 2020
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
*gambar: pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.