Sayap yang Berbeda

Sayap yang Berbeda

Sayap yang Berbeda 

Hari ini kota burung sangat sibuk. Mereka sedang bersiap-siap untuk menghadiri undangan dari raja hutan. Akan ada pesta di sana! Pesta yang pasti sangat meriah!

“Kau akan datang, Prenjak?” tanya Pipit pada Prenjak yang sedang menisik bulu-bulunya.

“Tentu saja, Pipit. Bukankah di sana akan banyak makanan? Jarang kita bisa makan di malam hari,” jawab Prenjak sambil meloncat ke dahan yang lebih tinggi. Ia ingin agar bulunya yang basah mendapat cukup panas cahaya matahari. Sejak kemarin hujan terus turun, dan baru saat ini matahari memancarkan sinarnya.

“Mengapa kau bersedih, Gagak?” tanya Hung, si burung hantu yang duduk di dekatnya.

“Kalian bisa datang ke pesta dengan gembira, sedangkan aku …,” Gagak tidak melanjutkan kata-katanya.

“Ada apa, Gagak?” tanya Tengkek mendekat.

“Aku berbeda jauh dengan mereka … juga kalian. Buluku berwarna hitam, makananku bangkai, tidak seperti kalian,” kata Gagak dengan sedih.

“Aku juga pemakan bangkai,” kata Tengkek.

“Tapi bulumu indah,” sambung Gagak makin sedih.

“Kalau kau mau, boleh pinjam beberapa helai buluku,” sahut Nuri sambil mendekat. Ia menyerahkan satu helai bulu miliknya dan memasangnya di sayap Gagak.

“Buluku juga boleh,” kata Dara sambil menyerahkan sehelai bulunya.

Burung-burung lain ikut menyerahkan dan memasang bulunya di seluruh tubuh Gagak. Ada yang satu helai, namun ada juga yang tiga atau empat helai.

“Aku juga akan memberimu satu helai bulu, Gagak,” kata Cendrawasih sambil memasangkan satu helai bulunya di ekor Gagak.

Gagak sangat terharu, karena kebaikan teman-temannya. Kini tubuhnya penuh dengan bulu yang beraneka warna. Ia tidak akan ragu lagi berangkat ke pesta.

***

Di istana, burung-burung berkelompok sesuai dengan jenisnya. Untuk mereka Sang Raja menyiapkan makanan sesuai dengan makanan mereka. Gagak pun mendatangi kelompok burung gagak yang ada.

“Siapa kau? Mengapa kemari?” tanya seekor gagak yang paling besar. Dia bertengger dekat pintu masuk untuk menjaga kelompoknya.

“Saya Gagak dari kota Burung,” jawab Gagak dengan pongah. Ia bangga dengan bulu aneka warna yang menghias tubuhnya.

“Bukan, kau bukan burung gagak. Burung gagak tidak memiliki bulu sepertimu,” bantah gagak penjaga.

“Tapi aku burung gagak, lihatlah paruh dan kakiku, semua sama denganmu,” bantah Gagak lagi.

Burung gagak penjaga tetap tidak peduli. Ia mengusir Gagak dengan kasar.

Gagak pergi dengan sedih, karena teman-teman tidak mau bersamanya lagi. Ia pergi ke kelompok burung nuri, meskipun ia tahu, ia tidak bisa makan makanan yang ada di sana. Tapi tak apalah, yang penting ia punya teman di pesta itu. Namun ternyata mereka pun tak mau menerima kehadiran burung gagak, karena burung gagak bukanlah teman mereka. Demikianlah, Gagak terus mencoba agar burung lain mau menerimanya, tapi semua menolak kehadirannya.

Dengan sedih, ia meninggalkan tempat pesta itu. Sia-sia semua yang sudah ia lakukan. Ternyata tak seorang pun dari mereka yang mau menerimanya.

“Begitulah, Gagak. Kita harus bersyukur dengan semua pemberian Tuhan. Kadang kita tidak suka, tapi ternyata itu yang paling baik buat kita. Kau tidak suka dengan bulumu yang hitam, namun ternyata ketika kau tidak berbulu hitam, tak ada lagi yang mau menerimamu. Bahkan teman-temanmu sendiri menolak kehadiranmu,” kata Hung yang ada di sampingnya. Mereka kini bertengger di sebuah dahan pohon beringin di halaman istana.

“Kau tidak suka karena makananmu bangkai, padahal itu juga bermanfaat bagi kehidupan. Bayangkan jika tak ada pemakan bangkai sepertimu, akan banyak bangkai binatang yang bertebaran di mana-mana. Bau busuk akan memenuhi seluruh hutan ini. Penghuni hutan juga akan merasa tidak nyaman,” lanjut burung hantu menasehati.

“Iya, Hung, aku mengerti sekarang. Aku akan lebih bersyukur pada semua yang dianugerahkan Tuhan kepadaku,” bisiknya lirih.

Gagak menyesal telah mengganti bulunya dengan bulu dari teman-temannya. Alangkah baiknya bila ia ia mau menerima apa pun pemberian Tuhan dengan penuh rasa syukur. Gagak seharusnya tidak berkecil hati dengan warna bulunya yang hitam, seharusnya ia tetap bangga dengan semua yang ada pada dirinya. Meskipun ia pemakan bangkai, tapi pemakan bangkai juga berjasa bagi kehidupan di hutan.(*)

Penulis: Noery Noor

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita