Sayang, I Love You
Oleh : Evamuzy
Bayiku menangis. Aku yang sedang berada di lantai bawah, segera menaiki tangga. Menuju kamar di mana aku meninggalkannya sekitar setengah jam yang lalu, setelah memastikan dia terlelap.
“Oh, Sayang. Haus, ya? Sini-sini Bunda gendong.” Tangisnya mulai mereda, meski pipi gembulnya masih memerah dan basah. Kontras dengan warna kulitnya yang pucat.
Aku mengusap wajahnya dengan lembut, lalu memberinya ASI. Mata bulat yang terhias bulu mata panjang dan lentik itu mengerjap-ngerjap kecil. Kini tangisnya benar-benar sudah reda. Sambil menyusuinya, aku menepuk-nepuk dengan pelan pahanya supaya dia merasa semakin nyaman.
Sambil duduk–masih dengan bayiku dalam gendongan–aku mengingat peristiwa sepekan yang lalu. Kejadian yang membuatku tak habis pikir jika di dunia ini ternyata ada wanita sejahat dirinya. Dia wanita cantik dan masih muda dengan gaya rambut diikat mirip ekor kuda. Saat pertama kali datang dibawa oleh seorang petugas agen penyalur baby sitter, dari bibirnya yang tipis keluar sebuah janji. Bahwa akan menjaga dan menyayangi bayiku sepenuh hati.
“Aku titipkan bayiku kepadamu. Tolong jaga dia baik-baik,” pintaku. Dia mengangguk pasti, membuatku sangat percaya kepadanya saat itu. Kami–aku dan suamiku–pun memperlakukannya dengan baik. Memberinya perhatian juga upah yang cukup.
“Saya punya kekasih di sini, Bu. Dia bekerja sebagai buruh bangunan. Dia juga berjanji akan menikahi saya secepatnya,” jelasnya malu-malu saat aku bertanya apakah dia punya orang spesial? Aku hanya ingin lebih dekat dan mengenalnya.
“Aku belikan ini untukmu. Kamu ingin pergi bersama dengan kekasihmu besok malam, ‘kan? Kami mengizinkan. Kamu boleh libur bertugas dari sore hari. Biarkan Dedek kami yang mengurus. Tapi ingat, jangan pulang malam-malam, ya, dan jaga diri baik-baik.” Aku bahkan sudah menganggapnya seperti adik sendiri, agar dia pun memperlakukan bayiku dengan sama baiknya. Awalnya, dia enggan menerima, tetapi kemudian berterima kasih saat sebuah gaun indah berwarna peach berpindah ke tangannya. Saat itu, dia baru sebulan bekerja.
Namun, wanita tanpa lesung pipi yang gemar mengoleskan krim pemutih wajah berlebihan itu nyatanya ingkar janji, juga seperti melupakan semua kebaikan yang aku beri. Aku menemukan bayiku lebam-lebam di pipi, pelipis kiri, bahu sebelah kanan, juga punggungnya. Aku menjerit, memanggil nama bayiku berulang-ulang saat itu.
“Dia sangat berisik, menangis terus, jadi aku pukul saja supaya diam. Aku sedang ingin menghubungi kekasihku lewat ponselku,” jawabnya santai saat diinterogasi oleh dua polisi wanita.
Dasar psikopat! Masih sempat-sempatnya dia mengulas senyum miring setelah tega menyakiti bayiku. Bahkan sebelum digelandang ke kantor polisi, dia sempat melukis alisnya supaya terlihat tebal dan memakai pewarna bibir. Perempuan gila! Mungkin dia berpikir akan bisa merayu seorang sipir di dalam penjara sana.
Aku jadi sangat murka, dan andai saja tidak ingat ada hukum di negeri ini, ingin kuhabisi manusia macam dia.
Namun jujur, hati kecilku juga merasa sangat bersalah di sini. Demi beberapa lembar rupiah hasil bekerja di sebuah kantor swasta, aku pertaruhkan keselamatan bayiku kepada orang yang belum tentu akan baik menjaganya.
Maafkan bunda, Sayang.
Bayiku kembali terlelap. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Alisnya tebal, mirip ayahnya. Bulu matanya panjang nan lentik, itu warisan dariku. Bibirnya tipis dan berwarna ‘peach’, juga serupa bibirku. Rambutnya keriting, mungkin ini ciri khasnya sendiri. Di usianya yang baru tujuh bulan, dia sudah mulai belajar merangkak. Warna kulitnya saat sehat adalah putih segar.
Oh, Kesayangan Bunda. Bayi perempuan yang cantik. Pemilik separuh bahkan sepenuh jiwaku. Bunda janji akan menjagamu selalu mulai saat ini. Tak akan aku izinkan satu tangan pun bisa melukainya lagi mulai sekarang. Aku berjanji.
Aku gendong bayiku untuk turun ke lantai utama, menemui suamiku. Dia terlihat duduk di sofa ruang tamu. Terdiam sambil memandang ke arah pintu yang terbuka. Aku duduk di sampingnya.
“Sayang, apa kamu sudah makan? Mau aku buatkan green tea hangat?” tanyaku sambil membelai pipinya yang bercambang tipis. Kuberikan kecupan sekilas di bagian kanan. Jemariku menyusuri setiap sisi wajahnya. Rambut hitam–yang belum nampak satu pun helaian putih–dan lebatnya basah. Dia memang hobi keramas jika pulang kantor sampai malam. Katanya, supaya aku nyaman di pelukannya dengan rambut yang wangi.
Jemariku turun ke hidungnya yang bangir dan ada titik kecil di puncaknya. Dulu di awal pernikahan, itu tempat favoritku mendaratkan kecupan. Lalu, fokusku berpindah, pada bibir merahnya–dia bukan perokok atau pecandu kopi–yang basah. Tunggu! Apakah dia sedang menangis? Basah di bibirnya adalah linangan air dari sudut kedua matanya.
“Sayang kamu kenapa?” Dia masih bergeming. Tak memberikan respon apa pun untuk setiap sentuhanku di wajahnya. Dia memang jadi pendiam sekarang ini.
“Sayang, I miss you so much …,” bisikku di telinganya. Namun, dia masih tetap sama. Diam.
Sampai akhirnya aku mengerti kenapa dia tetap tak bersuara, setelah melihat foto keluarga kecil kami dalam pelukannya. Rupanya dia masih sangat terpukul atas kepergian anaknya sepekan lalu. Kemudian disusul diriku dua hari setelahnya dengan gantung diri karena tak sanggup kehilangan bayiku. Sebab sudah kukatakan, dirinya adalah pemilik separuh bahkan sepenuh jiwaku, dan untuk suamiku, “Sayang, I love you ….” (*)
Evamuzy, gadis penyuka warna cokelat muda yang hobi koleksi gambar buah stroberi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata