Save Sidewalk
Oleh: Eni Ernawati
Tantangan Lokit 8 (Mimpi)
“Aku ingin durhaka.”
“Jangan gila!”
“Apa aku mati saja?”
“Terserah, aku lelah,” ujarnya sambil meninggalkanku.
Aku tak mencegahnya untuk pergi, walaupun sebenarnya aku sedang butuh teman untuk berbincang panjang. Sebab kasihan juga dia, setiap perkataannya selalu aku bantah.
Entah sudah berapa puluh batu kerikil yang kulempar ke danau yang tampak tenang ini. Pasalnya, itu membuatku sedikit lega akan hiruk pikuk masalahku. Danau ini adalah tempat favoritku. Percaya atau tidak, aku lebih nyaman berada di sini dibanding di rumahku sendiri.
Aku pernah ingin kabur dari rumah. Ingin kuajak ibu dan adikku juga. Sayangnya, ibuku begitu tabah untuk menjalani ini semua. Ia rela hatinya sakit setiap hari demi berbakti kepada Ayah. Sungguh, ibuku luar biasa.
***
Sejujurnya, malam ini aku tidak ingin pulang. Akan tetapi Dani menyuruhku untuk pulang. Bagaimanapun juga keadaan yang terjadi di rumah aku tidak boleh menghindar, kasihan ibu dan adikku jika harus mendengarnya berdua. Begitulah kata Dani kepadaku sore tadi.
Sehabis sholat magrib aku mengurung diri di kamar. Kupasang earphone dan kuputar lagu yang berjudul “Jadi Aku Sebentar Saja” dari Judika. Volume ponsel aku maksimalkan, dengan harapan aku tidak akan mendengar suara apa pun dari luar. Aku rindu ketenangan di rumah kecilku ini. Aku rindu kehangatan keluargaku saat menonton TV sehabis magrib seperti biasa. Rasanya aku sudah lama tidak merasakan hal itu lagi.
“Teh, buka pintunya.”
Aku bergegas bangun dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Kudapati adikku sedang menangis, kemudian dia memelukku erat. Kembali kututup pintu bercat cokelat tua itu kemudian kurebahkan tubuh mungilnya di tempat tidurku.
“Sivi kenapa menangis?”
“Teh, Sivi gak kuat.”
“Kenapa, Sayang? Cerita sama Teteh,” ucapku sambil mengusap pipinya yang basah.
“Tadi Ayah nyuruh kita buat—”
“Sabar ya, Sayang,” aku memotong perkataannya. Sebab aku sudah bisa menduga apa yang akan dikatakan oleh Sivi.
Sekuat hati aku menguatkan adikku. Sebenarnya aku sendiri juga rapuh, tapi aku harus tegar di hadapannya. Aku harus menjadi kakak yang baik.
Aku sedikit lega melihat Sivi bisa tersenyum saat Dani melakukan video call. Dia selalu bisa menghibur Sivi, berbeda denganku yang justru sering bertengkar dengannya. Terlebih aku bisa tenang saat Sivi sudah tertidur pulas.
***
Hari ini aku bisa melupakan sejenak masalahku, berkat Dani yang mengajakku jalan bareng. Sejujurnya tadi aku menolak, sebab percuma saja jika nanti sampai rumah tetap masalah yang akan menyambutku. Namun kuurungkan pikiran itu, tidak salah juga, bukan? Jika aku bisa tersenyum walau sebentar. Di samping itu aku juga menghargai Dani yang berusaha menghiburku. Dia teman yang paling mengerti, yang tetap ada saat dunia mengingingkan aku untuk pergi.
Pertama dia mengajakku ke pantai. Setelah itu kita pergi ke mall, katanya mau mengajakku untuk nonton, akan tetapi aku menolaknya. Aku sedang tidak ingin menonton drama, sebab hidupku sendiri sudah terlalu banyak drama.
“Pilih saja sesukamu,” kata Dani saat kita berdua memasuki toko buku. Iya, karena aku menolaknya untuk nonton, dia mengajakku ke toko buku.
“Kalo aku pilih kamu, gimana?” titahku meledeknya.
“Gak usah bikin aku baper, deh,” jawabnya dengan senyum yang mengembang.
Aku hanya membalasnya dengan tawa kecil. Kemudian kupandangi rak-rak buku yang ada di toko ini, senang dan sedih. Senang karena anak-anak bangsa masih semangat menulis dan membaca. Sedihnya karena aku teringat dengan salah satu mimpiku, mempunyai buku solo yang terpampang di toko-toko di Indonesia.
“Aku yakin, suatu saat buku kamu pasti akan berjajar rapi seperti ini,” ucap Dani, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan.
“Hehe, iya. Doakan saja.”
Tak terasa malam sudah larut. Dani mengajakku pulang setelah dia memberikan dua buah buku untukku. Sepertinya saat tadi aku sedang asik melihat-lihat buku dia diam-diam membeli buku tanpa sepengetahuanku. Karena jika aku tahu dia sudah menduga jika aku akan menolaknya.
“Kamu pulang aja dulu, aku ada janji sama seseorang,” ucapku meyakinkan Dani.
“Jangan bohong, aku tau kamu tidak ingin pulang.”
“Sungguh, aku ada janji, Dan.”
“Janji sama siapa? kalo emang benar biarkan aku menemanimu.”
Susah sekali membujuk Dani untuk pulang. Dia tahu jika aku berbohong. Benar dugaannya, aku sedang tidak ingin pulang. Menurutku, pulang sama saja aku masuk dalam neraka. Sama saja aka mengizinkan diriku untuk terluka.
Hampir setengah jam aku berdebat dengan Dani. Hingga akhirnya aku yang mengalah, menyutujuinya untuk menemaniku malam ini.
“Ke sana, yuk,” ajakku setelah keluar dari mall.
Kita berdua berjalan mengikuti alur trotoar. Tidak ada tujuan mau ke mana sebenarnya. Hanya menghabiskan waktu saja. Sebab aku tidak ingin pulang.
Ada satu pemandangan yang membuatku bertanya-tanya. Seorang gadis yang sepertinya berusia dua tahun di bawahku sedang duduk di bahu jalan. Kedua tangannya memegang perut seperti orang kelaparan.
“Hai,” sapaku kepadanya. Dia hanya mengangguk lemas. “Kamu ngapain di sini? Udah malam, kenapa tidak pulang?” Ah sepertinya pertanyaan ini menyindir diriku sendiri.
“Ini rumahku, Kak?” jawabnya sambil memandangku dan Dani bergantian.
Aku tersentak dengan jawabannya. Mulutku tiba-tiba membisu, badanku lemas dan kakiku bergetar. Dani menyuruhku untuk duduk di samping gadis itu, berbisik kepadaku agar aku menunggunya. Dia akan pergi membelikan makan untuk Nita–gadis yang kita temui.
“Ini makan dulu.” Dani memberikan sebungkus makanan dan sebotol minuman. Setelah mengucapkan terima kasih, Nita makan dengan sangat lahap.
“Dan.”
“Iya,” jawabnya melirikku, “loh, Sa. kenapa kamu nangis?” tanya Dani bingung.
“Habis ini kamu antar aku pulang, ya?”
“Beneran?”
“Iya, selama ini aku lemab banget ya, Dan.”
“Gak, Sasa. Kamu orang yang kuat,” ucap Dani sambil menarikku untuk bersandar di bahunya.
“Masalahku tidak ada apa-apanya dibanding Nita. Dia dari kecil tidak tau siapa orang tuanya. Dari kecil hidup di jalanan seperti ini,” jelasku sambil menyeka air mata. “Selama ini aku selalu mengeluh perihal orangtuaku yang selalu bertengkar, Ayah yang selalu menyuruh Mama untuk pergi. Harusnya aku bersyukur, sebab masih bisa berkumpul satu atap dengan mereka.”(*)
Tentang Penulis:
Eni Ernawati, penyuka komedi dan cerita romance.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata