Satu Kata yang Membebaskan
Oleh: Eda Erfauzan
Suara gelak tawa, riuh percakapan, langkah anak-anak yang berderap, berkejaran di dalam rumah sesekali diseling denting sendok dan garpu yang menyapa piring membuat Hana tersenyum, momen tahunan yang dulu terasa berat kini jadi begitu berarti ketika satu per satu saudara mulai ada yang pergi. Menyadari betapa singkat kebersamaan. Hari berganti seperti berlari, masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan mulai menua lalu dipanggil menghadap Sang Pencipta.
Memateri kenangan indah di hari lalu dan melewatkan hal-hal yang menyakitkan. Obrolan dengan gelak tawa atau senyum tulus seakan tangan-tangan ajaib yang mencabut duri-duri yang terserak di hati, pernah tertancap karena sengaja atau tanpa disadari.
Ah, reuni keluarga kali ini terasa beda karena jarum tajam yang kerap terasa menusuk hati telah lepas dan hilang. Lebaran adalah momen ketika semua keluarga berkumpul, setelah kehidupan memaksa mereka bertebaran menjemput rezeki di berbagai kota yang akhirnya menjadi tempat tinggal.
Memaafkan. Satu kata yang dipahaminya mampu melebur luka hati yang mengalirkan air mata selama berbulan. Menghapus rasa marah dan dipermalukan.
Mereka seumuran, tiga gadis dalam keluarga besar Prawira. Tumbuh bersama dengan keistimewaan masing-masing.
Hana si manis yang selalu juara kelas, gemar membaca dan pandai bergaul. Alma si cantik dengan prestasi biasa saja yang selalu takjub dengan apa yang Hana miliki. Sani yang paling pendiam di antara mereka.
Tumbuh bersama dengan takdir yang berbeda akhirnya malah membuat mereka dibanding-bandingkan, hingga hadir rasa tak nyaman yang mengundang rasa iri dan benci hadir di antara satu sama lain walau berupaya diredam sebisa mungkin.
Alma yang paling beruntung, paling berhasil di antara mereka jika ukuran keberhasilan itu adalah materi semata. Suaminya seorang pengusaha dan ia sendiri memiliki posisi penting di sebuah instansi.
Hana si juara kelas memiliki kehidupan yang berlawanan dengan Alma. Dia yang dulu dengan prestasinya kerap membuat iri para sepupu dan nyaris semua orang berpendapat prestasi akademiknya akan membuat ia sukses, tajir. Ah, lagi, jika materi menjadi ukuran kesuksesan, roda kehidupan memang terus berputar, kan? Masa jaya itu dipergilirkan.
Sani? Si pendiam itu tetap berada di antara keduanya, seperti menjaga keseimbangan di antara dua sisi. Dibandingkan karena hidup terlihat kontradiktif sungguh tak nyaman hingga tercipta jarak antara mereka. Ah, sebernarnya bukan jarak terentang sekian kilometer yang menjauhkan seseorang, tapi hatilah yang membuatnya terasa jauh.
Hana ingat saat kehidupan benar-benar telak memukulnya, membuatnya terjerembap berulang kali, berusaha bangkit meski tertatih. Ketika sadar kesulitan hidup telah membuatnya nyaris berada di garis tipis antara kewarasan dan kegilaan: Ditelikung teman usaha, dikhianati karyawan, suami mengalami gangguan tulang punggung hingga tak bisa berjalan dan utang di bank sudah jatuh tempo sementara mereka tak memiliki apa-apa lagi bahkan untuk membeli makan hari itu pun tak ada uang.
Hana datang pada Alma. Butuh satu minggu bagi Alma untuk membantu sepupunya. Hana tak habis mengerti Alma yang uangnya seperti tak bernomor seri harus menunggu selama itu. Bukankah mudah saja baginya keliling Eropa dan umroh setiap tahun, membeli tas berharga ratusan ribu hingga jutaan. Yang lebih menyakitkan Alma menghubungi sepupu yang lain hanya untuk bertanya seberapa susah Hana saat ini, hingga ia merasa perlu untuk menolong.
Hati Hana berdarah mendengarnya. Memutuskan berutang pada Alma adalah keputusan yang bolak-balik dipikirkannya. Meminjam sesuatu apalagi uang bagi Hana sungguh bukan hal mudah, selalu ada rasa malu dan bersalah dalam dirinya dan kini rasa malu itu jadi berlipat karena utang yang menurut Hana adalah aib dibuka Alma pada orang lain. Tak bisakah ia menolong dan menyimpannya sendiri?
Dalam diam, Hana menyimpan rasa sakit hatinya, perlahan ia menjauh dari keluarga besarnya. Menghindar dari acara-acara keluarga pun setelah ia mengembalikan uang Alma. Hingga beberapa hari setelah kematian ibu Alma, mereka berkumpul. Entah, meski berusaha memaafkan dan mencari pembenaran dengan mengatakan dalam hati, “Mereka tidak tahu yang sesungguhnya.” Sulit bagi Hana untuk mengabaikan rasa sakitnya.
“Inget, enggak, waktu kita belajar salat di bale Nenek?” tanya Sani tiba-tiba.
Hana menggeleng, ia hanya ingat dulu di depan rumah Nenek ada bale, sejenis kursi besar yang multifungsi terbuat dari anyaman bilah-bilah bambu untuk tempat duduk-duduk atau tidur-tiduran, dan mereka sering bermain congklak di atasnya.
“Ah, Hana mana inget, dia kan dari dulu enggak pernah susah.”
Ada sesuatu yang berdesir dalam hati Hana.
“Iya, enggak seperti kita ya, San. Aku ingat, pernah ingin sekolah minta ongkos sama Bapak, trus kata Bapak ntar jual daun dulu sama tukang tempe. Eh, sampai siang tukang tempenya enggak dateng, akhirnya cuma bisa nangis,” Alma menyahut.
Iyakah? Hana mengerjap.
“Tahu enggak, Na. Dulu, kalo ada pengajian malam Jumat, Abah suka bawa kue-kue dari pengajian ke rumah dan itu untuk sarapan kami sebelum berangkat sekolah.”
Hana menatap takjub, itu tak pernah diketahuinya. Dia tak pernah berpikir jika kehidupan para sepupunya berbeda dengan apa yang dijalaninya. Dulu, saat mereka kecil orangtua Hana adalah pemilik toko kelontong satu-satunya dan cukup besar di kampung mereka. Masa kecilnya menyenangkan, orangtuanya meskipun tak memanjakan tetapi peka akan kebutuhan anak-anak mereka.
Itukah sebabnya, mereka masih beranggapan kehidupan Hana masih seperti hari-hari di masa kecilnya hingga peristiwa berutang itu membuat mereka yang saat ini lebih dari cukup malah merasa dicandai.
Hana menarik napas, ada sesuatu yang perlahan merayapi hati. Tuhan telah menutupi kesusahannya di mata mereka, keluarga besarnya dan mereka benar-benar tak tahu seberapa parah kehidupannya sekarang dan ia merasa bersyukur bisa menahan diri untuk tidak bercerita dan berharap iba pada mereka.
Rasa sakit itu perlahan menguap. Hana bisa melihat sepupu-sepupunya dan kehidupan mereka dengan perspektif berbeda. Tak lagi dengan rasa marah juga sedikit iri. Ia bisa memaafkan apa yang pernah menyakitinya. Melupakan perasaan tersakiti karena ternyata egonyalah yang terlalu tinggi. Tak ada yang merendahkannya.
“Tambah, Na?” Alma menyentuh lengannya melihat piring Hana telah kosong.
Hana menggeleng, ia tersenyum dan beranjak mengikuti Alma. Keriuhan telah berpindah ke halaman. Anak-anak lebih leluasa mengeluarkan energi mereka, berlarian, melompat sesekali ada suara tangis, teriakan marah karena anak-anak yang lebih besar mengganggu atau ada yang terjatuh.
“Al, maaf ya. Aku pernah salah sangka dan punya pikiran buruk tentangmu.”
Alma membalik, tersenyum dan memeluk Hana. Melebur kesalahpahaman yang terjadi selama ini dan memintas jarak yang terentang. Ah, saat-saat indah ini entah berapa lama lagi bisa dinikmati.
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan menyukai dongeng-dongeng klasik dunia, masih terus belajar untuk menghasilkan karya tulis yang baik.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata