Satu Kali Setahun
Oleh : Rinanda Tesniana
Mak Iroh sudah bersiap dari pagi. Ia menggiling bumbu gulai, menyiapkan rempah-rempah, memetik kelapa dan memerasnya hingga menjadi santan.
Hati janda tua itu bahagia. Sehari dalam setahun, anak-anaknya bisa makan enak, daging sapi atau kambing. Tergantung apa yang didapat saat pembagian daging kurban nanti.
Kelima anaknya sudah berangkat salat Id dari tadi. Tinggal Eko yang masih mandi.
“Mak tak salat?” tanya Eko. Anak sulungnya itu terlihat tampan dengan baju koko pemberian Wak Haji tempo hari. Memang agak sedikit kebesaran, tetapi tidak mengurangi kepantasan Eko mengenakannya.
“Ganteng betul anak Emak.” Mata Mak Iroh berbinar melihat Eko. “Emak sedang datang bulan, Ko.”
“Eko berangkat, Mak. Senang betul wajah Emak, sebab mau makan daging, ‘kan?” goda Eko.
Mak Iroh tertawa. Wanita yang masih tampak manis di usia empat puluh lima tahun itu, menjawab godaan Eko, “Tahu saja anak Emak. Sekali setahun makan enak, Ko. Kasihan adik-adik, setiap hari makan daun ubi rebus.”
“Tak apalah,” ujar Eko lembut. “Jadinya, adik-adik menghargai setiap butir nasi yang kita makan.”
Mak Iroh menghapus bulir bening yang jatuh di pipinya. Sebagai anak sulung, pemikiran Eko dewasa melebihi usianya yang baru lima belas tahun.
Hingga senja, Mak Iroh mulai gelisah, dia mondar-mandir di dapur, melihat bumbu dan rempah yang sudah siap diolah. Namun, bahan yang menjadi primadonanya belum juga tiba.
“Sudah masak daging, Mak?” Hani, anak paling kecil sudah tak sabar hendak menyantap daging olahan emaknya.
“Mak.” Eko muncul dari halaman belakang. “Mak, hari ni tak ada daging kurban dari mesjid. Tak ada orang kampung kita yang ikut kurban,” ujar Eko dengan napas tersengal. Peluh mengalir deras di pelipis bocah itu.
Mak Iroh terduduk di lantai dapur. Semua bumbu, rempah, dan santan yang telah disiapkannya, sia-sia.
“Ngapa Emak sedih? Eko bawakan daging, Mak, dari mesjid sebelah.”
Eko menyodorkan sebungkus plastik berwarna hitam pada emaknya. Tangis Mak Iroh langsung berhenti. Perempuan itu tertawa bahagia menyambut seplastik daging yang akan diolah menjadi rendang.
Suara bising terdengar dari luar. Teriakan-teriakan penuh emosi terdengar oleh Mak Iroh.
“Ada apa, Ko?” Perempuan itu bertanya pada anak sulungnya.
Eko tampak gelisah. Wajahnya pucat melihat kerumunan orang datang membawa kayu.
“Ada apa?” pekik Mak Iroh.
“Anak ini mencuri daging kurban di kampung kami.” Seorang pria paruh baya mengayunkan kayunya ke tubuh kurus Eko.
“Astaghfirullah, jangan, Pak, jangan pukul anak saya! Saya kembalikan daging Bapak.”
Tergopoh-gopoh Mak Iroh mengambil plastik yang belum sempat dibukanya.
Tak ada yang peduli dengan teriakan Mak Iroh, semua orang sibuk menangani Eko, di depan mata adik-adiknya, di hadapan ibunya.
“Ampun, Pak, ampun.” Suara permohonan Eko terbang begitu saja ditiup angin.
Mak Iroh berteriak histeris melihat Eko berlumuran darah. Orang-orang yang tadi memukuli Eko, sudah membubarkan diri. Mungkin, mereka sudah puas melihat Eko babak belur. Mereka bahkan tidak mengambil daging yang disodorkan Mak Iroh.
“Eko,” panggil Mak Iroh, berharap anaknya masih bernyawa.
“Mak,” lirih suara Eko. “Emak bisa makan daging, ‘kan, Mak? Hanya sekali setahun, Eko tak mau melihat Emak kecewa, adik-adik kecewa. Hanya sekali setahun kita makan daging, Mak.”
“Eko, kenapa kamu melakukan ini?”
Mak Iroh membimbing anaknya masuk ke rumah. Tubuh Eko penuh lebam, untunglah bocah kuat itu masih bisa berjalan.
“Biarlah, Mak, mereka sudah sering makan daging, tapi masih juga tamak mengambil banyak. Sementara kita, hanya hari ini bisa mencicipinya, entah tahun depan, apakah umur kita masih ada. Tak apa Eko terluka, asal penantian Emak dan adik-adik tidak sia-sia.”
Mak Iroh memeluk anaknya. Darah dari luka Eko, menempel di tubuhnya.
“Terima kasih, Ko, terima kasih. Namun, kita tidak boleh makan daging ini. Haram bagi kita.”
“Mak, kasihan adik-adik,” Eko menahan langkah Mak Iroh yang hendak mengembalikan daging kurban ke mesjid kampung sebelah.
“Ko, Mak sangat senang, kau memikirkan nasib adik-adik, tetapi, janganlah kita beri mereka makan dari daging yang haram, Nak. Semoga, tahun depan, di kampung kita ada yang memiliki rezeki lebih untuk kurban. Emak pergi sebentar mengembalikan daging itu.”
Eko menangis, merasa gagal melihat senyum adik-adiknya tahun ini. Masih ingat tahun lalu, ketika mereka memakan daging sedikit demi sedikit, agar tidak cepat habis. Setiap hari emak memanaskan daging itu, hingga tepat hari ketujuh, semua habis tak tersisa.
Eko sejak pagi sudah tahu, di mesjid kampung mereka tidak ada pemotongan hewan kurban. Maka dia pergi ke mesjid sebelah, menunggu ada daging sisa.
Dia masih ingat, dialog yang terjadi antara dua orang tukang potong hewan tadi.
“Sisa sepuluh bungkus, semua sudah dapat. Akan kita apakan?”
“Bagi dua saja. Lumayan buat stok di kulkas.”
“Kita sudah dapat banyak.”
“Biarlah, kalau tidak, buang ke sungai.”
“Eh, sayanglah. Lebih bagus, kita kasih makan kucing.”
Hati Eko mendidih mendengar perkataan orang-orang tersebut. Sementara Emak menunggu seonggok daging itu selama setahun, mereka seenaknya akan membuang daging itu ke sungai.
Eko nekat, saat mereka sedang berbagi daging, Eko melarikan sebungkus untuk Emak dan adik-adiknya.
Sayang, larinya kurang cepat. Masyarakat kampung sebelah bisa menyusul dan menghajarnya. Untunglah, dia masih hidup.
Emak pulang pukul tujuh malam. Wajah tuanya terlihat bahagia.
“Ko, lihatlah, mereka memberi dua bungkus daging pada kita. Alhamdulillah, daging ini halal. Emak masak dulu, ya.”
Adik-adik tertawa senang, mereka duduk manis di ruang tengah, menunggu Mak Iroh selesai masak.
Eko merasakan kepalanya semakin lama semakin pening, tubuhnya seakan dipijak-pijak sapi raksasa. Sakit sekali. Eko memejamkan mata, berharap sakitnya segera hilang. Kesadaran Eko semakin lama semakin berkurang, kemudian, dia mengorok panjang dalam kesendirian. Aroma rendang yang menguar di udara, tak dapat lagi Eko hidu. (*)
Rinanda Tesniana, perempuan Virgo yang sudah berubah jadi perempuan Leo.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata