Satu Cerita dari Selembar Tubuhku
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Aku bukanlah Dasamuka dari Alengka yang mempunyai sepuluh wajah. Aku juga bukan malaikat atau jin yang bisa menjelma menjadi manusia dengan banyak rupa. Tak ada satu pun kesaktian yang pernah aku miliki seperti mereka. Memang, aku adalah satu yang bisa menjadi banyak; satu yang bisa menjadi berjuta-juta. Tetapi aku hanya ciptaan manusia. Jadi tak usah repot-repot pula engkau bertanya bagaimana dengan wujud atau bentuk keberadaanku? Itu pertanyaan sederhana, nanti juga engkau akan tahu dengan sendirinya.
Tetapi jika kamu terlalu penasaran dengan jawabannya, akan kuberikan satu penunjuknya:
Aku melayang dengan empat utas tali yang digantungkan di antara tiang-tiang besi angkuh yang menjulang tinggi. Aku ada di bawah rimbunan pohon-pohon yang teduh, di antara wajah ruko atau toko, atau membentang seperti layar di sebuah tiang reklame yang lebar. Aku bahkan tak sepantasnya melambai ramai di pagar sebuah pemakaman; tempat seharusnya orang-orang yang telah pergi kepada Dia untuk beristirahat dengan tenang. Tetapi jangan salahkan diriku! Mereka yang memasangnya di sana.
Dahulu tubuhku yang ringkih dan tipis hanya digunakan sebagai pengganti mulut atau penjual tanpa suara yang menjajakan dagangan. Aku adalah selembar kata-kata sebagai penanda. Boleh dengan gambar, boleh juga dilengkapi dengan aksara dan angka. Itu kutahu dari seorang anak kecil yang berhenti di depanku, dan ia mengejanya satu per satu.
Namun itu, dulu. Sebelum orang-orang menggunakan tubuhku sebagai pengganti rupa mereka. Apakah kamu tidak merasakan sedih, marah, dan benci kepada manusia yang dengan semena-mena mempergunakan diriku sebagai topeng-topeng penutup wajah asli mereka. Sekarang, ratusan, ribuan, entah jutaan lembar diriku ada di mana-mana, dengan wajah penuh simpati dan dihiasi sedikit senyum menawan. Seolah-olah tak mempunyai dosa.
Sebenarnya, aku malas berkeluh kesah, karena aku tahu watak dan sifat-sifat asli mereka. Ambisius, tamak, rakus dan seenaknya sendiri. Lihatlah betapa kesalnya dan jengkelnya? Mereka dengan seenaknya menancapkan paku-paku sangat tajam pada tubuhku yang ringkih di setiap pohon-pohon yang tumbuh menjadi besar. Pohon-pohon yang bahkan tak pernah mereka tanami apalagi disirami. Mereka menaruh wajah-wajah dan simbol-simbol untuk dipilih. Tertulis, nama dan asal dari kelompok mana. Entah motivasi apa dengan terbesit di dalam benak hati mereka: mencari nafkah, menambah pundi-pundi kekayaan, membela hati nurani orang banyak, atau ingin tidur pulas di atas kursi-kursi nyaman untuk mengusir insomnia?
Seseorang pernah berbicara dengan temannya di dekatku.
“Untuk apa sih, Bapak itu ngikut-ngikut kayak gini? Udah jadi paranormal ternama, kaya raya dan sibuk luar biasa, masih mau menjadi calon legislatif!”
“Memangnya dia masih punya sisa waktu untuk mendengarkan keluh kesah para pemilihnya?”
Bahkan pernah ada juga ada seseorang yang meludahi tubuhku. Gara-gara gambar satu sosok wanita cantik yang bersahaja, putri dari seorang tuan tanah yang tanahnya ada di mana-mana. Ternyata ia tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Harta yang berlimpah ruah belum pasti menjamin memuaskan dahaga kehidupan duniawi. Untung saja, wanita anggun itu tak pernah ikut lagi mencalonkan diri lagi. Kini ia mendekam di balik jeruji besi. Dan aku juga tidak ingin merasakan bau ludah basi untuk yang kesekian kali gara-gara orang seperti itu!
Seandainya kamu ingin tahu, tentang siapa yang lebih aku sukai untuk menempatkan gambar dirinya di atas selembar tubuhku selebar-lebarnya dan sesuka hatinya. Tentu aku lebih menyukai ia, seorang perempuan yang apa adanya. Bahkan sering kali ia terlihat tidak mengenakan apa-apa sebagai pembungkus tubuhnya. Tidak juga berusaha menutupi cita dirinya yang hitam sekelam gelap malam.
Perempuan ini bernama Maria Ozawa. Coba kamu dekati wajahnya yang cantik. Lihat bibirnya yang merekah dan menggoda. Bayangkan jika tubuhnya yang seksi dibalut dengan selembar lingerie warna merah hati. Betapa banyak laki-laki yang lebih suka membicarakan dirinya. Akan menjadi sebuah perdebatan yang sangat menarik jika gambar dirinya disandingkan seorang Pevita yang juga sedang mengenakan bikini. Pasti akan menjadi sesuatu ….
Akankah menjadi sebuah masalah yang besar? Jika kemolekan tubuh mereka disebarkan melalui tiang-tiang besi tinggi yang menjulang angkuh, di bawah rimbunan pohon–pohon yang teduh, di antara wajah ruko atau toko, berkibar seperti layar di antara tiang reklame yang lebar, atau melambai ramai di pagar sebuah pemakaman.
Tentu saja lebih asyik memandang wajah dan tubuh mereka yang dipasang di mana-mana, menurut pendapatku. Lebih syuur ….
Mungkin tak ada lagi pertengkaran tentang siapa merasa lebih sholeh, tak ada lagi yang berseru atau berteriak berteriak kopar–kapir sehabis bersiwak dan seterusnya, tak ada lagi perdebatan tentang manakah yang lebih benar pengucapannya, Al Fathihah atau Al Patekah menurut lidah orang Jawa! Tak ada lagi yang berteriak dan sesumbar sekencang halilintar bahwa ia mewakili rakyat jelata, tak ada lagi yang berani mengaku-ngaku lebih hebat, lebih pintar atau lebih berpengalaman, tak ada lagi yang bergumam dalam hati, “Kasihan Si Jomblo jika jadi ….”
Tak ada lagi perdebatan, kalau Si Anu jadi pemimpin. Kita tak perlu bangun pagi menjemput rezeki.
Tak ada lagi, dan tak ada lagi …. Semua percakapan tercerai berai, musnah atau punah ditelan oleh nafsu berahi para lelaki!
Kali ini semua suami hanya mempunyai satu topik utama: alat kontrasepsi untuk istri. Hampir semua suami punya keinginan untuk pulang kerja lebih dini, dan mungkin juga setengah populasi dari jumlah suami punya keinginan untuk kawin lagi! Dan satu masalah baru timbul lagi.
Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata