Saroh dan Mimpi Sebuah Janin
Oleh: Erlyna
Perempuan itu bangun dari atas ranjang. Matanya yang sembap mengerjap berkali-kali. Ia menatap sekelilingnya lalu terdiam cukup lama.
Tiba-tiba ia menunduk sambil membuka kakinya dengan posisi mengangkang. Basah. Ada sedikit noda darah di sana. Perempuan itu menjambak rambut panjangnya berkali-kali.
“Sialan!”
***
Namaku Ran. Jangan bertanya nama lengkap, aku sendiri belum memikirkannya. Jenis kelamin? Jangan tanya sekarang. Kita akan tahu nanti. Saat ini aku sedang sibuk berkompetisi bersama empat puluh juta saudaraku yang lain menuju suatu tempat.
Aku harus cepat. Kalau tidak aku akan gagal dan impianku menjadi guru tidak akan pernah menjadi kenyataan.
“Hei, kamu ingin jadi guru? Jangan bermimpi!”
Ah, lagi-lagi dia. Namanya Oka. Dia sudah sangat menyebalkan sejak kami sama-sama datang menuju tempat ini hampir setengah jam yang lalu. Abaikan! Ocehannya sama sekali tidak penting. Sekarang, aku harus berusaha berenang sekuat mungkin. Aku pasti bisa mencapai tempat itu.
***
Perempuan itu bangkit dari ranjang, berjalan dengan tertatih. Selangkangannya nyeri sekali. Ia berjalan mendekati cermin, menatap sosok dengan wajah berantakan untuk waktu yang lama.
***
Fuih!
Lelah sekali rasanya. Namun, aku tidak boleh kehilangan semangat. Bagaimanapun juga, aku sangat ingin menjadi guru. Kudengar, pendidikan di negeri ini sedang kacau. Banyak terjadi penyelewengan jabatan dan kasus suap.
Hah! Bagaimana bisa ada kebijakan bodoh di dunia pendidikan? Akan jadi apa negeri ini di masa depan?
Tapi tunggu! Cairan asam apa ini. Kenapa mendadak terasa pusing? Ke mana cairan semen yang tadi menuntun jalanku? Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Aku harus berenang lebih cepat lagi. Aku harus jadi satu-satunya yang berhasil. Harus!
***
Prang!
Perempuan itu memukulkan tinjunya tepat di tengah-tengah cermin. Darah menetes dari punggung telapak tangan. Pecahan-pecahan cermin terserak di lantai. Bahkan beberapa menancap di kaki perempuan yang akrab disapa Saroh.
Saroh hanya perempuan biasa. Jarang laki-laki yang meliriknya. Jika ada, satu-satunya hal darinya yang bisa memikat laki-laki, adalah ukuran buah dada yang sedikit lebih besar dibanding anak-anak seusianya. Akan tetapi Saroh jarang memperlihatkannya. Perempuan itu setiap hari menutup tubuhnya dengan kaus kebesaran warisan dari ayahnya jika sedang bekerja melayani kopi di warung.
***
Suara apa itu?
Kenapa terdengar sangat keras dan menakutkan? Lalu, sekarang apa lagi ini? Cairan licin ini, apakah lendir? Kenapa sekarang banyak sekali lendir?
“Kenapa panik begitu? Jangan bilang kamu akan menyerah. Mana semangat guru yang sejak tadi kamu bangga-banggakan? Apakah kamu tahu bagaimana cara menjadi seorang guru?”
“Oka? Itu kamu? Kamu selamat sampai sejauh ini?”
“Tentu saja. Aku tidak akan kalah cuma gara-gara cairan asam tadi. Selain itu, aku juga punya mimpi, jadi aku harus berhasil.”
“Kamu … apa mimpimu?”
“Rahasia. Aku tidak akan pernah memberi tahu padamu.”
Aku terdiam sejenak. Tempat ini sungguh membuatku tidak nyaman. Dari pada meladeni Oka, kenapa aku tidak cepat-cepat pergi menuju tempat di mana aku bisa istirahat sejenak? Tempat yang disebut sel telur itu seperti apa, ya?
***
Saroh meringis sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha keras untuk tidak menangis. Semua sudah terjadi. Meski dirinya sangat menyesal, tapi tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terlambat. Dan perempuan itu terlihat benci sekali mengakuinya.
***
Aku masih terus berenang dengan sekuat tenaga. Bagaimana pun, aku bertekad untuk bisa melalui jalan panjang ini. Demi mimpiku.
“Hei, kamu tahu tempat apa ini?”
“Eh, Oka? Tidak. Aku tidak tahu nama tempat ini. Pusing sekali rasanya. Meski sudah berenang jauh, sepertinya lendir-lendir ini belum berakhir juga.”
“Ya. Perjalanan ini akan sangat panjang. Jika kamu tidak sanggup, menyerah saja.”
Kesal sekali. Sekilas aku bisa merasakan bahwa Oka sedang meremehkan kemampuanku.
Namun, setelah mengalahkan rasa lelah, akhirnya tempat berlendir ini berakhir juga. Dari tempat yang bernama ujung serviks ini, aku masih harus berenang sejauh 18 cm untuk mencapai rahim. Padahal, aku hanya bisa berenang sejauh 2,5 cm setiap 15 menit. Lalu perjalanan akan dilanjutkan lagi menuju tempat bernama tuba fallopi sebelum akhirnya bisa bertemu dengan sel telur pemilik tubuh ini.
Apa pun yang terjadi, aku tidak akan menyerah. Aku harus hidup demi mimpiku.
Tenagaku hampir habis ketika akhirnya aku bisa menembus dinding tebal yang melapisi sel telur yang kutemukan. Aku baru saja ingin menyapanya. Namun, tiba-tiba sebuah benda tajam mengoyakku dengan sangat kuat.
Tunggu!
Jangan bilang pemilik tubuh ini menusuk perutnya.
“Tidak!!!” (*)
Purworejo, 3 Mei 2019
Erlyna, perempuan sederhana yang mencintai dunia anak-anak. Suka menulis dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata