Sarah
oleh: Zee Anulika
Tubuhku menggigil diterpa derasnya hujan hari itu. Sudah seminggu matahari seakan malu menampakkan sinarnya. Seminggu pula aku berteman gigil. Emperan toko milik seorang pengusaha Tionghoa—di mana aku biasa berteduh—tidak bisa menampungku lagi. Tempat itu sudah diisi pedagang kaki lima sejak tiga hari yang lalu. Mereka selalu mengusirku, menyirami air, atau melempar dengan botol. Setidaknya, setelah kedai itu tutup, aku bisa mengais sisa makanan dari pelanggannya.
Aku berdiri di bawah pohon akasia yang berada di pinggir trotoar. Sesekali mengadu pada Sang Pencipta, betapa berat jalan hidup yang Ia gariskan untukku. Angin bertiup kencang, seolah akan menerbangkan tubuh ringkihku. Di sana aku melihatnya, seorang gadis berambut panjang, basah kuyup diguyur hujan. Ia berdiri seperti memeluk diri sendiri. Dari pendengaran tajamku, aku mendengar isak yang lolos dari bibir gadis itu. Andai saja aku bisa membaca pikiran hingga tahu apa yang membuat gadis itu bersedih.
“Oh, hai.” Gadis itu sudah berjongkok dan menatap ke arah mataku yang mengekor pada wajahnya.
Aku ingin menjawab, tetapi lidahku mendadak kelu. Biasanya aku tidak mudah berada di dekat orang lain. Aku selalu menolak dan berusaha menjauh. Aku tidak ingin berakhir sama dengan beberapa kawanku yang mati sia-sia. Beberapa dari mereka ditangkap oleh beberapa pemilik warung. Entah untuk apa. Tapi saat ditangkap, mereka tidak pernah kembali lagi. Namun, malam itu, aku menurut begitu si gadis mengangkat tubuh basahku ke atas gendongannya.
Pagi itu aku terbangun di atas selimut tebal yang hangat. Aku tidak pernah berada di dalam rumah sebelumnya. Sejak lahir, aku hanya merasakan kasarnya tanah dan bebatuan. Aku mulai berlarian ke sekeliling, melompat di sofa.
“Jack, aku menamaimu Jack,” katanya sambil mengusap buluku yang pendek-pendek.
Aku mengangguk, menjilati bulu kakiku. Nama yang menurutnya sangat jantan dan kuat, berharap aku tumbuh seperti nama itu.
Setiap pagi, dia bangun tergesa-gesa. Dia berlarian ke sana-sini, mencari-cari barang yang lupa diletakkannya di mana. Kadang mencari ponsel, ikat rambut, kunci motor, atau hal remeh lainnya.
Dia pergi di pagi hari dan pulang saat jingga pudar di cakrawala. Sebelum pergi, susu dan makanan bungkusan telah disiapkan untukku. Saat tiba, dia menyiapkan ikan kukus. Kala malam menjelang, dia mengajakku mengobrol, menceritakan hari-harinya. Kadang dia tertawa, kadang pula menangis.
Katanya, dia sama sepertiku. Hidup sendiri dan dilupakan. Orang tuanya memiliki keluarga masing-masing dan abai akan keberadaannya. Nasib kami sama, hanya saja dia tidak berbulu lebat sepertiku. Dulu, dia pernah memiliki pasangan. Mereka berpisah karena lelaki itu memiliki perempuan lain. Sekali lagi, nasib kami sama. Aku dulu pernah jatuh hati kepada betina berbulu putih yang selalu nongkrong di pembuangan sampah. Saat musim kawin, dia justru bercinta dengan si codet bermata satu.
Malam itu, aku baru saja menghabiskan ikanku. Pintu diketuk berkali-kali, tetapi dia bergeming. Suara seorang lelaki yang memanggil-manggil terus terdengar, meminta agar pintu itu dibuka segera disertai ancaman. Dia akhirnya melangkah setelah gebrakan keras di pintu. Setelah pintu dibuka, terlihat lelaki tinggi besar dengan kulit coklat yang menatapnya tajam.
“Kenapa lama sekali, Sarah?” tanya lelaki itu. Akhirnya, darinya aku tahu gadis yang merawatku bernama Sarah.
Aku mendengar rintihan dari penyelamatku. Kulihat lelaki itu memegang lengan Sarah. Mungkin pegangannya terlalu erat.
“Aku sudah bilang kalau aku mau cerai.”
Aku tidak tahu apa itu cerai, tapi kutebak itu berarti perpisahan bagi manusia. Aku mengeluarkan cakar saat lelaki itu menarik Sarah mendekat ke arahku, lalu menggeram berharap dia takut.
“Kamu lebih memilih membesarkan kucing sialan ini …,” tubuhku terlempar karena tendangan lelaki itu, “daripada anakmu sendiri?!”
Perutku teramat sakit, tapi ada yang jauh lebih sakit dalam diriku saat lelaki itu mengatakan kalau anak Sarah selalu menangis mencarinya.
“Aku bukan ibunya lagi. Rawat sendiri, dia anakmu.”
Aku mengenal Sarah selama dua minggu. Rasa nyaman atas perlakuannya membuatku berpikir dia manusia dengan hati malaikat. Lalu mengapa? Mengapa Sarah bisa menyelamatkan kucing liar sepertiku, tapi menelantarkan anaknya sendiri? Bukankah dia juga anak terlantar?
***
Makassar, 15 September 2021
Zee Anulika, seorang pecinta petrikor dan langit mendung. Dia percaya bahwa bahagia bisa didapat dari hal sederhana, misalnya tersenyum.
Editor: Vianda Alshafaq