Santi

Santi

Santi


Oleh: Elly ND

 

Dia diberi nama Santi. Setiap Hakim akan pergi ke sekolah atau bermain, dia selalu membuntuti. Meski pada akhirnya, langkah Santi selalu terhenti tepat di halaman rumah.

“Santi, di rumah aja, ya? Nanti siang kita main lagi,” kata Hakim, tapi tak ada jawaban dari Santi.

Setiap hari setelah pulang sekolah dan setiap Hakim selesai mengaji di masjid, mereka akan bermain bersama. Mereka seolah tak terpisahkan. Jika ada Hakim, di situ Santi pasti mengikuti.

Hari itu, hari Rabu. Seperti biasa pukul tiga sore, Hakim pergi mengaji, sedangkan Santi menunggu di rumah. Saat sedang memasak, Bu Salma, tanpa sengaja melihat Santi yang tiba-tiba lemas di depan pintu dapur.

“Pak! Cepat ke sini! Ini tolongin Santi, Pak!” teriak Bu Salma dari arah dapur.

Bergegas Pak Wira yang sedang sibuk mengetik laporan, datang ke dapur. Dan benar saja, Santi tergeletak lemas di pangkuan Bu Salma.

“Lho, ini Santi kenapa, Bu? Kok, keliatan lemes gini?” tanya Pak Wira sembari mengambil alih Santi dari pangkuan Bu Salma. Santi terlihat menggerakkan tubuhnya pelan.

“Ibu nggak tahu, Pak. Tahu-tahu aja Santi mau jatuh di depan pintu. Ibu kan tadi lagi masak, Pak. Jadi nggak terlalu merhatiin.”

“Oh, ya sudah. Santi biar Bapak aja yang angkat ke depan. Ibu tolong buatin susu, ya?” pinta Pak Wira.

“Iya, Pak,” jawab Bu Salma sembari mengambil gelas dan susu bubuk dari stoples.

Tidak lama kemudian, Bu Salma menghampiri Pak Wira yang sedang membaringkan Santi di ruang keluarga dan menyodorkan segelas susu beserta sendok yang akan dipakai untuk menyuapi Santi. “Ini, Pak, susunya. Pelan-pelan nyuapinnya, Pak.”

“Iya, terima kasih, Bu.”

Dengan hati-hati, Pak Wira menyuapi Santi.

“Santi, Bapak bantu minum susunya, ya?” Santi tidak menjawab, hanya matanya yang sedikit membuka, seolah mengiyakan perkataan Pak Wira.

Selama beberapa menit Pak Wira menyuapi Santi dengan susu, Santi terlihat mulai bertenaga. Pak Wira dan Bu Salma merasa lega, sebab Santi sudah tidak terlihat lemas lagi.

“Syukurlah Santi, kamu baik-baik aja, sekarang kamu di sini aja nggak usah main-main dulu, ya.” Pak Wira beranjak meninggalkan Santi yang mulai tertidur di ruang keluarga, sedangkan Bu Salma lanjut memasak.

***

Setelah magrib, Hakim yang baru saja kembali dari masjid dan sedang meletakkan sepeda di samping rumah menemukan Santi yang terbaring di teras.

“Hai Santi, udah magrib kok tiduran di sini?” Sambil berjalan hendak masuk ke rumah, Hakim menghampiri Santi. Tiba-tiba saja Hakim langsung memanggil orang tuanya.

“Pak… Bu… tolongin Hakim, Pak!” Teriak Hakim.

“Hakim, ada apa? Datang-datang bukannya ngucap salam, malah teriak,” tegur Bu Salma sementara di belakangnya Pak Wira mengikuti ke teras setelah mendengar Hakim memanggil.

“Ini Bu, Santi kenapa? Kok badannya lemas terus ada keluar lendir dari mulutnya?” tanya Hakim pada Bu Salma, sedangkan tangannya sibuk membersihkan mulut Santi yang terus mengeluarkan air liur dengan kain yang ada di dekatnya.

“Sepertinya Santi keracunan, Kim. Tadi sebelum magrib Ibu lihat dia ada naik ke plafon, terus nggak lama ada suara tikus.” Bu Salma memberitahu.

“Waduh, jangan-jangan Santi tadi nangkap tikus terus dimakan ya, Bu?” Sahut Pak Wira.

“Nah, bisa jadi itu, Pak. Soalnya tadi pagi kan Bapak ada naruh jebakan tikus terus makanannya sudah dikasih racun,” timpal Bu Salma.

“Jadi, ini kemungkinan Santi keracunan karena makan tikus yang sudah diracun, Bu?” tanya Hakim, suaranya sedikit bergetar membayangkan Santi akan tiada.

“Sepertinya begitu, Kim.” Bu Salma menjawab dengan ragu-ragu.

“Tolong Santi, Pak. Siapa tahu masih bisa diselamatkan,” pinta Hakim.

“Ya sudah, sekarang kita kasih susu aja ya, Kim,” ucap Pak Wira.

Segera, Bu Salma masuk ke rumah untuk membuat susu dan tidak lama kembali lagi ke teras dengan membawa segelas susu. Dengan sangat hati-hati, Pak Wira memberi Santi Susu. Hakim yang tidak tega melihat keadaan Santi, sedikit menjauh. Bocah tujuh tahun itu terlihat berkaca-kaca hendak menangis. Mungkin dia sedih melihat sahabatnya seperti itu.

Pak Wira masih terus memberi Santi susu, sayangnya semakin lama tubuh Santi terasa semakin lemas. Matanya pun perlahan-lahan menutup. Mulutnya yang tadi mengeluarkan lendir sedikit terbuka. Nyawa Santi tidak tertolong.

“Santi mati, Kim.” Pak Wira berkata sambil meletakkan Santi ke lantai teras.

Mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Wira, Hakim segera mendekat. Dengan mata yang berair, Hakim menyentuh badan Santi.

“Santi, jangan mati. Nanti aku main kejar-kejar sama siapa?” Tangis Hakim pecah. Tak pernah Hakim sesedih ini, melihat kucing kesayangannya telah mati.

“Sudah Kim, jangan nangis, ya? Nanti Bapak cariin kucing baru. Kemarin Bapak lihat di rumah Paman Hasan ada yang mirip bulunya dengan Santi,” ucap Pak Wira, menghibur Hakim.

“Hiks … i-iya, Pak.” sahut Hakim lirih.


***

Santi adalah kucing betina berekor panjang berwarna putih dengan sedikit warna abu-abu pada bagian telinga dan ekornya. Kucing yang ditemukan Hakim enam bulan lalu sepulang dari mengaji.

Kini, Santi telah pergi. Mati karena memakan tikus yang ditangkapnya. (*)

Kota Cantik, Juni 2021

Elly ND, penulis pemula, penyuka bakso dan kopi susu.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply