Sang Penjaga
Oleh : Mulia Ahmad Elkazama
“Emak, lihat! Ikannya melompat-lompat.”
Emak mengikuti arah jari telunjukku. Ia tersenyum manis, lalu mengusap kepalaku. Indah sekali! Mengarungi tenangnya riak air di laut lepas bersama Emak tercinta. Dengan sampan kecil, kami berdua bercanda ria, menikmati anugerah Tuhan yang Mahaindah.
Tak jauh dari tempat kami bersampan ria, sebuah gubuk kecil dari bambu berdiri kokoh di pinggir pantai. Nyaris seperti di tengah laut ketika air mulai pasang. Kesederhanaan yang terpancar begitu memukau. Ditambah hiasan gumpalan awan putih yang berarak di langit biru, menghipnotis kedua netra ini untuk tak berkedip manatap keindahan bak surgawi.
“Ranu, kamu harus menjaga anugerah agung ini, Nak. Ini adalah satu-satunya warisan negeri kita yang asri, belum terjamah oleh tangan-tangan kotor,” kata Emak sambil sesekali merapikan rambutnya yang terkoyak angin.
“Iya, Mak. Ranupala akan menjaga kekayaan kita ini.” Aku memandang wajah Emak yang kian renta. Gurat-gurat keriput begitu halus terlukis di sana.
Mentari mulai terik. Emak bergegas mendayung sampan menuju gubuk mungil kami di bibir pantai. Setiap pagi, Emak selalu mengajakku mengarungi laut, bersampan ria, mengeja setiap napas angin dan ikan-ikan.
“Ranu berangkat dulu, Mak.” Kucium tangan Emak penuh takzim. Lalu, melangkah pergi meninggalkan Emak sendiri dengan pekerjaannya sebagai penyulam jaring. Ya, aku harus memiliki banyak ilmu dan pengetahuan bila ingin menjaga dan melindungi kekayaan alam ini.
Ayah telah lama pergi tak kembali. Aku ingat pesan terakhir Ayah sebelum ia hilang ditelan kabut malam saat menjelajah lautan, mencari nafkah untuk kami sekeluarga.
“Selama Ayah pergi, jaga ibumu dan kekayaan kita ini dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Kau mengerti, Ranu?!”
Aku mengangguk yakin dan berjanji dalam hati akan melaksanakan pesan Ayah. Sampai saat ini, pesan itu selalu terngiang di telinga. Bersamaan dengan itu, rindu ini semakin membuncah, melembahkan kristal bening dari sudut mata.
“Laki-laki harus kuat, Ranu! Banyak hal yang harus ia jaga dan lindungi. Jika ia lemah, ia akan kehilangan segala-galanya.” Lagi-lagi pesan Ayah terngiang, membuatku segera menghapus air mata dan tersenyum bangga; aku dilahirkan dari Ayah yang perkasa dan Ibu yang tiada duanya.
Tidak seperti anak-anak sebaya yang biasa bermain-main, aku lebih suka membantu Emak sebisa yang kulakukan. Untuk itu, setelah pelajaran di sekolah selesai, aku langsung pulang ke rumah. Belum sampai menginjak rumah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari jarak beberapa meter. Bergegas aku mendekat ke arah suara itu.
“Tidak! Hentikan!” Aku berteriak lantang pada dua pria yang sedang menangkap ikan dengan meledakkan bom. Ya, bom yang akan merusak kehidupan lautan; terumbu karang, ikan-ikan kecil, ikan hias, dan sebagainya.
“Ranu!” suara Emak terekam gendang telingaku. Mataku terbelalak melihat Emak duduk tak berdaya di atas pasir pantai.
“Emak!” Aku berlari mendekatinya. Namun, langkahku tertahan oleh tubuh besar dan kekar salah seorang dari penangkap ikan itu.
“Jangan sakiti Emak!” ancamku seraya memukul-mukul pria besar itu. Gelegar tawa membahana di antara deru angin.
“Hai, bocah! Jangan ikut campur urusan orang dewasa. Gabung sana dengan Emakmu itu!” Pria itu merengkuh tubuh kecilku, lalu menghempaskannya ke arah Emak.
“Jangan ke mana-mana atau aku hancurkan kepalamu!” Pria berkumis tebal itu mengacung-acungkan sebuah senjata api semacam senapan kepadaku. Aku sedikit ketakutan hingga tubuh gemetar.
“Kamu tak apa-apa, Ranu?” tanya Emak sambil memeluk tubuhku. Saat aku mampu menguasai ketakutanku, aku mencoba berpikir keras, bagaimana mengusir kedua pria tak bertanggung-jawab itu dari tempat ini?
“Ranu, pergilah ke kampung terdekat. Temui kepala desa. Emak akan mengecoh perhatian mereka,” bisik Emak.
Detik kemudian, aku berlari sekuat tenaga menuju kampung terdekat. Entah apa yang hendak dilakukan Emak. Sebelumnya, ia melarangku menoleh ke belakang. Untung saja kedua pria itu tak mengejarku, hanya umpatan-umpatan yang berebut ruang dengan angin di telingaku.
Sesampai di kampung, dengan lantang aku mengabarkan pada warga, bahwa telah terjadi penangkapan ikan secara ilegal. Warga pun bergabung bersamaku menuju pantai.
Setiba di pantai, tubuhku lemas seketika. Pemandangan di hadapanku kali ini sungguh membuatku takut dan cemas.
“Emak!” Aku menjerit sekuat-kuatnya saat melihat Emak tergolek di pasir, berlumuran darah. Sejurus kemudian, aku dan warga berlari ke arah Emak.
“Emak, bangun, Mak!” Aku menggoyang-goyang tubuh Emak. “Jangan tinggalkan Ranu, Mak!” Aku benar-benar takut jika kehilangan malaikat penjagaku satu-satunya. Tidak lama kemudian, Emak membuka mata dan bangun. Ia langsung memeluk diriku erat sekali.
Tak jauh dari tempat Emak, tubuh kedua pria penangkap ikan terbujur kaku. Sebilah belati tertancap di dada salah seorang dari mereka. Warga pun membantu mengevakuasi mayat keduanya.(*)
Pati, 24 Maret 2020
Mulia Ahmad Elkazama, lahir di kota kecil, Pati, Jawa Tengah. Penggemar serial anime Naruto ini suka membaca dan menulis. Aktif belajar di beberapa grup kepenulisan dunia maya.
FB: Mulia Ahmad Elkazama.
IG: @ahmadmulia247.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata