Sang Penguasa

Sang Penguasa

Sang Penguasa

Oleh : Tirza Inzaaliza

 

Kerajaan Lokapala bergolak. Dari halaman keraton, seorang lelaki gagah mengamati asap hitam yang membumbung di kejauhan. Wajahnya terlihat serius dengan jemari menopang garis rahangnya yang tegas. Kepalanya disesaki pikiran tentang pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi satu bulan belakangan. Belum lagi ia harus meredakan keresahan sang Raja, yang merasa kenyamanannya duduk di singgasana terusik.

“Siapa mereka?” tanya si lelaki.

Seorang prajurit yang datang dari arah belakang dan belum sempat menyapa, terkejut. Segera ia ambil posisi bersimpuh di belakang lelaki yang mempunyai posisi sebagai Patih di Kerajaan Lokapala itu, siap memberikan informasi yang ia dapatkan langsung dari markas para pemberontak.

“Mereka adalah kaum terpelajar yang dididik oleh Raja Wiguna, Raja dari pemerintahan sebelumnya.”

Lendra berbalik dengan mata memicing menatap orang kepercayaannya. “Apa tuntutan mereka?”

Prajurit itu semakin menunduk. Menjawab dengan sedikit terbata. “Mereka meminta Raja Kertawisesa lengser. Kata mereka, undang-undang dan penarikan upeti oleh pihak kerajaan, merugikan rakyat kecil.”

Lendra tertawa sumbang. “Siapa nama pemuda di balik gerakan pemberontakan ini?”

“Mahesa.”

***

Dalam jeda beberapa depa, Lendra dan Mahesa saling bersitatap. Lendra mengenali kilatan semangat di mata Mahesa. Ia seperti melihat dirinya lima belas tahun silam. Pemuda naif bau kencur yang masih buta akan dunia politik.

“Untuk apa Tuan Patih mengundangku ke keratonnya? Apa ingin menghabisiku seperti teman-temanku yang lain?” geramnya tanpa gentar sedikitpun.

Lendra tersenyum santai menanggapi.

“Kalian yang diam-diam menculik lalu membunuhi kami, iya, kan? Sudah, akui saja kesalahan kalian!”

Lendra mengulurkan tangan mempersilahkan tamunya duduk. “Aku hanya ingin melihat seperti apa pemuda yang berani menolak kebijakan kami.”

Mahesa memilih duduk juga pada akhirnya. Rambut sebahunya dibiarkan berkibar tertiup angin dari utara keraton. Embusannya sedikit mendinginkan bara di dalam dadanya. Ia menatap waspada lelaki yang berdiri tenang di depannya.

“Mari kita duduk tenang dan bernegosiasi.” Lendra menepuk tangannya. Tidak lama dari dalam keraton, keluar seorang pelayan membawa sebuah peti kayu berukiran rumit yang terbuat dari kayu jati. Ketika dibuka, setumpuk koin emas memantulkan sinar matahari yang menerobos dari celah lubang angin di dinding keraton.

Mahesa mengepalkan tangan geram. “Tuanku berusaha menyuap dengan harta agar saya berhenti mengobarkan semangat para pemuda di luar sana?”

Lendra menggeleng. “Blak-blakkan sekali mulutmu anak muda. Percayalah, kamu akan membutuhkannya nanti. Baiklah, mungkin tawaran yang lain ini sesuai denganmu. Kamu muak dengan perundang-undangan kerajaan kita, bukan? Bagaimana kalau aku memberimu kursi di pemerintahan. Kebetulan aku membutuhkan seorang menteri muda. Cobalah duduk di sana. Aku penasaran apakah kamu memang punya kemampuan atau sekedar bermulut besar.”

Mahesa terhenyak. Lelaki di depannya menawarkan sebuah jabatan. Tidak tanggung-tanggung. Kursi empuk sebagai seorang Menteri Muda bersedia diberikan oleh orang kepercayaan Raja itu. Namun, Mahesa bergeming. Patih itu pasti akan meminta imbalan atas jasanya dan itu berarti ia harus tunduk pada kekuasaan Raja Kertawisesa. Mahesa memutuskan untuk terus berjuang melawan kesewenang-wenangan pihak kerajaan dalam penarikan pajak. Ada amanah dari Tuan Wiguna—Raja sebelumnya— dan tuntutan dari rakyat yang ia pikul di pundaknya.

“Kenapa? Hanya tahu memberontak tanpa bisa menyodorkan solusi?” ejek Lendra.

Mahesa terpancing. Sisi intelektualitasnya terusik. Ia membeberkan mulai dari segala kebobrokan pemerintahan saat ini, sampai beberapa tuntutan yang ia rasa cocok untuk membawa kemaslahatan rakyat banyak dengan mata penuh semangat. Lendra duduk diam menyimak. Sesekali ia menganggukkan kepala menyetujui jalan pikiran pemuda di depannya. Dulu, ia juga melakukan hal yang sama seperti pemuda di depannya

“Cerdas. Pikirkan kembali tawaran dariku tadi.” Lendra kembali menepuk keras tangannya.

Kali ini dari dalam keraton, keluar tiga orang perempuan. Dua orang berpakaian emban, dan seorang lagi terlihat mengenakan pakaian berkelas, khas putri dari kalangan bangsawan.

“Nirmala …,” lirih Mahesa begitu mengenali sosok sang perempuan muda. Semangat di matanya meredup.

“Kakang Mahesa!” Nirmala berlari. Menubruk tubuh tinggi lelaki muda berkulit sawo matang lalu menyandarkan kepala di dada bidangnya.

Sejenak sepasang kekasih itu lupa ada Lendra yang berdiri mengawasi dengan senyum samar. Mereka berangkulan melepas rindu setelah puluhan purnama terpisah karena terhalang restu kedua orang tua Nirmala.

Mahesa sigap melepas pelukannya. Ditariknya Nirmala berlindung di balik punggungnya. “Apa yang Tuanku lakukan padanya? Dia tidak ada hubungannya dengan pergerakan yang aku lakukan.”

Lendra terbahak. “Apa aku sekejam itu di matamu, anak muda? Kalian berbicaralah dulu. Aku tahu kalian perlu waktu lebih lama untuk melepas rindu.” Lendra melangkah menuju taman keraton. Mengawasi keduanya dari jauh.

“Kang Mas, aku bahagia sekali. Kedua orang tuaku sudah setuju kita menikah.” Wajah Nirmala berbinar menatap wajah tampan kekasihnya.

“Bagaimana bisa?” tanya Mahesa ragu.

“Paman Patih sendiri yang datang ke rumah melamarku untukmu, Kang Mas. Kata Paman Patih, beliau akan segera mengangkatmu menjadi Menteri Muda di kerajaan Lokapala.”

Wajah Mahesa seketika murung. Gamang. Patih itu rupanya mengetahui titik kelemahannya. Nirmala. Gadis bangsawan yang begitu ia puja karena kecantikan juga kecerdasannya.

“Kang Mas tidak bahagia bisa menikah denganku?” Nirmala menunduk kecewa.

“Kang Mas, terimalah tawaran Paman Patih. Di dalam pemerintahan, Kang Mas bebas menyuarakan isi hati rakyat nantinya. Yang lebih penting, kita juga bisa bersatu, Kang Mas. Tidakkah hal itu membuatmu bahagia?” rengek Nirmala lagi.

“Tidak, aku sangat bahagia. Bisakah kamu ke dalam dulu? Ada yang mau aku bicarakan dengan Paman Patih.” Mahesa menyerah. Benar apa yang tadi dikatakan kekasihnya. Nirmala mengangguk senang. Langkahnya riang dengan senyum manis terkembang di bibirnya yang penuh.

Mahesa melangkah gontai mendekati Lendra. Sosoknya yang garang bagai singa, kini berganti menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. “Aku menerima tawaranmu.”

Lendra tersenyum tipis sambil menepuk pundak lelaki yang kini tidak setegap ketika masuk keraton tadi. “Bawalah peti berisi koin emas tadi. Bagikan kepada seluruh pengikutmu. Aku rasa kamu paham apa tugas pertamamu bukan?”

***

Kerajaan Lokapala kembali tenang. Aktifitas masyarakat kembali normal. Sebagian masyarakatnya kembali memenuhi pasar-pasar. Sebagian lagi memilih berlayar menjadi nelayan. Warung-warung kopi kembali ramai. Pengunjungnya terlihat asyik berdiskusi tentang carut marut kerajaan. Tidak ada perubahan berarti sejak pemberontakan tempo hari. Raja Kertawisesa masih menduduki posisi sebagai raja dengan undang-undang perpajakan yang mencekik rakyat.

Dari balik tudung berpenutup wajah, seorang lelaki diam mendengarkan sambil tersenyum. Dia adalah prajurit kepercayaan Patih Lendra yang tengah menyamar. Berbaur di kerumuman masyarakat untuk mencari informasi. Setelah dirasa cukup, ia berdiri meninggalkan beberapa koin perak untuk camilan dan segelas kopi yang ia santap. Ia pacu kudanya menuju keraton di pusat ibu kota.

“Ada kabar apa?” Lelaki gagah yang berdiri di taman belakang keraton itu bertanya tanpa membalikkan badan. Prajurit itu terkekeh.

“Sejauh ini bagus, Tuan Patih. Tidak ada pemberontakan berarti. Hanya ada sedikit pergerakan mencurigakan, tapi masih bisa kami atasi.” Lendra menarik napas lega. Setelah prajurit kepercayaannya pergi, ia menyusul Rengganis—istrinya—yang duduk di bangku taman. Dengan manja, Lendra merebahkan kepala di pangkuannya.

“Aku kira Kakang setuju dengan gerakan pelengseran Raja Kertawisesa. Seingat Dinda, Kakang punya dendam pribadi dengannya.” Jemari lembut Rengganis memijat kepala Lendra.

“Tadinya aku berniat bergabung dengan mereka. Tapi, selama Kertawisesa masih dalam kendaliku, kurasa aku tidak membutuhkan raja baru, Dinda.” Lendra berkata dengan mata terpejam. Ia menyukai posisinya saat ini.

Tamat

 

Bionarasi :

Perempuan kelahiran tanah Borneo dengan nama pena Tirza Inzaaliza ini bercita-cita menjadi penulis. Ia ingin membuai pembaca dengan karyanya. Belajar dengan membaca karya penulis lain adalah sarananya dalam belajar.

Editor : Freky Mudjiono

 

Link ilustrasi : https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fi.pinimg.com%2F564x%2F7e%2F60%2F65%2F7e606503736772efb2a346e7e560075c.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fid.pinterest.com%2Fpin%2F754071531345227880%2F&tbnid=M8ZzuLy9voJDQM&vet=1&docid=oupomNNad0dvbM&w=560&h=420&hl=in-ID&source=sh%2Fx%2Fim

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply