Sang Pengirim Surat
Oleh: Evamuzy
Terbaik Ke-8 TL-19
Awan berarak cepat, menggantung kelabu. Gerimis yang turun tak menghentikan ledakan-ledakan dan semburan api menyentuh langit dari arah barat. Di garis batas di mana orang-orang menyebutnya sebagai tempat bersarangnya iblis sekaligus Izrail.
Tubuh-tubuh menggigil, sebab malam telah banyak berselimut dingin dan rasa takut.Bibir-bibir memucat, menunggu sepotong roti dan seteguk air didatangkan. Dan ia Arthur Dorothy, lelaki lima puluh enam tahun, berjalan menuntun sepeda yang tidak kalah tua dari sepasang kakinya sendiri. Membelah pagi yang mati, menyusuri jalanan kota di antara reruntuhan bangunan-bangunan.
Istri lelaki itu telah wafat, tiga setengah tahun yang lalu, setelah sepasang dadanya habis dimakan penyakit.Saat mulai tercium bau permusuhan di antara dua negara yang dulunya saling berbagi air hingga anggur.Dan sejak saat itu pula, anak lelaki satu-satunya yang dimiliki Arthur telah memilih menjadi seorang prajurit penjaga batas negara. Meninggalkan lelaki itu sebatang kara di rumah kecil mereka. Menghabiskan lebih banyak kayu bakar di perapian, lantararan takut dibunuh musim dingin dan kesepian.
Gerimis mulai rapat.Rentetan dentuman dan hawa panas beberapa kilometer darinya, membuat tangan lelaki tua itu kian pucat. Namun tak secuil pun ia berniat menghentikan langkah. Tas kulit yang digantung di salah satu setang sepedanya berisi puluhan surat, dan mereka tengah menunggu tangan-tangan si penerimanya di barak pengungsian sana.
Arthur Dorothy menjelma layaknya merpati tua yang tak takut tembak. Demi wajah-wajah yang menanti sebuah kabar datang, demi seulas senyum yang akan diterimanya saat kertas surat menyentuh telapak tangan mereka, dan demi satu persamaan nasib: dipeluk kerinduan yang semakin berkarat.
Di depan barak pengungsian, Arthur disambut Adaline, gadis kecil sembilan tahun, putri seorang prajurit yang telah tiga pekan tak melihat wajah ayahnya. Gadis kecil itu berlari ke arah Arthur sambil membawa senyum semekar mawar di musim semi.Rambutnya yang dikuncir dua, turut berayun-ayun, menyambut kedatangan lelaki tua itu.
Di kedua lutut Adaline, ada luka yang mulai kering.Ia bercerita kepada Arthur, bahwa luka itu didapatnya saat ia tersungkur, saat ibunya terpaksa menyeretnya yang masih setengah tertidur, tepat saat kota kecilnya dihancurkan puluhan rudal di pagi yang masih terlalu bayi. Saat Arthur menyampaikan keprihatinannya atas luka itu, Adaline bilang itu tidak apa-apa. Ayahnya selalu berpesan agar ia menjadi gadis yang kuat. Dan sebagai anak yang bermimpi menjadi seorang dokter, ia tak boleh berlarut-larut sedih untuk luka yang tak seberapa itu. Begitu katanya.
Adaline berteriak kepada anak-anak pengungsi yang lain bahwa kakek pengantar surat telah datang.
Arthur menjadi serupa penjual permen yang diserbu puluhan anak. O, atau mungkin pengibaratan itu sedikit kurang tepat, sebab para perempuan juga turut mengantre di belakang mereka. Menanti surat-surat yang dikirim para suami, para prajurit yang barangkali akan bisa menghentikan peperangan.
Setelah menerima surat dari ayahnya dan berkata terima kasih kepada Arthur, Adaline segera melesak ke dalam barak. Tak rela kertas surat jadi basah oleh gerimis, dan akan melunturkan tintanya.
Duduk di samping Anne, sang ibu, yang tengah memangku seorang bayi laki-laki, Adaline membuka amplop surat biru muda.
‘Untuk Adaline Gudytha. Bunga mawar kecil kecintaan Ayah.
Kau tahu, Nak. Di markas ada sebuah mesin tik baru, dan itu membuat Ayah semakin bersemangat menulis surat untukmu. Meski itu artinya Ayah harus mengantre bersama puluhan prajurit lain yang juga ingin mengetik surat untuk keluarganya. Tapi tenanglah, Ayah akan menunggu dengan sabar, dengan sepotong roti gandum yang teramat lezat. Ayah akan membawakannya sepotong untukmu, juga adik dan Ibu saat pulang nanti. Jadi jagalah dirimu baik-baik hingga waktunya kita bertemu.
Makanlah dengan teratur, makanlah apa saja yang tersedia di sana dan jangan pilih-pilih. Jika tersedia sayuran atau susu, jangan lupa berbagilah untuk Ibu dan adikmu. Ayah titipkan Ibu dan adik kepadamu karena kau anak baik dan kuat seperti biasa.
Di setiap malam sebelum terlelap, carilah selimut yang cukup untuk kalian bertiga.Pastikan adikmu yang masih bayi tidak kedinginan.Dan pastikan kau selalu berdoa kepada Tuhan agar Ayah baik-baik saja. Ayah juga akan selalu berdoa untukmu, adik, dan Ibu.
Sampai jumpa. Tunggulah Ayah pulang dan mendongeng cerita baru untukmu, Mawar Kecil Kecintaan Ayah.’
Adaline membaca lantang.Sengaja agar ibunya ikut dengar.Akan tetapi Anne hanya bergeming saja.Ia bahkan tak mengomentari panggilan sang suami untuk putrinya, yang bukan lagi lili putih kecil, seperti yang di surat-surat sebelumnya. Dan saat Adaline bertanya kenapa panggilan sayang untuknya berubah, Anne menjawab dengan, “Mungkin Ayah melihat beberapa tangkai mawar saat perjalanan pulang ke markas. Dan dia berpikir bunga itu secantik dirimu.”
Adaline ingin bertanya lagi.Apakah benar masih ada bunga mawar yang hidup, sementara hampir semua bangunan di kotanya runtuh?Namun urung.Ia melihat wajah ibunya berubah mendung, sambil mulai menyusui adik bayinya yang menangis.
Gadis kecil itu termenung. Seperti yang sudah-sudah, mungkin malam nanti ia juga akan tertidur sambil memeluk surat dari sang ayah.
Sementara di luar barak pengungsian, anak-anak dan perempuan-perempuan yang mengerubungi Arthur tadi mulai menyingkir.Mencari tempat untuk membaca surat-surat mereka dengan hati berbunga. Tinggallah seorang perempuan bernama Jenia, berdiri di depan Arthur yang tengah mengorek tasnya, demi menemukan satu surat yang tersisa.
Senyum Arthur menular kepada perempuan itu tatkala sepucuk surat yang rupanya terselip di antara lipatan tas, ditemukan. Jenia mengucap terima kasih, lalu pamit untuk lekas membaca suratnya.Perempuan itu menjauh dengan langkah pelan, membawa beban perutnya yang semakin membesar. Kata seorang bidan yang datang setiap tiga hari sekali, Jenia akan melahirkan anak pertamanya sekitar dua pekan lagi.
Tiga pekan lalu, Arthur ingat. Untuk pertama kalinya ia melihat Jenia di pengungsian. Perempuan itu duduk sendirian di kursi kayu samping barak sambil terisak-isak.Wajah cantiknya basah air mata, membuatnya bagai bunga amarilis yang layu dan tersiram hujan. Di tangannya, digenggam saputangan ungu muda yang tepiannya disulam sebuah nama, Julius Leofric. Dan Arthur menebak itu nama sang suami yang tengah Jenia tangisi.
“Aku takut dia tak bisa melihat wajah putranya saat lahir nanti,” kata Jenia di sela isakan.Arthur jadi teringat mendiang istrinya dulu.Saat melahirkan putra semata wayang mereka, perempuan itu juga tak rela melepas genggaman tangan Arthur.Seolah mengatakan jika keberadaannya saat itu bagai pertahanan antara hidup dan mati.
“Aku akan mengirim surat kepada putraku untuk menemukan suamimu.Atau barangkali mereka sudah saling mengenal.Aku akan menyuruhnya membantu suamimu agar bisa pulang saat kau hendak melahirkan nanti.”Arthur berharap jawaban ini bisa sedikit menghiburnya.Dan benar, hujan di wajah Jenia mulai reda.
Jenia masuk ke dalam barak dan membaca suratnya.
‘Untuk Jenia, Istriku. Perempuan secantik kamelia sejak pertama kita bertemu.
Jenia, mungkin kau bingung dengan surat ini yang lagi-lagi tak bertulis tanganku. Tinta di markas habis dua pekan ini, dan digantikan dengan mesin tik baru untuk kami gunakan bergantian. Tetapi itu sama sekali tak mengurangi rasa rinduku yang sudah menggunung. Aku ingin sekali Tuhan membantu menghentikan perang ini, agar aku lekas pulang kepadamu.Menemanimu melahirkan bayi laki-laki kita, dan dia lahir tanpa harus mendengar suara-suara tembakan.
Namun, ada yang membuat hatiku berbunga-bunga, persis seperti saat kau menerima lamaranku.Semalam aku bermimpi bertemu bayi kita.Dia sangat tampan, dengan wajah persis wajahmu. Sepasang matanya jernih dan berbinar serupa matamu, menunjukkan dia akan menjadi seorang laki-laki yang kuat dan bisa diandalkan. Aku yakin dia akan sanggup menjagamu dengan sangat baik, selama aku tidak ada bersama kalian.
Jenia, makanlah dengan teratur. Banyaklah mengobrol bersama istri-istri prajurit yang lain di sana, dan kurangi duduk seorang diri. Saat kau merasakan sesuatu dengan bayi kita, cepatlah meminta pertolongan kepada siapa saja. Berusahalah untuk tenang dengan mengingat wajahku dan nama Tuhan. Aku akan selalu mendoakanmu, dan berusaha pulang sebelum waktunya kau melahirkan.
Cintamu,
Julius Leofric’
Surat kembali dilipat.Disimpan di bawah kasur tipis tempatnya tidur, untuk dibacanya lagi nanti, saat rindunya yang tak pernah surut, kembali menghantam-hantam keras dadanya.
Sementara di luar barak sana, setelah memastikan tasnya kosong dari surat-surat, Arthur membalikkan sepeda tuanya untuk pulang, membetulkan topi baret abu-abu yang ia kenakan, lalu merapatkan syal rajut buatan tangan mendiang istrinya. Ia berjanji akan datang dua pekan lagi, setelah semua surat terkumpul. Begitu kata lekaki itu kepada para penghuni barak.Kini, tugas Arthur setelah sampai rumah nanti adalah, mulai mengetik surat-surat itu dengan mesin tik tuanya. Demi membunuh rasa bosan sejak kantor pos tempatnya bekerja puluhan tahun ini, tak lagi menerima satu pun surat untuk dikirim. Juga demi menghalau serangan kerinduan kepada sang putra, yang sudah tak pernah lagi memberi kabar sejak ledakan rudal yang pertama. Yang Arthur dengar hanya sebuah kabar bahwa, jumlah prajurit yang dimiliki negara mereka menipis, dan aroma kekalahan mulai tercium kuat.
Seperti yang dilakukannya saat berangkat tadi, Arthur pulang menyusuri jalanan kotanya yang sekarat dengan penuh hati-hati.Boneka beruang warna cokelat tua dengan pita merah jambu mengikat leher untuk Adaline, sepasang sepatu bayi warna biru muda untuk bayi laki-laki Jenia, mengisi angan si lelaki tua itu.Ia terus menuntun sepedanya di antara puing-puing bangunan dengan hati bangga, sambil terus menggumamkan lagu kebangsaan. Tak sadar jika dari kejauhan sana, sebuah rudal tengah meluncur ke arahnya. (*)
Brebes, 20 Maret 2022
Evamuzy, penyuka telur dadar yang tidak boleh makan telur.
Komentar juri, Reza:
Kerinduan dan kesepian, terkadang mendorong seseorang melakukan hal tidak terduga. Karakter Arthur ini memiliki daya tarik yang kuat dalam cerita. Terbayang di kepala saya seorang kakek tua dengan senyuman paling ramah yang pernah saya temui. Ini adalah salah satu cerpen yang membuat saya terlupa sedang menjuri. Setiap katanya tersusun dengan baik, seolah sudah mengetahui tempat mereka dengan benar.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata