Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 6
Sang Penentu
Oleh: Noel Soega
Terhuyung, Abimanyu mendekap ulu hati. Bangkit sepeninggal Laksmana yang menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan. Pemuda itu menyeret pergi lengan kekasihnya, Sasi. Entah bagaimana niat pertemuannya dengan Sasi—yang selama ini memang sahabatnya—di kantin kampus terendus Laksmana. Jelas-jelas tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu, kecuali ….
“Ayolah, Utari. Engkau yang menakdirkan pertemuan kami. Bukankah maumu agar mereka tidak bersatu?” gumamnya sendu. Perempuan itu, Utari, yang menuliskan jalan cerita mereka, membeku di depan layar ponsel. Bahunya halus bergerak menahan sesak. Matanya pejam dengan bening berlinang.
Segalanya berawal dengan begitu sempurna. Utari menciptakan Laksmana dengan segala karakter yang ia inginkan. Postur ideal, paras rupawan, juga hati penuh kelembutan. Selazimnya kisah-kisah romantis yang diawali prolog dengan diksi manis, Utari mengambil alih peran Tuhan dalam kehidupan. Menentukan nasib perjalanan tokoh-tokohnya.
Diciptakan sebagai protagonis baik dan kharismatik yang nyaris sempurna, tentu saja Laksmana begitu memesona pembaca. Klise. Laksmana seorang mahasiswa seni rupa, orang penting di tim Mapala dengan prestasi akademis yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Laksmana berbincang di ruang sekretariat Mapala dengan beberapa kawannya. Garis wajahnya ketika tertawa juga gestur tubuhnya menarik pandang seorang mahasiswi untuk mencuri-curi. Ialah Sasi, anak semester dua yang beberapa waktu bergabung menjadi anggota. Degup dan getar itu tidak hanya milik Sasi, tetapi juga Utari. Di depan layar ponsel, perempuan itu mengukirkan senyum dengan wajah bersemu merah.
Ah, tidak! Utari terhenyak, merasa Laksmana tiba-tiba menatapnya. “Seharusnya kepada Sasi pandangmu tertuju, Laksmana.” Utari mengetikkan narasi. Laksmana tersenyum penuh arti, mengalihkan pandang kepada Sasi yang lantas gugup tertangkap mata, menggamit lengan mahasiswa yang berdiri di sampingnya. Keduanya pun keluar ruang sekretariat usai merampungkan keperluan.
“Thanks, ya, Bim.” Sasi menghela napas setelah beberapa jarak dari ruang sekretariat. Kedua tangannya menangkup dada, semringah terbaca jelas pada paras. Abimanyu menaikkan kedua alisnya, segaris senyum terulas.
“Apa yang nggak buatmu, Sas.” Abimanyu mengacak pucuk kepala Sasi. Gadis itu menepis tangannya, sekadar menyelamatkan tatanan rambutnya.
“Kamu terrrbaik, Bim.” Sasi menepuk bahu Abimanyu, kemudian melangkah lebih dulu. Abimanyu mengepalkan kedua genggaman, “Yess, tentu!” lalu segera menyusul langkah kecil Sasi, tak terlewat jari telunjuk dan jempolnya membentuk simbol kepada Utari. Love. Namun, itu bukan untuk jam bubar kuliah.
“Hai, Sasi. Pulang bareng? Kita searah bukan?” tanya Laksmana menghentikan motornya tepat di sebelah Sasi yang melangkah bersama Abimanyu di trotoar samping pelataran kampus. Sasi menoleh ke Abimanyu dengan binar sendu mata anak kucing. Abimanyu mengiyakan, dengan wajah muram mengiringi punggung Sasi menghilang di atas sadel belakang motor Laksmana.
“Utari, alurmu terlalu cepat untuk membuat mereka dekat.” Abimanyu menggumam sebal. Utari mengguncang bahunya dengan tawa tertahan, jemarinya masih sibuk menyusun kata.
“Terima saja scene bagianmu, Bim. Sebagaimana aku yang harus membuatmu seperti itu, padahal aku begitu ingin agar tidak demikian.” Utari mengetik, lalu menghapus lagi. Begitu caranya dia terhubung dengan Abimanyu.
“Ayolah, kamu tidak menghargai upayaku merawat rasa ini selama hampir lima tahun? Lagi pula, kamu cinta gila sama Laksmana bukan? Kuasa ada pada jarimu, Utari. Begitu kamu ketik Sasi menolak tawarannya, alur akan berubah.” Abimanyu masih menyemburkan banyak serapah, tetapi jemari Utari sudah membawanya pergi menuju rumah melalui rangkaian aksara yang kadang jelas terbaca kadang nge-blur karena ketik hapusnya.
Minggu pagi, seperti yang sudah diagendakan Abimanyu dan Sasi untuk sunmori, nggowes ke taman hutan kampus. Abimanyu menggeliat dari sekejap lelapnya bakda subuhan yang telat. Tergesa anak muda itu bersiap, tidak ingin membiarkan Sasi lama menanti. Urusan kostum selesai, Abimanyu mengeluarkan sepeda gunungnya dari garasi. Menjejak pedal meluncur ke komplek sebelah di mana berada rumah Sasi.
“Loh, Sasi udah pergi tadi sama temennya. Dibonceng motor, Bim.” Mami Sasi yang tengah menyiram koleksi bugenvil langsung berucap begitu Abimanyu mengerem laju sepeda.
“CBR merah, ya, Te?”
“Iya, keknya. Temen kuliah, kan? Tante baru ketemu tadi.”
Abimanyu gusar, melesat pergi setelah pamit pada mami sahabatnya. Kisah awal tidak seperti ini, dia akan menghilangkan scene-scene kebersamaanku dengan Sasi, batin Abimanyu menggerutu. Dikayuhnya pedal sepeda dengan kekuatan penuh menuju taman hutan kampus.
Abimanyu menuntun sepedanya kuyu. Dari tempat dia berjalan tertangkap matanya di depan sana. Area menara panjat yang tidak jauh dari jalan setapak trek sepeda di taman hutan. Laksmana tengah memasangkan carabiner untuk Sasi disertai percakapan seru. Sasi terlihat ceria pagi itu. Tertawanya lepas. Bahagia. Halah, cinta!
“Utari, ini terlalu dini. Setidaknya jika kamu tidak membuat kami berjodoh, beri kesempatan padaku terlebih dulu.” Abimanyu menengadah, mendapati canopy shyness. Berharap di sanalah Utari menjalankan kendali. “Seharusnya pagi ini aku menikmati kebersamaan bersama Sasi. Kepergian dengan Laksmana bukankah ada di bab ketiga?”
“Ck! Ini bukan kisah novela, Bim. Aku harus memangkasnya menjadi cerita pendek saja.” Utari menggerakkan jempolnya dengan lincah menekan tut-tut keypad.
“Setidaknya tuliskan untukku menyampaikan semua kepada Sasi, Utari. Kamu tahu bagaimana rasanya menyimpan sesak di dadamu merindu Laksmana bukan?”
“Lupakan, Bim. Jangan singgung tentang itu!” desis Utari, sesaat gerak jempolnya terhenti. Perempuan itu menahan napas dan merasai nyeri, “Dia tokohku, ada di tanganku. Sekadar imaji.” Jempol Utari kembali menari.
“Apa bedanya denganku? Aku bisa terhubung denganmu. Rasa kalian bisa bersambut, dan biarkan aku bahagia dengan Sasi.”
“Tidak seperti yang kamu pikirkan, Bim. Ini terlalu sulit. Kalian di bawah kendali pikiranku, tapi …,”
“Haiii, Bim!” seru Sasi dari tempatnya berada. Dia menangkap keberadaan Abimanyu. Tak ayal, Abimanyu melambaikan tangan, lantas bergerak membawa sepedanya ke jalan memutar menuju menara panjat.
Tiba di area menara panjat, Sasi sudah merayapi papan wall climbing. Abimanyu mengawasi sahabatnya yang beraksi di bawah seruan Laksmana memberikan instruksi. Sepuluh menit berikutnya, Sasi sudah menjejakkan kaki kembali setelah rappelling—meluncur turun menggunakan tali.
“Bim, maaf … ya. Tadi aku ninggalin kamu. Kak Laksmana tiba-tiba nyamper,” sapa Sasi dengan jeda terengah setelah melucuti peralatan panjatnya. Gadis itu menjatuhkan duduknya di sebelah Abimanyu.
“Its okay. Happy?” sahut Abimanyu sumbang tertawa. Utari, sekali ini saja, biarkan aku berlakon sendiri.
Sasi mengangguk manis.
“Bisa kita bertemu di kantin, Sas? Sendiri. Laksmana tidak boleh tahu. Ini penting!” rendah suara Abimanyu, menunggu kepercayaannya dari Sasi. Meski tercetak jelas kebingungan di wajahnya, Sasi menyanggupi. Abimanyu pun berdiri, menuntun sepedanya melangkah pergi. Sementara Laksmana masih sibuk dengan kegiatannya. Sasi mendekat,
“Kak, aku keliling dulu, ya?” pamitnya.
Sepuluh menit kemudian, terjadi apa yang Abimanyu tidak inginkan. Belum sempat dia mengutarakan perasaan, Laksmana keburu datang langsung menyerang. Ternyata, Utari menambahkan karakter posesif yang merupakan sisi gelap dari karakter Laksmana yang nyaris sempurna.
Sasi geming, terpaku melihat kejadian singkat itu. Tanpa perlawanan menurut saja dengan Laksmana yang menyeret lengannya. Entah bagaimana niat pertemuannya dengan Sasi—yang selama ini memang sahabatnya—di kantin kampus terendus Laksmana. Jelas-jelas tidak ada seorang pun yang tahu akan hal itu, kecuali ….
“Ayolah, Utari. Engkau yang menakdirkan pertemuan kami. Bukankah maumu agar mereka tidak bersatu?” gumamnya sendu. Perempuan itu—Utari, yang menuliskan jalan cerita mereka. Membeku di depan layar ponsel. Bahunya halus bergerak menahan sesak. Matanya pejam dengan bening berlinang.
“Maaf, Bim. Aku tidak berkuasa atasmu. Sekeras aku mengetik hapus bagianmu. Kamu harus menjalani ketentuan menerima kekalahan, sebagaimana Abimanyu gugur di laga peperangan,” lirih Utari perih, “dan … kamu! Bisakah kamu mengetik ulang kisahmu, Tuan?” tatap mengiba Utari menghunjam padaku. Akulah penulis kisah sebenarnya. Di ujung jemariku mereka kukendalikan. Hari ini, di depan layar mesin ketik elektrik.
“Maaf, Utari. Tidak selalu romansa berakhir bahagia bukan? Kuajarimu bagaimana mengelola cinta dengan logika. Ck! Perempuan.”
Kusematkan kata tamat dalam tatap Utari yang menyirat kesumat.***
Sumedang, 14 Desember 2025
Noel Soega. Pengeja aksara.
