Sang Pemberi Luka
Oleh: Nona Ilma Al-ghifari
Cerpen Terbaik ke-20 Tantangan Lokit 7
Langkahku melambat saat sosok itu berdiri di depanku. Tatapannya tajam sama seperti dahulu kala. Senyum tipisnya tak pernah sirna ketika bertemu denganku. Hingga degupan jantung ini kembali membuncah, tak menduga aku bertemu Arjunaku kembali. Tangannya terbuka lebar, menyambut tubuh kurusku dalam dekapannya. Orang-orang yang berlalu-lalang di bandara hanya menatap kami heran. Mungkin, sangka mereka kami berdua pasangan suami istri yang sudah lama terpisah jarak dan waktu.
Samuel mengelus rambutku pelan penuh penghayatan. Dengan dalam ia mencium aroma wangi dari rambut serta tubuhku di bagian tengkuk membuat diriku sedikit meringis geli.
“Ah, Sam, sudah dulu. Ini di bandara. Banyak yang lihat.”
“Kenapa, Emily, kamu tidak rindu padakukah?” Matanya mengedip genit dan aku suka itu.
“Bukan begitu, Sam. Kita masih punya banyak waktu untuk berdua. Jadi tahanlah dulu. Lagi pula badanku pegal-pegal ingin segera kuistirahatkan.”
Kali ini ia mengalah. Mengangguk tersenyum dan membawakan koperku yang beratnya minta digendong.
Dengan manja aku menggandeng tangan lelakiku ini. Beberapa tahun tak pernah bertemu, saling menahan rindu tanpa mengetahui kabar masing-masing karena jarak dan waktu yang memisahkan kami. Beruntunglah aku, Tuhan masih memberiku kesempatan bertemu lagi dengannya. Dengan lelakiku yang hangatnya masih sama seperti dahulu. Ah, aku tak sabar mendengarkan cerita darinya tentang apa saja yang berubah. Termasuk kabar sahabatku, Narnia, sudah menikahkah dia?
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Satu jam lalu, aku dan Samuel baru sampai. Wajah lelahnya membuatku tak berdaya dan menyarankan agar Samuel beristirahat di apartemen milikku. Biar aku saja yang membereskan semua barang-barang dan menyiapkan makanan.
Namun, setelah itu raut wajah lelakiku berubah waswas. Berulang kali melihat jam mahal yang melingkar di tangannya, tak ingin lebih penasaran aku pun bertanya, “Kenapa, Sayang, kok gelisah gitu?”
Ia menghela napas berat sesaat. Lalu menarik tubuhku ke pangkuannya. “Tidak apa-apa. Hanya saja aku harus segera pulang. Keluargaku mungkin bertanya-tanya kenapa aku belum pulang.”
Aku sedikit heran dengan apa yang dikatakan Samuel. “Lho, kok, kayak anak kecil saja, Sayang. Jam segini masih dicariin. Kirim pesan saja, kalau kamu akan bermalam denganku di sini.” Aku sedikit merajuk. Wajarlah, beberapa tahun tak pernah bertemu, sekalinya bertemu hanya sekejap mata. Namun, Samuel menghela napas, kali ini cukup panjang, kedua telapak tangannya mengusap wajahnya kasar tak memelukku lagi. Alhasil, aku langsung beranjak dari pangkuannya dan berpindah ke samping kiri Samuel.
“Bukan begitu, Sayang. Nanti kamu juga bakal tahu. Sekarang aku harus pulang dulu.”
Dengan wajah ditekuk aku pun menyetujui permintaan Samuel. Aku tidak boleh egois jika lelaki yang sesaat mencium keningku tidak ingin pergi lagi. Aku harus mencoba berbaik hati padanya.
***
“Apa kabar, Emily. Sudah berapa tahun kamu menghilang.”
“Ah, apaan sih, Nia. Aku bukan menghilang, tapi terpaksa pergi atas kemauan orang tuaku.”
Di kafe dekat apartemen milikku, aku janjian dengan sahabatku, Narnia. Gadis berjilbab yang sangat dikagumi setiap pria. Bukan hanya itu, dia cantik dan cerdas. Sekarang saja Narnia menjadi salah seorang dosen di universitas ternama di Jakarta.
“Ah, iya, aku lupa. Dulu kamu dipaksa pergi ke New York hanya karena tidak bisa diatur ya.” Ia terkekeh. Mengingat masa-masa SMA dulu.
“Udah deh, jangan dibahas. Untungnya aku bisa buktiin ke orang tuaku, kalau aku bisa mandiri dan sekarang aku jadi desainer di sana.”
“Alhamdulillah. Syukurlah. Lalu, rencanamu sekarang apa di sini?”
Tak langsung kujawab, jari-jariku mengetuk meja dengan pikiran di penuhi wajah Samuel.
“Aku mau nikah,” jawabku girang. Narnia pun ikut senang, dia berdiri dan memelukku.
“Akhirnya, sahabatku ini inget umur juga,” candanya seraya melepas pelukan. “Aku saja udah punya dua anak. Dan sekarang lagi hamil lagi. Kamu emang nggak ke pengen.” Kali ini aku ikut tertawa lebar. Melihat gaya bicaranya yang tidak berubah. Di tambah Narnia memperlihatkan perutnya yang mulai membuncit. Duh, aku jadi ingin cepat seperti Narnia.
Tiba-tiba ponsel kami berbunyi bersamaan. Saling menatap dengan senyum merekah, lalu membuka pesan bersamaan di ponsel masing-masing.
Ah, ternyata ini pesan dari Samuel. Dia menanyakan aku di mana dan bersama siapa. Katanya mau menghampiriku. Tetapi, aku dengan sengaja memberitahukan padanya jika aku hanya seorang diri, biar menjadi kejutan untuknya. Kusimpan kembali dan menatap wajah Narnia yang sendu. “Kenapa, Nia?”
“Ah, enggak. Cuma pesan dari suamiku saja.”
“Kenapa?”
“Dia tidak bisa ke sini. Maaf ya, Emily.”
“Ah, sudahlah, bisa lain waktu. Sekarang aku mau kasih kejutan sama kamu, calon suamiku bakal datang ke sini.”
“Siapa sih?” wajah Nia terlihat antusias dicampur penasaran. Aku semakin tak sabar ingin mempertemukan mereka. Pasti Narnia tak percaya jika kami berdua balikan lagi setelah beberapa tahun tak pernah bertemu. Ketika diingat lagi, Narnia adalah orang yang paling berjasa dulu menjodohkan aku dan Samuel.
Dari ujung sana, kulihat sosok Samuel tiba. Langkah tegapnya seakan melambat, jantungku saja terus berdebar, padahal hanya ingin memberi kejutan pada Nia, tetapi jantungku yang tak berhenti meloncat. Narnia terus bertanya. Namun tak kuindahkan sebelum Samuel ada di sini. Samuel tersenyum sambil melambaikan tangan padaku, begitu pun aku yang membalasnya dengan senyuman manis. Narnia geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
“Hai, Sayang!” sapanya. Aku langsung beranjak dan menghampiri Samuel. Kugandeng lengan kokoh lelakiku ini. Dengan santai Narnia memutar duduknya ke hadapanku dan Samuel.
“Nia, ini calon suamiku, pacarku dulu. Kejutan kan.”
Namun, tiba-tiba gandenganku dilepas paksa oleh Samuel. Wajah Narnia yang semula baik-baik saja kini tampak keruh. Matanya berkaca-kaca. Aku pun beralih menatap Samuel yang wajahnya berubah tegang. Mata tajamnya kini berubah sendu menatap Narnia, seperti sorot yang meminta permohonan maaf. Ada apakah ini?
Hatiku mulai tak keruan, hingga membuatku sedikit mundur.
“Istriku.”
Bagai dihantam ribuan Godam. Aku membeku, menatap Samuel yang kini berlutut di hadapan Narnia yang menangis tersengguk-sengguk. Di sini aku tak tahu apa-apa. Rasa sakit, kecewa, bahkan merasa bersalah menggelayuti hatiku bersamaan.
“Kaliann….” Aku berucap lirih. Samuel menoleh padaku.
“Maafkan, aku, Emily. Aku hanya ingin membalas rasa sakitku dulu ketika kamu tinggalkan tiba-tiba.”
“Tapi, kamu juga menyakiti Narnia.”
“Ya, aku yang bodoh. Tetapi, …,” ucapannya menggantung. “ … aku sudah bertekad.”
Senyumku masam memandang lelaki berengsek itu. Di sini aku bukan pelaku yang mencoba merebut suami orang, tetapi juga korban dari seorang Samuel. Hanya saja, saat kutatap wajah Narnia, ia sama terlukanya sepertiku.
“Aku benci kamu, Samuel. Kamu bukan sosok lelaki yang bertanggung jawab. Kamu lebih memilih egomu untuk membalaskan dendam dibandingkan memikirkan bagaimana perasaan istrimu, Narnia itu sahabatku, Samuel,” kuteriakkan kesalku padanya. Lalu setelah itu memilih pergi meninggalkan mereka. Biarlah mereka yang mengurus rumah tangganya. Aku muak!
Bandung, 5 Oktober 2018
Ilma, seorang pemula dalam dunia literasi. Ingin menjadi seorang penulis seperti Agatha Christie.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata